Beranda

Benawa: Sang Raja yang Memilih Sunyi, Hantu Pewaris Takhta di Fajar Mataram

Benawa: Sang Raja yang Memilih Sunyi, Hantu Pewaris Takhta di Fajar Mataram
Ilustrasi Pengeran Benawa dari Kerajaan Pajang (ai/io)

Kisah Pangeran Benawa, pewaris sah takhta Pajang yang tersingkir oleh intrik politik dan spiritual. Temukan bagaimana mimpi gaib, pusaka keramat, dan aliansi rahasia dengan Panembahan Senapati mengubah takdir Jawa, memindahkan poros kekuasaan dari pesisir ke pedalaman, dan melahirkan dinasti Mataram.

INDONESIAONLINE – Di ufuk senja Pajang, ketika Bengawan Solo menjadi saksi bisu atas takhta yang goyah, sesosok nama terucap dalam bisik: Pangeran Benawa. Ia adalah putra mahkota yang sah, pewaris darah Sultan Hadiwijaya, namun takdir menggariskan jalannya di antara bayang-bayang.

Kisahnya bukan sekadar kronik perebutan kekuasaan; ini adalah elegi tentang seorang pangeran yang menyerahkan mahkota demi pusaka, memilih sunyi ketimbang singgasana, dan tanpa sadar menjadi batu pijakan bagi berdirinya imperium Mataram.

Langit Pajang meredup pada tahun 1582. Sultan Hadiwijaya, sang Jaka Tingkir yang legendaris telah mangkat. Istana kehilangan tiang agungnya. Para bangsawan dan adipati pedalaman bersepakat, Pangeran Benawa, putra kandung Sultan, adalah matahari pengganti. Namun, suara mereka teredam oleh gema langkah kuda dari pesisir utara.

Datanglah Sunan Kudus, figur ulama yang tangannya menggenggam legitimasi spiritual warisan Demak dan para Wali. Di hadapan jenazah Sultan yang masih basah oleh air mata duka, ia tidak datang untuk melayat, melainkan untuk menagih takdir. Seperti dicatat dalam Babad Tanah Djawi, sang Sunan berdiri tegak dan bersabda, membelah keheningan dengan titah yang tak terbantahkan.

“Kesultanan Pajang diserahkan kepada menantu tertua Sri Baginda, Arya Pangiri dari Demak. Adapun Pangeran Benawa, cukuplah ia menjadi Adipati di Jipang,” ucap Sunan Kudus.

Tak ada yang berani membantah. Bahkan Danang Sutawijaya—kelak bergelar Panembahan Senapati—hanya bisa mengepalkan tangan di balik punggungnya. Nasihat bijak Ki Juru Martani menahannya: melawan Sunan Kudus saat itu sama dengan menantang restu langit dan membakar habis modal politik Mataram yang baru tumbuh.

Sejarawan H.J. de Graaf mencatat, hegemoni spiritual kaum ulama pesisir pada abad ke-16 begitu kuat hingga mampu menentukan suksesi raja-raja di pedalaman.

Maka, Benawa pun diasingkan. Ia dilempar ke Jipang, tanah tandus yang pernah menjadi sarang pemberontak Arya Penangsang. Sebuah penghinaan simbolis: pewaris sah ditempatkan di tanah pengkhianat.

Dendam yang Membeku dan Mimpi yang Membakar

Di Jipang, Benawa hidup dalam kegetiran. Malam-malamnya dihabiskan dengan tidur beralaskan anyaman daun kelapa (teriris), meratapi nasib di bawah pohon. Sementara itu, di Pajang, Arya Pangiri memerintah dengan tangan besi.

Ia membawa gerbong besar orang-orang Demak, merampas sepertiga tanah rakyat Pajang, dan menempatkan para pejabatnya di posisi-posisi strategis. Pajang, yang dulu makmur, kini mengerang di bawah penindasan. Dendam lama Demak atas Pajang seolah dilampiaskan.

Di tengah keputusasaan itulah, sebuah mimpi datang kepada Benawa. Babad Tanah Djawi melukiskannya dengan puitis: arwah ayahandanya, Sultan Hadiwijaya, muncul dari alam gaib. “Anakku,” bisik sang arwah, “carilah bantuan pada kakak angkatmu, Senapati di Mataram.”

Mimpi ini, dalam kosmologi Jawa, bukan sekadar bunga tidur. Ia adalah wangsit, restu leluhur yang mengabsahkan sebuah tindakan politik. Benawa mengirim utusan ke Mataram.

Awalnya, Senapati menolak, menyebutnya sebagai “pertengkaran keluarga.” Namun, utusan kedua datang membawa pesan yang menggetarkan:

“Aku serahkan seluruh Kerajaan Pajang kepadamu. Jika Adipati Demak tetap di takhta, lebih baik aku mati.”

Tawaran itu adalah kunci yang membuka gerbang ambisi Senapati. Ia melihat kesempatan emas: merebut Pajang bukan sebagai pemberontak, melainkan sebagai penyelamat yang dipanggil oleh pewaris sah.

Di sebuah pondok terpencil di Weru, Gunung Kidul, dua pangeran yang tersingkir itu bertemu. Mereka berpelukan, dan di sanalah sumpah untuk merebut kembali Pajang diikrarkan.

Pusaka Lebih Berharga dari Takhta

Serangan gabungan Mataram-Pajang dilancarkan. Rakyat Pajang yang tertindas berbalik mendukung Benawa. Pasukan Arya Pangiri, yang terdiri dari tentara bayaran dari pesisir, Bali, Bugis, hingga Tionghoa peranakan, goyah ketika Senapati menjanjikan kebebasan.

Pertempuran berlangsung singkat. Benteng Pajang jebol. Arya Pangiri ditangkap hidup-hidup, diikat dengan kain sutra, dan diarak sebagai pecundang. Pajang telah kembali ke tangan pewarisnya.

Di sinilah babak paling dramatis dalam kisah Benawa terjadi. Semua orang mengira ia akan duduk di singgasana. Namun, ia melakukan hal yang tak terduga. Di hadapan Senapati dan seluruh bangsawan, ia menolak takhta itu.

“Kakanda Senapati,” ujarnya, “Pajang ini milikmu. Aku hanya meminta izin untuk menyingkir.”

Senapati, sang ahli strategi, pun menolak. Ia tahu merebut takhta secara langsung akan mencoreng namanya. “Aku hanya ingin Mataram,” jawabnya.

“Adinda, tetaplah menjadi raja Pajang. Namun, berikanlah kepadaku pusaka-pusaka keraton: gong Kiai Sekar Delima, kendali Kiai Macan Guguh, dan pelana Kiai Jatayu.”

Inilah puncak dari politik simbolik Jawa. Bagi Senapati, pusaka lebih berharga dari wilayah. Pusaka adalah medium transfer legitimasi, tanda restu gaib para leluhur. Dengan memegang pusaka Pajang, ia secara spiritual telah menjadi pewaris sah kekuasaan Jawa.

Seperti dianalisis oleh M.C. Ricklefs, kekuasaan di Jawa tidak hanya diukur dari kekuatan militer, tetapi juga dari kemampuan mengumpulkan dan menguasai tanda-tanda kesakralan (signs of sanctity), termasuk pusaka.

Benawa setuju. Ia dinobatkan sebagai Raja Pajang, dengan Senapati duduk di kursi emas di sampingnya sebagai saksi utama. Namun, takhta itu tak pernah benar-benar ia duduki.

Jalan Sunyi Sang Susuhunan

Sejarah mencatat nasib Benawa setelah itu dalam dua versi yang sama-sama tragis dan mistis. Babad Tanah Djawi versi Meinsma menyebut ia wafat setahun setelah penobatannya. Namun, Serat Kandha menuturkan kisah yang lebih puitis.

Benawa diam-diam meninggalkan istana, berjalan ke tepi Bengawan Solo, dan menghanyutkan diri. Ia terdampar di Sidayu, lalu berjalan ke barat menuju Parakan, Kendal.

Di sana, di kesunyian Gua Gunung Kukulan, ia menanggalkan segala atribut duniawi. Ia bertapa, menyucikan diri, dan menjadi seorang wali dengan gelar Susuhunan Parakan. Ia menukar mahkota raja dengan mahkota spiritual. Ia memilih sunyi.

Kepergian Benawa adalah kemenangan mutlak bagi Senapati. Seluruh wilayah Pajang akhirnya jatuh ke dalam genggaman Mataram. Pusaka-pusaka keramat telah berpindah tangan, menjadi fondasi legitimasi dinasti baru yang akan mencapai puncaknya di bawah cucunya, Sultan Agung.

Hari ini, nama Benawa nyaris menjadi catatan kaki dalam silsilah besar raja-raja Jawa. Ia dikenang bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai titik peralihan—hantu pewaris takhta yang kehadirannya justru memastikan fajar menyingsing bagi Mataram.

Dari pengorbanan dan jalan sunyinya, sebuah imperium baru lahir, dibangun di atas mimpi, pusaka, dan keikhlasan seorang pangeran yang memilih menjadi legenda ketimbang menjadi raja.


Catatan Kaki

1Meinsma, J.J. (ed.). (1899). Babad Tanah Djawi: De Prozaversie van J.J. Meinsma. Martinus Nijhoff. hlm. 93-94. Narasi ini secara konsisten muncul dalam berbagai versi Babad yang menceritakan intervensi Sunan Kudus dalam suksesi Pajang.
2De Graaf, H.J. & Pigeaud, Th.G.Th. (1974). De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java: Studiën over de Staatkundige Geschiedenis van de 15de en 16de Eeuw. Martinus Nijhoff. De Graaf sering menekankan bagaimana pusat-pusat kekuatan Islam di pesisir (seperti Demak, Kudus, dan Giri) memiliki pengaruh politik yang signifikan terhadap kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman.
3Meinsma, J.J. (ed.). (1899). Babad Tanah Djawi. hlm. 95. Mimpi sebagai wahyu atau petunjuk ilahi adalah motif umum dalam historiografi tradisional Jawa untuk melegitimasi tindakan-tindakan penting seorang tokoh.
4Ibid., hlm. 98. Permintaan spesifik atas pusaka ini menggarisbawahi pentingnya benda-benda tersebut sebagai simbol kesinambungan kekuasaan yang melampaui kepemilikan teritorial semata.
5Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Palgrave Macmillan. hlm. 48-50. Ricklefs menjelaskan bahwa konsep kekuasaan Jawa sangat dipengaruhi oleh gagasan tentang mandat kosmis yang termanifestasi dalam penguasaan benda-benda sakral dan kemampuan menunjukkan tanda-tanda spiritual.
Exit mobile version