Kekerasan dan Pelecehan Seksual Anak dan Perempuan di Era Jokowi

Ilustrasi kekerasan dan pelecehan seksual anak dan perempuan yang kasusnya naik terus di era Presiden Jokowi (Ist)

INDONESIAONLINE – Kasus kekerasan dan pelecehan seksual anak dan perempuan di periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dikatakan tidak baik-baik saja.

Data dari Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA129) KemenPPPA tercatat sejak 2019 hingga 2022, angka kekerasan terus meningkat.

Tahun 2019 tercatat 6454 kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang menimpa anak dan perempuan. Angka ini naik di 2020 jadi 6980 kasus dan terus merangkak lagi di 2021 dengan 8703 kasus. Tahun 2022 kasus kekerasan anak dan perempuan bahkan mencapai angka 9588 kasus.

Sepanjang 2023 hingga Agustus, masih menurut data yang dilansir oleh KemenPPPA tercatat 314 laporan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang diterima. Dari ratusan kasus itu, mirisnya sebanyak 802 anak menjadi korban.

Naiknya angka kekerasan tersebut memperlihatkan selama periode kedua Jokowi, hal ini masih menjadi pekerjaan rumah besar. Padahal kekuasaan Jokowi tinggal menyisakan sekitar satu tahun lagi.

Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) April 2022 lalu, ternyata juga belum ampuh dalam rangka meminimalisir jatuhnya korban anak dan perempuan. Pun rumitnya penanganan kekerasan anak dan perempuan di kepolisian.

Walau tentunya juga dengan adanya UU TPKS ini ada secercah harapan dalam penanganannya. Seperti yang disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Wanti Mashudi.

“Korban mulai berani mengungkapkan apa yang terjadi padanya. Karena apa? Karena mereka merasa kalau lapor sudah ada aturan hukumnya. Jadi kejadian yang menimpa mereka bisa diproses secara hukum,” ucap Wanti beberapa waktu lalu.

Pernyataan itu dibuktikan dengan semakin banyaknya laporan kekerasan dan pelecehan seksual dari tahun ke tahun

Sekretaris Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar pun menyatakan hal sama.

“Masyarakat mulai berani berbicara karena keyakinan kasus akan ditangani, sekaligus korban diberi perlindungan atas apa yang mereka alami,” ujar Nahar.

Sayangnya, keberanian para korban atau keluarga korban masih belum diiringi dengan penanganan progresif penegak hukum. Banyak contoh, misalnya, kasus seorang pria mencium anak di Gresik, Jawa Timur yang ditolak aparat karena dianggap bukan pelecehan seksual.

Kasus ini baru ditangani setelah menjadi viral di media sosial. Contoh lainnya juga banyak terjadi. Kasus kekerasan dan pelecehan seksual anak dan perempuan baru ditangani setelah menunggu viral di medsos.

Hambatan Penanganan Kasus

Nahar Sekretaris Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebutkan beberapa hambatan dalam penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual anak dan perempuan.

Ia menyebut, hambatan bisa berasal dari faktor sosial budaya masyarakat. Misalnya, menikahkan korban dengan pelaku yang dijadikan jalan tengah penyelesaian kasus.

Hambatan kedua adalah tata kelola sistem penanganan kasus yang belum maksimal. Nahar menyebut, sistem yang telah ada terfragmentasi dan tidak didukung kebijakan, sumber daya, dan data yang memadai.

“Kami akui ini jadi PR kami sebagai pemangku kebijakan untuk menyediakan berbagai layanan yang dibutuhkan,” ujarnya.

Selain hal itu juga belum adanya aturan turunan dari setiap pasal di UU TPKS. Setidaknya, ada lebih dari dua aturan turunan yang harus digodok secepatnya. Komnas Perempuan pun berharap banyak di hambatan ini bisa selesai sebelum pemerintah Jokowi berakhir.

Jokowikekerasan anak dan perempuanpelecehan seksual