INDONESIAONLINE – Induk perusahaan media sosial raksasa Facebook, Instagram, dan WhatsApp, Meta, baru-baru ini memperkenalkan inovasi terobosan dalam bidang antarmuka otak-komputer. Mereka mendemonstrasikan teknologi revolusioner yang mampu menerjemahkan aktivitas pikiran langsung menjadi teks yang ditampilkan di layar.
Perangkat ini diberi nama Brain2Qwerty, diklaim bekerja tanpa memerlukan implan bedah atau alat khusus yang dikenakan di kepala, menandai pendekatan non-invasif yang signifikan dalam pengembangan teknologi “telepati“.
Meski demikian, purwarupa mesin penerjemah pikiran ini masih jauh dari ideal untuk penggunaan sehari-hari. Ukurannya besar sebanding dengan lemari es, bobot mencapai 500 kilogram dan harga yang selangit sekitar 32 miliar rupiah.
Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi ini masih dalam tahap pengembangan awal dan belum siap untuk komersialisasi massal.
Teknologi Brain2Qwerty merupakan hasil kolaborasi antara tim kecerdasan buatan (AI) dan neurosains Meta. Sistem ini memanfaatkan kecerdasan buatan untuk menganalisis sinyal magnetik yang dihasilkan oleh aktivitas neuron di otak.
Prosesnya melibatkan penggunaan magnetoencephalography (MEG), sebuah teknik neurofisiologi yang mampu merekam aktivitas magnetik otak dengan sangat sensitif.
Dalam demonstrasi yang dilakukan, partisipan penelitian duduk di dalam mesin pemindai MEG yang bentuknya menyerupai pengering rambut berukuran besar. Alat ini berfungsi menangkap sinyal-sinyal halus dari otak saat partisipan tersebut mencoba mengetik kata-kata dalam pikirannya.
Selanjutnya, sistem AI canggih akan mempelajari pola-pola sinyal otak ini dan menghubungkannya dengan huruf-huruf yang ingin diketik.
Hasil awal penelitian Meta menunjukkan tingkat akurasi yang menjanjikan, mencapai 80 persen dalam mengidentifikasi huruf yang dipikirkan partisipan. Dengan tingkat akurasi ini, mesin Brain2Qwerty mampu merekonstruksi kalimat secara utuh hanya berdasarkan aktivitas otak, tanpa memerlukan input fisik dari jari atau tangan.
Meskipun demikian, Meta mengakui bahwa masih banyak tantangan yang perlu diatasi sebelum teknologi ini dapat diaplikasikan secara luas. Keterbatasan utama saat ini meliputi kebutuhan akan ruangan khusus yang terlindung dari interferensi medan magnet bumi, serta sensitivitas perangkat terhadap pergerakan kepala yang dapat mempengaruhi kualitas pembacaan sinyal otak.
Meta menegaskan bahwa fokus utama riset ini adalah untuk memperdalam pemahaman tentang mekanisme otak dalam mengubah proses berpikir menjadi tindakan motorik yang kompleks.
“Dengan menganalisis ribuan ‘snapshot’ aktivitas otak setiap detik, kami dapat mengidentifikasi momen krusial ketika pikiran bertransformasi menjadi kata, suku kata, hingga huruf individual,” jelas Meta dalam keterangan di blog resmi mereka.
Pendekatan non-invasif yang dikembangkan Meta ini menawarkan harapan besar, terutama di bidang medis. Teknologi ini berpotensi memberikan solusi inovatif bagi pasien yang mengalami gangguan saraf atau cedera otak, memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar secara lebih efektif.
Perkembangan Meta ini terjadi di tengah persaingan yang semakin ketat dalam ranah teknologi antarmuka otak-komputer. Sebelumnya, perusahaan Neuralink milik Elon Musk juga telah mengembangkan teknologi serupa yang memungkinkan kontrol komputer hanya dengan pikiran. Namun, pendekatan Neuralink berbeda karena memerlukan prosedur bedah untuk menanam chip elektroda langsung ke dalam otak.
Neuralink mengklaim telah berhasil menanam chip otak pada dua pasien manusia sebagai bagian dari uji klinis yang telah mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Implan Neuralink dilaporkan memungkinkan pasien lumpuh untuk melakukan berbagai aktivitas digital seperti bermain video game, berselancar di internet, dan mengoperasikan komputer.
Meskipun kedua perusahaan ini mengambil jalur pengembangan yang berbeda, baik Meta maupun Neuralink sama-sama menunjukkan potensi besar teknologi antarmuka otak-komputer dalam merevolusi cara manusia berinteraksi dengan teknologi dan mengatasi berbagai tantangan medis di masa depan.