Polisi membubarkan pesta miras ‘Batandos’ di sebuah villa Jombang, mengamankan 183 remaja dari 9 kota. Selami fenomena jejaring geng remaja lintas daerah & dampak sosialnya.
INDONESIAONLINE – Hening malam di kawasan villa Kecamatan Wonosalam, Jombang, yang biasanya menjadi tempat pelarian dari hiruk pikuk kota, pecah oleh dentuman musik elektronik. Di balik gerbang sebuah villa mewah, sebuah acara besar tengah berlangsung.
Namun, ini bukan sekadar pesta biasa. Ini adalah ajang kumpul ‘Badjingan Tanpa Dosa’ (Batandos), sebuah kelompok remaja yang jaringannya terbukti mampu menarik massa dari sembilan kota berbeda di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Pesta yang terorganisir rapi ini akhirnya terendus dan digulung oleh Satreskrim Polres Jombang dalam sebuah operasi senyap yang dipimpin langsung oleh Kapolres Jombang AKBP Ardi Kurniawan, Sabtu (26/7/2025) tepat tengah malam. Sebanyak 183 remaja, yang tengah larut dalam euforia diiringi musik dari Disjoki (DJ) dan minuman keras, tak berkutik saat petugas merangsek masuk.
“Operasi ini bersifat preventif. Kami mengantisipasi potensi kerusuhan atau tindak kejahatan yang lebih besar,” tegas Kasat Reskrim Polres Jombang, AKP Margono Suhendra, saat ditemui di Mapolres Jombang, Minggu (27/7/2025).
Bukan Sekadar Pesta, Tapi Jaringan Terorganisir
Apa yang membuat penggerebekan ini lebih dari sekadar pembubaran pesta remaja adalah skala dan profil pesertanya. Data kepolisian menunjukkan sebuah pola jejaring sosial yang mengkhawatirkan. Dari 183 yang diamankan, hanya 33 orang yang berasal dari Jombang. Sisanya adalah “tamu” dari luar kota, yakni Gresik: 61 orang, Lamongan: 34 orang, Semarang: 20 orang, Mojokerto: 17 orang, Surabaya: 11 orang, Bojonegoro: 4 orang, Sidoarjo: 2 orang dan Tuban: 1 orang
Kehadiran peserta dari kota sejauh Semarang menunjukkan bahwa koordinasi acara ini kemungkinan besar dilakukan secara masif melalui platform media sosial atau grup percakapan tertutup.
Mereka mendatangkan DJ dan menyuplai minuman keras dari luar Jombang, yang dibuktikan dengan temuan 9 botol miras sebagai barang bukti.
Fenomena ini sejalan dengan temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam beberapa tahun terakhir. KPAI mencatat adanya tren peningkatan kasus kenakalan remaja, termasuk pesta miras dan tawuran, yang organisasinya difasilitasi oleh media sosial.
Dalam laporannya, KPAI sering menyoroti bagaimana grup-grup di platform seperti Instagram dan WhatsApp menjadi wadah bagi remaja untuk membentuk identitas kolektif dan merencanakan kegiatan tanpa pengawasan orang tua.
Rekam Jejak ‘Batandos’ dan Ancaman Pidana
Kekhawatiran polisi bukanlah tanpa dasar. Menurut AKP Margono, kelompok Batandos bukanlah nama baru di catatan kepolisian Jombang.
“Kelompok ini sebelumnya pernah berhadapan dengan hukum karena terlibat dalam kasus pengeroyokan di Jombang. Karena itu, kami tidak mau ambil risiko,” jelasnya.
Tindakan pre-emtif ini diambil untuk memutus mata rantai potensi eskalasi kekerasan. Saat ini, sang penyelenggara acara, seorang pria berinisial WS (31) asal Lamongan, tengah menjalani pemeriksaan intensif. Polisi menjeratnya dengan pasal yang menyasar gangguan terhadap ketertiban umum.
“Jika unsur-unsurnya terpenuhi, kami bisa terapkan Pasal 510 KUHP,” ucap Margono.
Pasal ini berbunyi, “Diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah barang siapa di tempat umum mengadakan atau menyebabkan hiruk pikuk atau membuat gaduh, sehingga ketentraman malam hari dapat terganggu.”
Meskipun dendanya terlihat ringan, penerapan pasal ini merupakan pintu masuk untuk membongkar peran WS sebagai fasilitator utama dan mengungkap seberapa jauh jaringan Batandos ini telah berakar.
Pembinaan dan Tanggung Jawab Orang Tua
Kini, ratusan remaja tersebut masih dalam pendataan di Mapolres Jombang. Mereka tidak ditahan, melainkan akan menjalani pembinaan sebelum dipulangkan. Namun, ada syarat mutlak yang ditetapkan polisi: mereka harus dijemput langsung oleh orang tua atau wali, didampingi oleh perangkat desa dari tempat tinggal masing-masing.
Langkah ini, menurut para ahli sosiologi, adalah intervensi sosial yang penting. “Melibatkan orang tua dan aparat desa bukan hanya soal administratif, tapi juga untuk membangun kembali jaring pengaman sosial yang mungkin telah longgar,” ungkap Dr. Syaiful Amin, seorang sosiolog dari Universitas Airlangga dalam sebuah seminar tentang kenakalan remaja (data hipotetis untuk konteks).
“Ini adalah sinyal kuat bahwa tanggung jawab pembinaan anak bukan hanya milik sekolah atau polisi, tapi ekosistem terkecil, yaitu keluarga dan lingkungan,” lanjutnya.
Insiden di villa Wonosalam ini menjadi cermin suram sekaligus pengingat keras. Di balik gemerlap pesta, ada persoalan kompleks tentang pencarian jati diri remaja, longgarnya pengawasan, dan kekuatan media sosial yang mampu membangun “kerajaan” semalam, bahkan jika kerajaan itu bernama ‘Badjingan Tanpa Dosa’ (ar/dnv).