INDONESIAONLINE – Berbicara tentang sejarah Islam tidak akan ada habisnya. Banyak kisah menarik di zaman nabi yang perlu kita ketahui.
Salah satunya kisah seorang pelaku maksiat yang jasadnya dibuang. Namun, pelaku maksiat justru dicintai Allah SWT. Mengapa demikian?
Sebagaimana diketahui, Nabi Musa AS pernah diwahyukan oleh Allah SWT untuk mengurus jenazah seorang lelaki pelaku maksiat semasa hidupnya. Namun, saat mengurus jenazah lelaki itu, Nabi Musa AS ditunjukkan oleh Allah SWT berupa akhir yang baik atau husnul khatimah pada jenazahnya.
Dlansir dari riwayat hadis dalam Kitab Ushfuriyah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfuri, Nabi Musa AS mendapat wahyu dari Allah SWT untuk mengurus jenazah seorang lelaki di pembuangan sampah. Kala itu, warga di perkampungan tersebut membuangnya dan tidak ada yang mau mengurusnya karena perilaku fasik almarhum.
“Wahai Musa, di suatu perkampungan, ada seorang lelaki mati di pembuangan sampah. Ia adalah salah satu di antara kekasihku. Namun, para tetangganya tidak mau memandikan, mengafani, dan menguburkannya. Karena itu, pergilah, mandikan, kafani, salati, dan kuburkanlah sewajarnya.”
Sesampai Nabi Musa AS di perkampungan itu, beliau mulai menanyai warga tentang keberadaan si jenazah. Saat warga perkampungan mengabarkan bahwa jenazah itu dibuang di pembuangan sampah, mereka juga menceritakan perilaku si jenazah semasa hidup.
Nabi Musa AS yang mendengar banyak informasi mengenai perilaku buruk jenazah itu pun bermunajat kepada Allah SWT. Ia berkata:
“Tuhanku, Engkau memerintahkanku untuk menguburkannya dan mensalatinya. Padahal, orang-orang menyaksikan keburukannya. Engkau lebih tahu daripada mereka tentang pujian dan cercaan”
Allah SWT kemudian kembali menurunkan wahyu kepada Nabi Musa AS untuk membenarkan informasi tentang perilaku buruk jenazah yang didengarnya. Namun, Allah SWT juga menunjukkan amalan terakhir yang dilakukan jenazah lelaki itu sebelum meninggal.
Usut punya usut, amalan terakhir yang dilakukan lelaki itu adalah memohon ampun kepada Allah SWT. Menurut riwayat, ada tiga doa yang dipanjatkan oleh lelaki tersebut di hari-hari terakhirnya.
Pertama, dia mengakui perbuatan maksiat yang dilakukannya. Ia berdoa kepada Allah SWT: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengetahui perbuatan-perbuatan maksiatku yang sebenarnya juga aku benci dalam hati. Namun, ada tiga hal berkumpul bersamaku sehingga aku melakukan perbuatan maksiat yang sebenarnya aku benci dalam hati itu yaitu, hawa nafsu, teman yang buruk, dan iblis. Karena itu, ampunilah aku.”
Kedua, dia juga mengakui bahwa tempatnya semasa hidup berada di lingkungan orang fasik. Namun demikian, dia juga pernah berada di sekitar orang saleh dan mengaku lebih senang berada di sana.
“Wahai Tuhanku, Engkau tahu aku melakukan perbuatan maksiat dan tempatku adalah bersama orang-orang fasik. Akan tetapi, sebenarnya aku juga senang bersama orang saleh dan senang dengan sikap zuhud mereka. Tentu tempat bersama mereka lebih aku senangi daripada bersama orang fasik.”
Hingga, doa terakhir yang dipanjatkan adalah pernyataan dirinya yang berjanji akan mendahulukan hajat orang saleh dibanding orang yang fasik. Selain itu, dia juga memohonkan ampunan kepada Allah SWT sebagai doa terakhirnya.
“Wahai Tuhanku, seandainya Engkau memaafkan dan mengampuni dosa-dosaku, para wali, dan nabi akan merasa senang sedangkan setan-setan, musuhku dan musuh-Mu, akan sedih. Begitu pun sebaliknya.”
“Dan, aku pun tahu bahwa kegembiraan para kekasih kepada-Mu lebih Engkau senangi daripada kegembiraan setan-setan dan pengikutnya. Karena itu, ampunilah dosa-dosaku, Ya Allah.”
Sebagai Zat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah SWT pun lantas mengampuni dosa-dosa lelaki itu karena amal terakhir yang dilakukannya. Mengenai hal ini, Rasulullah SAW juga mengabarkan dalam hadis bahwa amal seseorang dinilai dari akhir hayatnya. Dari Abu Umamah Al Bahilil disebutkan:
إذا أراد الله بعبد خيرا استعمله قيل : ما يستعمله ؟ قال : يفتح له عملا صالحا بين يدي موته حتى يرضي عليه من حوله
Artinya: “Jika Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, maka dia akan membuatnya banyak beramal,” Beliau ditanya, “Bagaimana Allah membuatnya banyak beramal?” Beliau menjawab, “Diberinya taufiq untuk beramal sholeh sebelum mati, kemudian dia dicabut dalam keadaan seperti itu,” (HR Ahmad).