Tragedi dr. Faradina di Surabaya menjadi alarm keras. Wali Kota Eri Cahyadi nyatakan perang, menolak damai bagi pelaku kekerasan terhadap tenaga medis. Sebuah komitmen untuk melindungi jubah putih penyembuh.
INDONESIAONLINE – Ruang praktik yang seharusnya menjadi altar penyembuhan, pada Jumat kelam itu, berubah menjadi arena kebrutalan. Jas putih dr. Faradina Sulistiyani yang melambangkan harapan, ternoda oleh amarah.
Di RSUD Bhakti Dharma Husada (BDH) Surabaya, di tempat ia mengabdi, kepalanya terkoyak, punggungnya lebam. Ironisnya, luka itu diukir oleh tangan pasien yang pernah ia sembuhkan.
Insiden ini bukan sekadar catatan kriminal biasa. Ia adalah lonceng darurat yang bunyinya menggema hingga ke Balai Kota Surabaya, menyentak nurani Wali Kota Eri Cahyadi. Ini bukan lagi soal pasien dan dokter, melainkan soal peradaban dan penghargaan terhadap profesi penyelamat nyawa.
“Tidak ada perdamaian!” suara Eri Cahyadi terdengar tegas pada Selasa (26/8/2025), seolah menabuh genderang perang terhadap segala bentuk kekerasan pada garda terdepan kesehatan.
“Saya minta kasus ini dilaporkan dan berjalan secara hukum. Saya harus betul-betul menjaga dan melindungi dokter,” tegasnya.
Kalimat itu bukan sekadar retorika politik. Ia adalah sebuah benteng yang dibangun Pemkot Surabaya. Sebuah janji bahwa setiap tetes keringat dan dedikasi para dokter tak akan dibalas dengan aniaya yang dibiarkan sirna di meja mediasi.
Pemkot, kata Eri, akan menjadi tameng hukum bagi dr. Faradina hingga ketukan palu terakhir di pengadilan. “Beliau, para dokter ini, sudah menjalankan tugas mulia menyelamatkan nyawa orang di Kota Surabaya. Kami tidak ingin mereka merasa tidak nyaman,” tutur Eri, menyiratkan bahwa rasa aman adalah hak mutlak bagi para penyembuh.
Gunung Es Kekerasan Medis
Kasus dr. Faradina, tragisnya, bukanlah anomali. Ia adalah puncak gunung es dari masalah yang mengakar. Data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara konsisten menunjukkan gambaran suram. Sebuah survei sebelumnya pernah mengungkap bahwa 6 dari 10 dokter di Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik verbal, fisik, maupun psikologis selama bertugas.
Menurut Dr. Adib Khumaidi, Sp.OT, Ketua Umum Pengurus Besar IDI, dalam berbagai kesempatan, kekerasan semacam ini tidak hanya melukai fisik, tetapi juga merusak mental tenaga medis.
“Ini bisa memicu burnout, ketakutan, bahkan praktik defensive medicine, di mana dokter menjadi terlalu berhati-hati dalam mengambil tindakan medis karena khawatir akan tuntutan atau kekerasan,” jelasnya.
Sikap tegas Eri Cahyadi sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang secara eksplisit memberikan perlindungan hukum bagi tenaga medis dan kesehatan dari tindak kekerasan saat menjalankan tugas. Komitmen Surabaya ini menjadi implementasi nyata dari payung hukum nasional tersebut di tingkat lokal.
Luka Lama, Amarah Baru
Di tengah badai yang menimpanya, dr. Faradina mencoba meluruskan duduk perkara dengan ketenangan seorang profesional. Pasien yang menganiayanya, sejatinya adalah cerita masa lalu. “Pasien ini telah saya tangani dan sudah dinyatakan sembuh sejak dua tahun lalu,” ungkapnya lirih.
Keluhan baru sang pasien—nyeri di punggung—adalah bab yang berbeda. Sebuah kondisi neuropatik, lazim pada penderita diabetes, yang berada di luar kompetensi bedahnya. Dengan cermat, dr. Faradina telah memberikan penjelasan dan mengarahkannya ke dokter spesialis yang tepat.
“Sudah kami jelaskan sejelas-jelasnya. Mungkin pasien mengharapkan pelayanan saya, karena yang mengoperasi saya. Tapi sesuai kompetensi, saya mengalihkan sesuai keluhan pasien ke bagian terkait,” paparnya.
Penjelasan logis itu, sayangnya, tak mampu membendung amarah yang membabi buta. Terjadi disonansi antara harapan pasien dan realitas medis, sebuah percikan yang menyulut api kekerasan.
Kini, janji perlindungan itu tak hanya berlaku untuk dokter di rumah sakit pemerintah. Eri Cahyadi menegaskan, jubah pelindung itu terbentang untuk semua tenaga medis di Kota Pahlawan, baik di fasilitas negara maupun swasta. Sebuah preseden pernah ia tunjukkan saat membela dokter swasta yang dilaporkan pasien di era pandemi Covid-19.
Surabaya telah mengirimkan pesan yang lantang dan jelas: kota ini adalah rumah yang aman bagi para penjaga kehidupan. Setiap upaya mencederai mereka yang berjas putih akan berhadapan dengan tembok hukum yang kokoh, tanpa celah untuk kata ‘damai’ (mbm/dnv).