Beranda

Ken Umang: Bayangan Sang Pemberontak di Balik Singasari, Kisah Cinta Pertama yang Terlupakan

Ken Umang: Bayangan Sang Pemberontak di Balik Singasari, Kisah Cinta Pertama yang Terlupakan
Ilustrasi cinta segitiga Ken Arok, Ken Dedes dan Ken Umang (ai/io)

Menjelajahi kisah cinta pertama Ken Arok, sang pendiri Singasari, dengan Ken Umang, perempuan tangguh dari kasta Sudra yang terlupakan dalam narasi sejarah. Sebuah perlawanan, roman, dan takdir yang membentuk dinasti.

INDONESIAONLINE – Sejarah, bak permadani tua yang sarat rajutan benang kusut, selalu menawarkan celah bagi penjelajah waktu untuk menyingkap misteri dan merajut ulang narasi yang mungkin terlanjur usang. Di antara lembaran-lembaran yang terkadang bias oleh kepentingan penguasa, kisah-kisah manusiawi kerap tersembunyi, menunggu untuk dihidupkan kembali.

Salah satu narasi yang mengusik rasa penasaran adalah roman dan perjuangan yang mewarnai kehidupan Ken Arok, sang arsitek Kerajaan Singasari, terutama dengan cinta pertamanya, Ken Umang.

Dalam ingatan kolektif, Ken Arok identik dengan Ken Dedes, perempuan yang diramalkan melahirkan raja-raja Jawa, simbol legitimasinya atas takhta Tumapel. Namun, jauh sebelum mahkota itu bersinar, hati Ken Arok telah terpaut pada sosok lain: seorang perawan bernama Umang.

Ia bukan berasal dari trah ningrat atau kasta Brahmana yang terpandang, melainkan putri bungsu Ki Bango Samparan, ayah angkat Arok, dari kasta Sudra.

Dari Berandal Menjadi Pemimpin: Benih Cinta di Tengah Pemberontakan

Masa muda Ken Arok adalah potret berandal yang mempesona. Dikenal sebagai anak bengal di Tumapel, ia adalah “Robin Hood” lokal yang meresahkan para pejabat korup dengan aksi perampokan hasil upeti rakyat. Uang itu, konon, dibagikan kembali kepada mereka yang tertindas.

Di rumah Ki Bango Samparan, Arok yang masih “liar” menemukan keteduhan dan kasih sayang. Di sana, benih cinta mulai tumbuh antara dirinya dan Umang, yang sejak kecil memendam rasa kagum dan sayang pada sang kakak angkat.

Novel Arok Dedes karya maestro (alm) Pramoedya Ananta Toer secara apik melukiskan keindahan hubungan ini. Diceritakan, setiap kali pulang dari “petualangan”, Arok selalu membawa hadiah untuk Umang, sebuah gestur kecil yang merajut kedekatan emosional mereka.

Namun, panggilan perjuangan dan ilmu kedigdayaan memisahkan mereka. Arok melanglang buana, menimba ilmu dari para brahmana dan empu sakti seperti Empu Gandring dan Empu Loh Gawe. Takdir kembali mempertemukan mereka di tengah pusaran pergolakan. Tumapel saat itu dicekik kemiskinan dan kesewenang-wenangan pejabat, memicu perlawanan gerilya dari rakyat jelata.

Di sinilah Ken Umang tampil bukan sekadar kekasih, melainkan seorang pejuang yang setara.

Ken Umang: Pemimpin Perempuan yang Terlupakan

Sumber-sumber lisan dan interpretasi sastrawi mengisyaratkan bahwa Umang bukanlah sosok pasif. Dengan kecerdasan dan ketangkasan luar biasa, ia bangkit menjadi salah satu pemimpin perempuan yang berjuang dalam perlawanan tersebut.

Di masa yang didominasi laki-laki, Umang memimpin aksi-aksi perlawanan dari sudut-sudut gelap Tumapel. Kemampuan gerilya dan strateginya membuat ia menjadi figur sentral, jauh melampaui citra “cinta pertama” belaka.

Pertemuan kembali Umang dengan Arok, yang kini menyandang gelar “Ken” dari gurunya, Empu Loh Gawe, menjadi momen krusial. Mereka bahu-membahu memimpin revolusi, sebuah perlawanan terhadap kezaliman Tunggul Ametung, akuwu Tumapel. Suka duka perjuangan, berbagi bara semangat dan ancaman bahaya, semakin mengukuhkan ikatan cinta mereka.

Cinta yang diikat dalam api revolusi itu akhirnya dimahkotai dengan perkawinan sederhana. Ken Arok, sang pemimpin pemberontak, menganugerahi Umang gelar “Ken”, sebuah pengakuan atas status dan peran pentingnya. Mereka berjuang bersama, mengukir sejarah di tengah badai perubahan.

Takdir dan Pengorbanan di Balik Mahkota Singasari

Namun, takdir memiliki jalannya sendiri. Kedatangan Ken Dedes, perempuan yang diramalkan akan melahirkan raja-raja besar dari rahimnya—sebuah legitimasi spiritual dan politis yang krusial di masa itu—mengubah konstelasi cinta Ken Arok. Ken Umang, dengan segala pengorbanan dan statusnya yang berasal dari kasta Sudra, harus merelakan posisi permaisuri kepada Ken Dedes.

Ia ikhlas menjadi selir, di balik gemerlap kekuasaan yang kini digenggam Ken Arok sebagai Raja Singasari, menggantikan Tumapel.

Meskipun demikian, cinta sejati tak mengenal kasta atau kejelitaan raga semata. Hati Ken Arok, di balik semua intrik politik dan ambisinya, tetap menyimpan tempat istimewa untuk Ken Umang. Ia kerap mengunjungi Ken Umang di sebuah candi bernama Candi Telih di Dusun Sumbul, Desa Klampok, Kecamatan Singosari.

Candi Telih: Saksi Bisu Kerinduan

Candi Telih, dengan ketinggian sekitar 2 meter dan lebar bangunan dasar 2,5 meter, kini menjadi saksi bisu pertemuan rahasia dua insan yang terpisahkan oleh takhta. Konon, Ken Arok berangkat dari Tumapel (Singosari), sementara Ken Umang menempuh perjalanan dari Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso.

Pertemuan-pertemuan di Candi Telih ini bukan sekadar pelepas rindu, melainkan juga simbol pengakuan atas cinta yang tak pernah pudar.

Dari buah cinta Ken Arok dan Ken Umang, lahirlah empat orang anak: Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rambi. Informasi ini terungkap dalam Prasasti Mula Malurung bertarikh 1255 Masehi, sebuah sumber primer yang sangat berharga.

Kelak, Tohjaya akan menjadi raja bawahan di Kerajaan Kadiri, menunjukkan bahwa keturunan Ken Umang tetap memiliki peran dalam dinamika politik kerajaan penerusnya.

Kisah Ken Umang adalah pengingat bahwa sejarah tak melulu tentang kekuasaan dan intrik politik, tetapi juga tentang hati manusia, pengorbanan, dan cinta yang melampaui batas-batas sosial. Ia adalah bayangan yang setia di balik gemerlap Singasari, seorang pejuang tangguh, dan cinta pertama sang pendiri dinasti, yang patut dikenang dan diangkat ke permukaan narasi.

Menggali kisahnya adalah upaya untuk memberi suara kepada mereka yang seringkali terpinggirkan dalam catatan sejarah, membuktikan bahwa keberanian dan cinta sejati tidak terdefinisi oleh kasta atau takhta.


Referensi:

  1. Toer, Pramoedya AnantaArok Dedes. Jakarta: Lentera Dipantara. 

  2. Pararaton. (Naskah kuno, berbagai terjemahan dan interpretasi).

  3. Nagarakretagama. (Naskah kuno, karya Mpu Prapanca, berbagai terjemahan dan interpretasi).

  4. Brandes, J.L.A. (Tahun Publikasi)Oorkonden uit den Maleischen Archipel. (Untuk informasi terkait Prasasti Mula Malurung).

Exit mobile version