Regulasi OJK mewajibkan co-payment minimal 10% klaim asuransi kesehatan mulai 2026. Aturan ini picu protes FKBI, dinilai tidak adil dan merugikan konsumen.
INDONESIAONLINE – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi merilis regulasi baru yang memicu perdebatan di sektor asuransi kesehatan. Melalui Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan, lembaga pengawas keuangan ini mewajibkan skema co-payment atau pembagian risiko, di mana pemegang polis akan menanggung minimal 10 persen dari total biaya klaim rawat jalan maupun rawat inap di fasilitas kesehatan.
Kebijakan anyar ini akan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2026. Namun, bagi kepesertaan produk asuransi kesehatan yang sudah berjalan saat SE OJK 7/2025 ditetapkan, ketentuan lama akan tetap berlaku hingga masa kepesertaan berakhir.
Penting untuk dicatat, aturan ini hanya berlaku untuk produk asuransi kesehatan komersial dan tidak menyentuh skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.
OJK: Dorong Kualitas dan Premi Lebih Terjangkau
Pelaksana Tugas Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menjelaskan bahwa kebijakan ini memiliki tujuan strategis. Menurutnya, penetapan mekanisme co-payment atau deductible akan mendorong peningkatan kesadaran pemegang polis dalam memanfaatkan layanan medis dan obat secara lebih bijak.
“Aturan ini dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan layanan medis dan layanan obat yang lebih berkualitas. Serta akan mendorong premi asuransi kesehatan yang affordable atau lebih terjangkau karena peningkatan premi dapat dimitigasi dengan lebih baik,” ucap Ismail dalam keterangan resmi pada Jumat (6/6/2025).
Ia juga menambahkan bahwa pengalaman dari berbagai negara menunjukkan mekanisme ini dapat meningkatkan kesadaran pemegang polis.
Berdasarkan SE OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025, detail skema co-payment antara lain:
-
Pembagian risiko yang ditanggung pemegang polis minimal 10 persen dari total klaim.
-
Batas maksimum co-payment untuk rawat jalan sebesar Rp 300.000 per pengajuan klaim.
-
Batas maksimum untuk rawat inap sebesar Rp 3.000.000 per pengajuan klaim.
-
Perusahaan asuransi dapat menerapkan batas maksimum lebih tinggi jika disepakati dengan pemegang polis.
-
Skema ini berlaku untuk produk asuransi kesehatan dengan prinsip ganti rugi (indemnity) dan skema pelayanan kesehatan terkelola (managed care) – khusus untuk managed care, co-payment diberlakukan di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan.
-
Kebijakan ini dikecualikan untuk produk asuransi mikro.
Gelombang Penolakan dari Konsumen
Di sisi lain, kebijakan OJK ini segera menuai reaksi keras dari kalangan konsumen. Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) secara tegas menolak Surat Edaran OJK Nomor 7/2025, dengan alasan regulasi tersebut dinilai tidak adil dan terlalu berpihak pada industri asuransi.
“Aturan ini mereduksi hak konsumen sebagai pemegang polis asuransi,” tegas Ketua FKBI, Tulus Abadi, melalui keterangan tertulis pada Kamis (5/6/2025).
Tulus menduga bahwa OJK sebagai regulator tidak melibatkan lembaga konsumen saat proses perumusan aturan yang krusial ini.
Menurut Tulus, kewajiban co-payment minimal 10 persen dari total klaim justru berpotensi mengurangi minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam program asuransi. Ia menyoroti bahwa ini terjadi di saat citra industri asuransi di mata publik sedang mengalami penurunan akibat berbagai kasus besar, seperti gagal bayar pada konsumen hingga dugaan korupsi.
Melihat gelombang penolakan ini, FKBI mendesak OJK untuk membatalkan atau mencabut edaran tersebut demi keadilan bagi konsumen dan menjaga kepercayaan publik terhadap sektor asuransi.