Beranda

Misteri Hilangnya Blambangan: Darah, Pengkhianatan dan Kutukan Gaib yang Hantui Penakluk Mataram

Misteri Hilangnya Blambangan: Darah, Pengkhianatan dan Kutukan Gaib yang Hantui Penakluk Mataram
Ilustrasi Kerajaan Blambangan (Ist)

INDONESIAONLINE – Mei 1625. Bayangan ekspansi Kesultanan Mataram yang tak terbendung mulai menjalar ke pesisir timur Pulau Jawa. Setelah Surabaya takluk di bawah kekuasaan Sultan Agung, pandangan sang penguasa Mataram mulai beralih ke Blambangan, sebuah negeri di ujung timur Jawa yang memiliki garis nasib terikat kuat dengan Bali.

Namun, di balik laporan awal tentang puluhan ribu prajurit yang siap digerakkan, tersimpan kisah yang lebih kompleks: sebuah ramalan pedagang Tionghoa yang meleset, ketakutan yang mencekam, intrik istana yang berdarah, hingga kutukan gaib yang menghantui para penakluk.

Inilah sejarah Blambangan, sebuah narasi kelam tentang perebutan kekuasaan, spiritualitas, dan bayang-bayang balas dendam yang abadi.

Badai di Ujung Timur: Antara Ancaman Mataram dan Pelukan Bali

Pada paruh kedua abad ke-17, Blambangan bagaikan anak panah yang menancap di tengah pusaran kekuatan regional. Laporan awal dari seorang pedagang Tionghoa di Kendal pada 1 Mei 1625 menggemakan “ramalan” tentang 20 hingga 30 ribu prajurit Mataram yang akan menaklukkan Blambangan. Sebuah desas-desus yang kala itu belum menjadi kenyataan, bahkan dibantah oleh laporan Belanda pada Oktober 1625.

Namun, kecemasan itu nyata. Daghregister 24 September 1628 mencatat bagaimana Raja Blambangan mulai merapat ke Kompeni (VOC) demi mencari perlindungan dari ancaman Mataram yang membayangi.

Di sisi lain, Blambangan memiliki kedekatan kultural dan politis yang erat dengan Bali. Raja Bali berperan sebagai pelindung, bahkan secara praktik mengendalikan Blambangan sebagai vasal. Tercatat pada 25 Juli 1632, Raja Blambangan berada di Bali, sebuah indikasi subordinasi politik yang tak terbantahkan.

Posisi Blambangan sungguh terjepit: di satu sisi ancaman Mataram, di sisi lain bayang-bayang perlindungan yang mengikat dari Bali.

Namun, sebelum Mataram benar-benar menjejakkan kakinya, gejolak sudah melanda dari dalam. Sekitar tahun 1633, istana Blambangan diguncang kudeta paling keji. Raja yang sah, Maes Cariaen, diusir dan dibantai secara brutal bersama seluruh keluarga dan keturunannya. Pelakunya adalah seorang tokoh yang disebut “Singersarrij” (diduga dari Singasari).

Melalui intrik dan hadiah-hadiah kepada Raja Bali serta para pembesarnya, “Singersarrij” berhasil diangkat sebagai raja baru Blambangan.

Menurut Meinsma (1874:144), raja baru ini memiliki dua putra kembar, yang kelak dikenal sebagai Ki Mas Kembar. Peristiwa berdarah ini bukan hanya perebutan takhta, melainkan sebuah pemusnahan dinasti lama Blambangan, sebuah titik kritis yang mencatat lenyapnya garis keturunan terdahulu dalam sejarah kerajaan ini.

Mataram Menurunkan Tirai Besi: Perang dan Kekalahan di Tanah Blambangan

Barulah setelah internal Blambangan porak-poranda, Mataram bergerak. Antara tahun 1636 hingga 1640, ekspedisi militer besar ke Blambangan diluncurkan, dipimpin oleh Pangeran Silarong dan Padureksa. Pasukan Mataram bergerak dari Pasuruan, melintasi Kediri dan Lumajang, menuju Blambangan.

Adipati Blambangan yang baru meminta bantuan ke Bali. Lima ratus prajurit elit Bali, dipimpin oleh Dewa Agung dan Dewa Lengkara, bergegas datang. Namun, dalam pertempuran sengit yang terekam dalam Serat Kandha dan Babad Tanah Djawi, pasukan gabungan Blambangan-Bali tak mampu menahan gempuran Mataram.

Pasukan Bali, yang konon hanya bersenjata sumpit, meskipun berhasil menimbulkan korban di pihak Mataram, akhirnya kocar-kacir. Ki Mas Kembar, yang menjaga kota, tak berdaya dan akhirnya tertangkap.

Penduduk Blambangan berhamburan melarikan diri ke pegunungan, namun pengejaran tak henti. Bahkan seorang guru pertapa bernama Salokantara, yang berlindung di lereng-lereng curam, berhasil ditangkap.

Ia diseret ke hadapan Pangeran Silarong dan dibunuh dengan kejam. Namun, kematiannya tak biasa. Kisah mistis menyelimuti: mayatnya menghilang, dan suara gaib terdengar menggugat pembunuhan itu: 

“Pada suatu ketika, guru akan menjelma raja dengan bekas luka di lengan kiri atas. Pada saat itu aku akan membunuhmu.”

Kutukan Sang Pertapa: Gaung Balas Dendam dari Salokantara

Peristiwa pembunuhan Salokantara adalah inti dari legenda kelam Blambangan. Serat Kandha bahkan mencatat versi lain: Salokantara enggan duduk di tanah saat diinterogasi dan memilih meninggal dengan penuh wibawa.

Dalam tradisi Jawa, seorang guru pertapa yang dibunuh secara tidak adil diyakini memiliki kekuatan spiritual luar biasa, pembawa kutukan, atau pemilik kalimat sakti yang akan terwujud.

Kutukan Salokantara inilah yang kemudian dipercaya menjadi akar dari nasib tragis Pangeran Silarong di kemudian hari. Konflik internal yang mendera Mataram, khususnya perselisihannya dengan Sunan Amangkurat I, seolah menjadi babak baru narasi spiritual dan politis yang berakar pada peristiwa di Blambangan.

Pada penghujung tahun 1669, Pangeran Silarong—seorang bangsawan tinggi Mataram dan cucu dari Sultan Agung—mengalami akhir hayat yang tragis. Ironisnya, ia yang dahulu memimpin ekspedisi besar menaklukkan Blambangan, justru menemui ajal di bawah bayang-bayang kecurigaan dan intrik politik istana Mataram sendiri.

Sunan Amangkurat I, penguasa Mataram yang terkenal keras dan penuh curiga terhadap para kerabat yang berpengaruh, menuduh Silarong hendak merebut takhta. Tanpa melalui peradilan resmi, Silarong dijatuhi hukuman mati.

Jasadnya tidak disemayamkan di makam-makam kerabat raja seperti Kotagede atau Imogiri, melainkan dikuburkan secara hina di Banyusumurup. Kompleks pemakaman ini dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai tempat peristirahatan para “durhaka”: tokoh-tokoh bangsawan dan pangeran yang dianggap berkhianat atau bersalah terhadap Mataram.

Di sinilah, menurut kabar keraton, Pangeran Silarong—sang penakluk Blambangan dan sosok kontroversial dalam sejarah kekuasaan Mataram abad ke-17—beristirahat dalam senyap, dikutuk sejarah resmi namun tetap membekas dalam ingatan rakyat sebagai tokoh tragis yang terjebak dalam pusaran kekuasaan, mungkin juga dalam bayang-bayang kutukan yang pernah ia torehkan.

Blambangan Pasca-Takluk: Dari Penjarahan Hingga Kebangkitan Baru

Setelah kota utama Blambangan jatuh, pasukan Mataram menjarah dan membakar rumah sang adipati. Kedua putranya, Ki Mas Kembar, dibawa sebagai tawanan ke Mataram bersama hasil rampasan perang.

Meinsma (1874:145) mencatat bahwa mereka kemudian diangkat menjadi bupati Blambangan di bawah pengawasan langsung Mataram, sebuah strategi penguasaan yang efektif. Sementara itu, Padureksa diangkat menjadi Pangeran Tepasana sebagai penghargaan atas keberhasilannya dalam ekspedisi tersebut.

Peran Raden Wangsakartika, putra Pangeran Pringgalaya, juga penting. Ia yang sebelumnya dikenal sebagai penjahat dan pembunuh, justru berbalik membela Mataram. Dalam serangan brutal, ia membunuh Panji Buleleng dan Macan Kuning, dua tokoh penting pasukan Blambangan-Bali. Aksinya mendorong mundurnya sisa pasukan Bali dan membuat Blambangan benar-benar takluk.

Sisa-sisa penduduk dan bangsawan Blambangan melarikan diri ke Gunung Wilis, tempat tinggal pertapa Sakanda. Namun, mereka tetap diburu. Sakanda pun ditangkap dan dibunuh atas perintah Pangeran Silarong. Dengan itu, berakhirlah resistensi Blambangan yang tersisa.

Ki Mas Kembar, meskipun berasal dari garis penguasa yang lahir dari pengkhianatan atas Raja Maes Cariaen, kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah Blambangan pasca-penaklukan. Gelar Tawangalun yang disandangnya menjadi simbol kesinambungan pemerintahan lokal yang tunduk pada kekuasaan pusat Mataram. Namun, kisahnya tetap diwarnai oleh stigma sejarah dan bayang-bayang kutukan Salokantara.

Penaklukan Blambangan oleh Mataram bukan sekadar catatan ekspansi militer. Ia adalah narasi kompleks tentang perebutan kuasa, persekutuan antar kerajaan, peran spiritualitas lokal, dan legenda-legenda rakyat yang terus hidup dalam memori kolektif Jawa Timur.

Kisah Ki Mas Kembar dan Salokantara memperlihatkan betapa sejarah Jawa bukan hanya ditulis dengan darah dan pedang, tetapi juga dengan kata-kata yang gaib, kutukan yang diwariskan, dan kesaktian yang diselubungi misteri. Di sanalah fakta dan mitologi berpadu—menjadi warisan Blambangan yang takluk, namun tak pernah benar-benar padam dari ingatan rakyatnya.

Exit mobile version