Beranda

Kisah Daeng Mangalle, Sang Pemberontak Gowa di Negeri Siam

Kisah Daeng Mangalle, Sang Pemberontak Gowa di Negeri Siam
Ilustrasi Daeng Mangalle, Pangeran Gowa saat bertempur melawan pasukan Siam yang dibantu Perancis- Inggris (ai/io)

Jelajahi kisah heroik Daeng Mangalle, Pangeran Gowa yang menolak tunduk pada VOC Belanda, dan perlawanannya yang membara di tanah Siam. Sebuah narasi tentang keberanian, pengkhianatan, dan harga sebuah kehormatan.

INDONESIAONLINE – Di bawah terik matahari yang sama, yang membakar semangat para leluhurnya, Daeng Mangalle, seorang Pangeran dari Kerajaan Gowa, menolak untuk membiarkan sejarah tergoreskan oleh tinta perjanjian gencatan senjata dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda.

Bagi Daeng Mangalle, kata “damai” di bawah kuasa Belanda adalah racun yang mematikan kehormatan. Ia memilih jalan lain: pengasingan, sebuah pengembaraan yang akan membawanya dari tepian Nusantara hingga ke negeri asing yang jauh.

Perjalanan panjang ini dimulai di Banten. Di sana, tangan sang Sultan membukakan pintu dan hatinya, bahkan menyatukannya dengan Angke Sapiah, seorang putri bangsawan. Namun, bayangan VOC seolah tak pernah surut. Kehadiran mereka di Banten, bagai embusan angin dingin yang membekukan ketenangan Daeng Mangalle, memaksanya kembali mengemas harapan dan pergi.

Utara adalah tujuan berikutnya. Ke Siam (kini Thailand), Daeng Mangalle dan para pengikutnya menambatkan diri. Di tanah yang asing ini, ia justru menemukan pengakuan. Raja Siam, menurut catatan Ahmad Massiara Daeng Rapi dalam Menyingkap Tabir Sejarah Budaya di Sulawesi Selatan, bahkan menjadikan Daeng Mangalle sebagai sosok asing yang berpengaruh. Namun, takdir punya rencana lain.

Di Ayuthia, jantung Kerajaan Siam, sebuah badai politik menerjang. Daeng Mangalle, bersama orang-orang Campa dan Melayu, terseret dalam pusaran tuduhan konspirasi untuk menyerang istana raja.

Raja Siam, yang telah memperkuat diri, dengan sigap menindak. Orang-orang Campa dan Melayu, yang akui kesalahan, mayoritas diampuni. Namun, bagi beberapa yang tersisa, hukuman mati adalah akhir kisah mereka, kepala mereka ditancapkan pada tongkat sebagai peringatan getir.

Daeng Mangalle teguh pada pendiriannya. Ia menolak tunduk, menolak meminta ampun. Keyakinannya pada ketidakbersalahannya begitu membara.

“Mengenai orang yang telah menghadap Paduka, saya harus katakan bahwa saya tidak mempercayainya sedikit pun, karena sekarang ini Perdana Menteri ialah orang Perancis dan antara saya dan dia ada saling benci dengan alasan perbedaan agama,” demikian ucap Daeng Mangalle, yang dikutip oleh Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Perancis.

Sebuah pembelaan yang sarat logika, menuding adanya motif terselubung dari pihak Perancis yang memegang peran penting dalam lingkaran kekuasaan Siam.

Koneksi militer Eropa di Siam, yang terdiri dari orang-orang Perancis dan Portugis, pun tak tinggal diam. Mereka mencoba menindak para pengikut Daeng Mangalle. Namun, keberanian tak terhingga dari orang-orang Makassar itu menjadi bumerang.

Enam pejuang yang hanya bersenjatakan keris, berhadapan dengan Kapten Forbin yang dikawal sepuluh prajurit Siam bersenapan. Pertempuran sengit itu menelan enam nyawa pejuang Makassar, namun tak pelak lagi, di pihak lawan, setidaknya enam orang juga terbunuh.

“Sementara itu, orang-orang Makassar yang merupakan bagian terbesar pasukan mereka kembali ke kapal untuk mencari tombak dan perisai sekaligus menyalakan api di kapal untuk menunjukkan ketetapan hati mereka untuk bertempur,” tulis Dorleans.

Api semakin membakar, teror menebar di sepanjang tepian sungai. Enam orang Makassar menyerang pagoda, menghabisi para biarawan, sebelum akhirnya tumbang dihujani timah panas. Dalam pertempuran singkat itu, pasukan gabungan Eropa-Siam dilaporkan kehilangan 366 orang.

Puncak ketegangan terjadi pada 23 September 1686. Daeng Mangalle dan sekitar 30 pengikutnya diundang ke istana. Penolakan untuk dilucuti sebelum menghadap raja menunjukkan martabat yang tak tergoyahkan. Daeng Mangalle tetap pada posisinya: ia tidak bersalah karena tidak terlibat dalam komplotan, apalagi mengkhianati sesama Muslim.

Pihak kerajaan, di sisi lain, hanya melihatnya bersalah karena kegagalannya memberitahukan adanya konspirasi tersebut.

Malam yang sama, tragedi tak terelakkan terjadi. Pasukan Siam, didukung dua kapal perang, menyerbu kampung orang Makassar di Ayuthia. Bola api menghujani pemukiman, membakar habis segalanya.

Tanpa pilihan, orang-orang Makassar bangkit. Perlawanan mereka bukan sekadar pertempuran hidup dan mati, namun juga sebuah pengorbanan suci. Dalam keputusasaan, mereka memilih menghabisi istri dan anak-anak mereka sendiri, demi mencegah jatuh ke tangan musuh sebagai budak yang diperjualbelikan.

Serangan gabungan Siam-Prancis tersebut berhasil dipukul mundur. Bahkan, seorang kapten Inggris, Coates, meregang nyawa dalam perlawanan sengit itu. Setelah mundur dan mengumpulkan bala bantuan, pasukan Siam-Prancis kembali menyerang.

Daeng Mangalle, meskipun tertembak di tangan dan menerima lima tusukan tombak, masih menunjukkan semangat juang yang luar biasa. Ia sempat menyerang seorang pejabat Siam dan seorang tentara Inggris sebelum akhirnya gugur di tangan seorang tentara Perancis. Putra tertuanya, yang baru berusia sekitar 14 tahun, menyaksikan langsung bagaimana ayahnya, sang Pangeran pemberani, menghembuskan napas terakhir.

“Peristiwa dramatis itu membuat penduduk terpana dan kagum akan perlawanan tak terperikan dan gagah berani yang diberikan oleh suatu masyarakat kecil yang terdiri dari sekitar dua ratus orang asal Makassar dan hanya bersenjatakan tombak dan keris, berhadapan dengan tentara berjumlah ribuan prajurit Siam, dibantu empat puluhan orang Prancis, beberapa orang Inggris, dan orang asing lainnya. Selama pertempuran, tidak kurang daripada seribu orang Siam dan tujuh belas orang asing tewas,” pungkas Dorleans, saksi bisu dari keberanian yang tak terpadamkan.

Kisah Daeng Mangalle adalah bukti nyata bahwa api perlawanan tidak hanya berkobar di tanah sendiri. Ia adalah nyala abadi semangat kemerdekaan yang melintasi batas negara, membuktikan bahwa kehormatan dan keberanian adalah harta yang tak ternilai harganya, bahkan di negeri yang jauh dari pangkuan Ibu Pertiwi.


Referensi:

  • Dorleans, Bernard. Orang Indonesia dan Orang Perancis: Hubungan Budaya, Sejarah, dan Ekonomi. Jakarta: Grafiti Pers, 1997.

  • Massiara Daeng Rapi, Ahmad. Menyingkap Tabir Sejarah Budaya di Sulawesi Selatan. Makassar: Lembaga Kajian Budaya dan Sejarah Sulawesi Selatan, 2000.

Exit mobile version