Eurovision 2026 di Wina terancam kehilangan jiwanya. Irlandia, Spanyol, Slovenia, dan Belanda mundur demi kemanusiaan di Gaza. Analisis mendalam tentang standar ganda EBU dan masa depan kontes yang kian politis.
INDONESIAONLINE – Wina, Austria, seharusnya bersiap menyambut pesta emas musik Eropa pada tahun 2026. Namun, alih-alih sorak-sorai persatuan, edisi ke-70 Eurovision Song Contest ini justru diselimuti awan gelap perpecahan. Keputusan European Broadcasting Union (EBU) untuk tetap menggelar karpet merah bagi Israel di tengah berkecamuknya perang di Gaza telah memicu efek domino yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern kompetisi ini.
Empat negara pilar budaya Eropa—Irlandia, Spanyol, Slovenia, dan Belanda—secara resmi menarik diri. Ini bukan sekadar absennya peserta; ini adalah mosi tidak percaya terhadap institusi yang selama ini mengklaim “menyatukan bangsa melalui musik.”
Runtuhnya Mitos “Apolitis” EBU
Selama bertahun-tahun, EBU berlindung di balik mantra bahwa Eurovision adalah acara non-politik. Namun, argumen ini runtuh seketika ketika disandingkan dengan preseden tahun 2022. Kala itu, EBU dengan tegas melarang Rusia berpartisipasi hanya beberapa hari setelah invasi ke Ukraina dimulai. Langkah itu dipuji sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan.
Kini, di tahun 2026, sikap “tegas” itu menguap. EBU menolak melakukan pemungutan suara terkait partisipasi Israel dalam pertemuan umum Kamis (4/12/2025), meski desakan menguat seiring meningkatnya korban sipil di Gaza.
Langkah EBU yang hanya memperketat aturan pemilihan lagu—untuk mencegah intervensi pemerintah—dianggap oleh para pengkritik sebagai upaya “kosmetik” untuk menutupi luka yang menganga.
Penyiar Spanyol, RTVE, dengan tajam mengkritik proses ini. Penolakan EBU untuk bahkan sekadar melakukan voting tertutup dinilai sebagai bukti adanya tekanan politik di balik layar, ironis bagi organisasi yang melarang politik di atas panggung.
Kemanusiaan di Atas Hiburan
Langkah yang diambil oleh Irlandia (RTE) dan Belanda (Avrotros) menandai pergeseran paradigma: bagi sebagian negara Eropa, nilai-nilai kemanusiaan kini lebih mahal daripada prestise panggung internasional.
Menteri Kebudayaan Spanyol, Ernest Urtasun, merangkum sentimen ini dengan kuat: “Budaya seharusnya mendukung perdamaian dan keadilan.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa partisipasi dalam acara yang menormalisasi kehadiran negara yang sedang terlibat konflik berdarah, dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai dasar budaya itu sendiri.
Bagi penyiar Slovenia, RTVSLO, dan RTE Irlandia, tetap bernyanyi di Wina sementara Gaza membara adalah sebuah disonansi kognitif yang tak bisa diterima akal sehat dan moral publik mereka.
Eropa yang Terbelah: Inggris vs Blok Kemanusiaan
Keputusan ini membelah Eropa menjadi dua kubu. Di satu sisi, ada blok yang menuntut konsistensi moral. Di sisi lain, negara seperti Inggris melalui BBC, memilih pendekatan legalistik dengan berpegang pada “inklusivitas dan aturan EBU.”
Sikap BBC dan sambutan hangat Presiden Israel Isaac Herzog—yang menyebut Israel berhak tampil di panggung dunia—menunjukkan bahwa bagi sebagian pihak, “the show must go on” adalah harga mati, terlepas dari konteks geopolitik yang melingkupinya.
Namun, pertanyaannya adalah: inklusivitas macam apa yang sedang diperjuangkan jika ia mengalienasi anggota-anggota lain yang merasa prinsip dasarnya dilanggar?
Masa Depan Eurovision: Panggung Tanpa Jiwa?
Eurovision 2026 di Wina kini menghadapi krisis eksistensial. Tanpa kehadiran negara-negara yang memiliki basis penggemar fanatik dan sejarah panjang seperti Irlandia (pemegang rekor kemenangan terbanyak bersama Swedia) dan Belanda, kompetisi ini kehilangan sebagian legitimasinya.
Jika EBU terus bersikeras pada pendiriannya tanpa mengakomodasi keresahan anggotanya, Eurovision berisiko berubah dari simbol persatuan Eropa menjadi monumen kemunafikan diplomatik.
Panggung di Wina mungkin akan tetap megah, lampu sorot akan tetap menyala, namun musik yang terdengar mungkin akan terasa hampa karena dinyanyikan di atas panggung yang ditinggalkan oleh hati nurani sebagian besar anggotanya.
Tahun 2026 bukan lagi soal siapa yang memiliki lagu terbaik, tapi tentang siapa yang berani berkata “tidak” demi nilai yang mereka yakini.
