Penelitian Prof Turi King mengungkap DNA Adolf Hitler mengandung mutasi gen PROK2 pemicu Sindrom Kallman. Fakta medis ini menyingkap ironi di balik propaganda ras unggul Nazi.
INDONESIAONLINE – Propaganda Nazi Jerman selama bertahun-tahun melukiskan Adolf Hitler sebagai personifikasi “Übermensch” atau manusia super—simbol maskulinitas dan kesempurnaan ras Arya. Namun, sebuah terobosan sains pada November 2025 justru meruntuhkan mitos tersebut hingga ke level molekuler.
Di balik retorika kebenciannya terhadap mereka yang dianggap cacat, sang Führer ternyata menyimpan “cacat” genetik fatal dalam dirinya sendiri.
Kebenaran ini terungkap melalui dokumenter Hitler’s DNA: Blueprint of a Dictator yang ditayangkan Channel 4 Inggris. Dipimpin oleh pakar genetika terkemuka, Prof. Turi Emma King, penelitian ini tidak hanya membongkar kondisi fisik Hitler, tetapi juga memberikan perspektif psikologis baru tentang perilaku diktator tersebut.
Jejak Darah di Sofa Bunker
Validitas penelitian ini bertumpu pada metodologi forensik yang ketat. Prof. King, yang sebelumnya tersohor karena keberhasilannya mengidentifikasi DNA Raja Richard III pada 2012, kali ini meneliti artefak sejarah yang tersimpan di Gettysburg Museum of History, Amerika Serikat.
Objek tersebut adalah potongan material sofa berlumur darah dari Führerbunker di Berlin, tempat Hitler bunuh diri pada 30 April 1945.
“Kami memastikan melakukannya dengan penelitian ilmiah yang ketat,” ungkap Prof. King kepada BBC News beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan bahwa sampel darah tersebut divalidasi dengan membandingkan kromosom Y dari kerabat Hitler yang masih hidup, yang sampelnya diambil pada 2015. Hasilnya identik.
Namun, kejutan sebenarnya ada pada analisis genom yang lebih dalam. Tim peneliti menemukan mutasi pada gen PROK2. Mutasi ini adalah penanda kuat dari Sindrom Kallman, sebuah kelainan genetik langka.
Sindrom Kallman dan “Rahasia Kecil” Sang Diktator
Temuan Prof. King menjadi kepingan puzzle yang hilang dalam sejarah medis Hitler. Sindrom Kallman adalah kondisi yang menghambat produksi Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) saat pubertas. Dampaknya fatal bagi perkembangan seksual.
Secara klinis, pria dengan sindrom ini kerap mengalami micropenis (penis berukuran sangat kecil), tidak adanya testis yang turun (kriptorkismus), serta gangguan suasana hati yang ekstrem. Data statistik medis menyebutkan sekitar 10 persen pengidap sindrom ini memiliki alat kelamin yang tidak berkembang normal.
Temuan DNA ini mengonfirmasi arsip medis tua yang sempat disita pemerintah Bavaria pada 2010. Arsip tersebut, yang diteliti oleh sejarawan Prof. Peter Fleischmann dari Friedrich-Alexander-Universität Erlangen-Nürnberg pada 2015, mencatat pemeriksaan Hitler di Penjara Landsberg tahun 1923.
Dokter penjara, Josef Brinsteiner, mencatat adanya “rechtsseitiger Kryptorchismus” atau testis kanan yang tidak turun.
Kombinasi data DNA 2025 dan catatan medis 1923 ini memvalidasi rumor yang selama ini dianggap sekadar ejekan perang: Hitler memang memiliki kelainan alat kelamin yang serius.
Hal ini juga sejalan dengan kesaksian Ernst Hanfstaengl, rekan dekat Hitler, yang dalam bukunya Unheard Witness (1957) menyebut organ intim Hitler tampak “aneh dan tidak tumbuh sempurna” saat dilihat di kamar mandi barak Perang Dunia I.
Psikologi Seorang Monster
Implikasi dari temuan ini melampaui urusan fisik. Dr. Alex Kay, rekan peneliti dalam proyek tersebut, menyoroti korelasi antara kondisi biologis ini dengan perilaku Hitler yang labil, bipolar, dan kesulitan menjalin hubungan intim dengan wanita.
Sejarah mencatat hubungan Hitler yang tragis dan penuh jarak dengan wanita, mulai dari keponakannya Geli Raubal hingga Eva Braun.
“Tidak ada yang pernah bisa benar-benar menjelaskan mengapa Hitler seperti tidak nyaman di sekitar perempuan… Namun sekarang kita tahu bahwa ia memiliki Sindrom Kallman, ini mungkin jadi jawaban yang selama ini kita cari,” ujar Dr. Alex Kay kepada CBS News.
Rasa rendah diri akibat kondisi fisik ini disinyalir dikompensasi melalui agresi politik dan pidato berapi-api, sebuah mekanisme pertahanan diri yang berujung pada malapetaka global.
Ironi Terbesar Nazi
Fakta yang paling menohok dari penelitian ini adalah ironi sejarah yang ditimbulkannya. Pada 1939, Hitler menandatangani kebijakan Aktion T4, sebuah program pembunuhan sistematis (euthanasia) terhadap warga Jerman yang memiliki cacat fisik, mental, atau kelainan genetik. Sekitar 70.000 hingga 200.000 orang tewas karena dianggap “hidup yang tidak layak hidup”.
Penelitian Prof. King membuktikan bahwa berdasarkan standar eugenika (pemuliaan ras) yang ia ciptakan sendiri, Hitler seharusnya masuk dalam kategori orang yang harus dimusnahkan.
“Jika dia bisa melihat DNA-nya dan hasil genetikanya sendiri, hampir dipastikan dia akan mengirim dirinya sendiri ke kamar gas,” pungkas Prof. King dengan nada getir.
Pada akhirnya, sains berhasil menelanjangi kemunafikan terbesar abad ke-20. Hitler, sang arsitek genosida yang mendambakan ras manusia sempurna, hanyalah seorang pria dengan cacat genetik yang berusaha menutupi kekurangannya dengan menghancurkan dunia.
