INDONESIAONLINE – Mahalnya cabai selain menjadi berkah petani pembudidaya juga kesempatan bagi pemain cabai kering. Istilah di Kabupaten Tulungagung, cabai kering ini sering disebut kresek. Biasanya, cabai kering ini sengaja diproduksi oleh petani saat harga sangat murah.

“Kalau harga murah, kemudian dijual tidak kembali modal maka alternatifnya kita panaskan dengan sinar matahari atau dikeringkan,” kata Zaini (44) pedagang cabai kering kiriman Jakarta.

Pengeringan cabai ini disebut Zaini hingga kadar air di bawah 8 persen. “Tandanya kalau diremas kriuk. Ini sudah bagus dan bisa disimpan. Kalau penyimpanan benar maka akan lumayan awet hingga beberapa bulan,” ujarnya.

Para pemain cabai kering sudah hafal, tiga hingga enam bulan pasca murah maka dipastikan akan terjadi kenaikan harga. “Tidak selalu naik setinggi saat ini, namun kalau anjlok saat ini maka tiga sampai enam bulan ke depan pasti menemukan harga mahal,” ungkapnya.

Baca Juga  Punya Potensi dan Keuntungan Besar Membangunan Ekonomi Global, G20 Terus Kembangkan Blue, Green, dan Circular Economy

Saat harga mahal inilah, cabai kering akan dikeluarkan dari gudang penyimpanan. “Permintaan otomatis tinggi, banyak yang pesan mulai dari resto hingga perusahaan makanan yang butuh di tumbuk halus,” jelasnya.

Saat harga cabai mencapai Rp 100 ribu, jenis kering ini harganya bisa mencapai Rp 125 ribu per kilogramnya. “Kalau bagus, harga cabai kering di atas yang basah. Ini terjadi karena saat digunakan hasilnya bisa tiga kali lipat cabai segar,” tuturnya.

Saat harga mahal, Zaini mengungkapkan cabai kering dicampurkan dengan yang segar sebelum ditumbuk (blender) untuk jadi sambal di warung makan. “Biasanya direndam air panas dulu, lalu di tumbuk. Rasanya tidak jauh beda, tetap pedas,” imbuhnya.

Baca Juga  Melemah 25 Poin, Rupiah Diangka Rp 14.971 per USD

Namun, cabai kering ini akan rusak jika selama penyimpanan tidak dilakukan pemanasan atau pengeringan ulang secara berkala sebelum diluncurkan ke pasar.