INDONESIAONLINE – Masa pemerintahan Bupati-Wakil Bupati Ipuk Fiestiandani-Sugirah memimpin Banyuwangi genap satu tahun, Sabtu (26/2/2022) kemarin. Banyak dinamika yang terjadi di tahun pertama kepemimpinan istri Abdullah Azwar Anas, khususnya terkait kebijakan publik.

Dalam rilis yang dikirimkan, Minggu (27/2/2022), Bondan Madani, Ketua Umum Lembaga Diskusi Ilmu Sosial (LDKS) Pilar Jaringan Aspirasi Rakyat Banyuwangi (PIJAR), menilai sebagian besar tahun pertama Bupati Ipuk dihabiskan dalam situasi yang tidak normal karena pandemi Covid-19. 19 yang muncul sebelum dia menjabat.

“Beberapa bulan pertama, waktunya sudah habis untuk menata birokrasi Pemkab Banyuwangi untuk membantu menjalankan roda pemerintahan,” kata Bondan.

Namun pada kenyataannya, belum ada waktu untuk membenahi birokrasi, muncul kebijakan untuk memberhentikan 331 pegawai berstatus pekerja harian lepas (THL). Belum lagi suasana pandemi yang menghambat pemerintah menjalankan program tersebut. “Jadi ketika menilai prestasi pasangan Ipuk-Sugirah, konteksnya sebatas itu,” imbuhnya.

Dengan situasi dan kondisi seperti itu, lanjut Bondan, ia menilai program visi misi yang dijanjikan pasangan Ipuk-Sugirah belum tercapai. Bahkan, dalam aspek lain, dia menilai pemerintahan satu tahun Ipuk tidak terlalu menonjol dan menimbulkan sejumlah kontroversi.

Ia mengatakan salah satu kebijakan yang dinilai kontroversial adalah ketika Bupati Ipuk secara sepihak membagikan 1/3 kawasan Kawah Ijen kepada Pemerintah Kabupaten Bondowoso. Penyerahan sepihak ikon kebanggaan Banyuwangi itu memicu banyak protes dari berbagai kalangan karena dinilai tidak berdasarkan kajian dan pemikiran matang dalam mengambil keputusan.

Hal ini diperparah dengan kelambanan para wakil rakyat di DPRD dalam menanggapi keputusan kontroversial orang nomor satu di Banyuwangi itu. Sempat ada wacana pengajuan hak interpelasi dari dua fraksi dan dua anggota, namun wacana tersebut kandas di tengah jalan dan menjadi cerita yang tak kunjung usai.

Lebih lanjut, tokoh muda asal Baungan, Kecamatan Glagah ini, juga menyoroti lemahnya komunikasi politik Ipuk sebagai pemimpin dengan Sugirah sebagai pendamping dan dengan legislatif.

“Keputusan tentang batas wilayah Kawah Ijen itu diduga tanpa koordinasi dengan dewan. Bahkan Sugirah selaku Wakil Bupati juga seolah-olah tidak tahu apa-apa tentang masalah tersebut. Artinya dari sini terlihat bahwa Banyuwangi Bupati kurang pandai berkomunikasi,” jelasnya.

Ditambah dengan terjadinya walk out tiga pimpinan dewan pada acara yang digelar di pendapa tersebut, semakin memperjelas ketidakmampuan Bupati Ipuk dalam merajut komunikasi.

Bahkan, banyak yang mengira hal itu dilakukan dengan sengaja karena ketiga pimpinan dewan tersebut merupakan kader parpol yang menjadi rival dalam pelaksanaan pemilu.

Lebih lanjut, kata dia, proses yang baik setidaknya membuka ruang partisipasi yang lebih luas, baik dengan elit politik maupun dengan para aktivis yang peduli dengan kemajuan Banyuwangi. Jika prosesnya tidak mengandung kedua unsur tersebut, wajar jika sebagian aktivis protes.

Salah satu faktor yang membuat pemerintahan Ipuk di tahun pertama berjalan kurang maksimal, lanjut aktivis dari Kampung Atasangin, terlalu banyak pencitraan, tidak menerima kritik dari elemen masyarakat dan tidak ada kekuatan oposisi yang efektif di parlemen untuk mengontrol pemerintahan. kebijakan.

“Relatif tidak ada oposisi di parlemen, sehingga pemerintahan Ipuk Fiestiandani terlalu nyaman,” kata Bondan.

Ke depan, ia meminta Bupati Ipuk bekerja maksimal, tidak hanya melakukan pencitraan. Sebab beban besar ada pada parpol pendukung sebelum menghadapi Pilkada serentak 2024 mendatang. Mendukung dan mendukung parpol harus lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah agar dapat menciptakan “ketidaknyamanan”.

“Kalau berteman baik, kadang harus memarahi teman sendiri. Terlalu nyaman itu tidak baik dan begitulah realita sistem yang kita miliki saat ini,” kata Bondan.

Jika tidak, maka kekuatan masyarakat sipil berikutnya harus bergerak. “Pendukung pasangan Ipuk-Sugirah saat pilkada semakin kritis, orang nomor satu di Banyuwangi itu pasti berpikir,” imbuhnya.

Alumni muda HMI juga mempertanyakan aktualisasi program pemerintah “Banyuwangi Rebound” yang dibangun di atas tiga pilar dan dua landasan penting. Tiga pilar tersebut antara lain tangguh menghadapi pandemi, memulihkan perekonomian, dan merajut kerukunan. Sedangkan landasan yang mendukungnya adalah pelayanan publik yang prima dan partisipasi aktif masyarakat.

“Kita semua berharap konsep Banyuwangi Rebound ini menjadi solusi. Bukan sekedar konsep untuk mendapatkan berbagai prestasi dan eksistensi saja. Tapi masyarakat tidak merasakan efek apapun dari program yang dicanangkan Bupati Banyuwangi ini,” pungkas Bondan.

Sedangkan Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani dalam beberapa kesempatan menyampaikan beberapa keberhasilan dalam satu tahun menjabat. Antara lain program Warung Naik Kelas (WeNak), pendampingan pengurusan SPP-IRT, pemberian bantuan produktif bagi UMKM, Rantang Kasih, Belanja di UMKM dan Pasar Rakyat dan lain sebagainya. Bahkan pada masa pandemi, angka kemiskinan Banyuwangi menjadi yang terendah di Provinsi Jawa Timur, yakni 0,01 persen.

Dalam Rapat Paripurna DPRD Banyuwangi beberapa hari lalu, Ipuk menyatakan situasi saat ini merupakan tantangan berat. Banyuwangi yakin bisa melewati masa sulit ini dengan 4 syarat. Yaitu, optimis, solid, bekerja keras, inovatif dan berpikiran terbuka, mendengarkan saran dari siapa pun untuk kemajuan dan peningkatan kinerja yang lebih baik.