Desas-desus perbedaan pendapat di antara 2 (dua) kandidat calon Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada muktama ke 34 di Lampung, semakin menguap dan memanas terkesan adanya perang dingin di antara kedua kubu, yakni antara Profesor Dr. KH. Said Aqil Sirajd dan KH. Yahya Cholil Tsaquf (Gus Yahya).  Sehingga ada kesan para pemilih yang terdiri dari pengurus cabang dan pengurus wilayah seperti dihantui rasa ketidakenakan di antara keduanya, dan berusaha untuk saling menjaga satu sama lainnya. Apalagi ditambah issue intervensi pemerintah dan kekuatan jejaring incumbent menjadi suatu hal hangat yang dipebincangkan.  

Masyarakat awam menilai bahwa pendukung kubu Kyai Yahya menggulirkan issue kaderisasi, di mana sudah saatnya yang muda memimpin. Sebab versinya, Kyai Said sudah cukup untuk mengabdi di NU sebagai Ketua Umum Tanfidziyah selama 10 tahun atau 2 priode. Estapet cita-citanya tidak bisa diselesaikan oleh hanya dirinya sendiri, namun harus ada orang lain yang meneruskan dalam system dan kepengurusan PBNU yang baru. Apalagi Kyai Said dianggap sudah meranjak sepuh berumur 68 tahun, seumur dengan Rais Aam KH. Miftachul Ahyar saat ini, maka sudah sepantasnya beliau menempati posisi syuriah dan tidak lagi mengisi pos tanfdiziyyah. Issue lagi bergulir seperti dalam pertarungan pemilihan Presiden, seperti Slogan Ganti Presiden ikut naik kepermukaan tersebar di media watshapp, dan tertulis harapan jika PBNU selanjutnya masih diberikan amanatnya pada Kyai Said maka PBNU hanya diisi oleh golongan yang itu dan itu saja. Apalagi golongan muda yang dikomandoi oleh Gus Yaqut berharap PBNU harus ada wajah baru dan segar. Selain itu, perseteruan perdabatan antara Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah menjadi dinamika polarisasi kelompok mana yang lebih berperan. Polemik maju-mundur tanggal muktamar, share watshapp pdf slide share yang meligitimasi Rais Aam melakukan kesalahan menjadi bagian issue yang tidak dapat dipisahkan dan bumbu tambahan menghangatkan suasana perebutan calon ketua Umum PBNU.

Masyarakat awam juga menilai kubu pendukung Kyai Said menggulirkan issue yang tidak kalah menarik, mulai dari issue tentang intervensi Kementerian Agama yang anggotanya menjabat sebagai ketua cabang atau wilayah, habisnya slot kamar hotel se Bandar Lampung karena dibooking oleh Kementerian Agama, slogan reshuffel Gus Yaqut dari Menteri Agama, dan pemutusan sepihak penginapan muktamirin di asrama haji Bandar Lampung menjadi dinamika menarik yang menghangatkan suasana dalam pemilihan ketua umum yang baru. Gus Yaqut dianggap bermain untuk memenangkan saudaranya, sehingga dianggap menggunakan kekuatan pemerintah yang mengintervensi para pemilih. Issue lain yang digulirkan adalah kedekatan Kyai Yahya atau Gus Yahya dengan Israel menjadi hal yang ramai di media social, seperti dikesankan bahwa Gus Yahya dekat dengan asing sehingga dianggap mengkhawatirkan bagi NU di masa depan.  

Baca Juga  Menyoal Politik Kesejahteraan di Malang Raya

Wacana tidak bertuan bergulir dinamis selama perjalanan menuju hari H muktamar NU, namun penulis menilai wacana ini digulirkan oleh simpatisan, dan bukan dari kedua calon langsung, melainkan suara suara lain yang turut meramaikan hangat perhelatan muktamar NU. Kebeneran dari wacana dan issue yang berkembang harus diverifikasi lebih mendalam agar tidak berujung pada fitnah yang akhirnya merugikan organisasi Nahdlatul Ulama. Sebab itu sudah sepantasnya para pendukung atau simpatisan tidak terlalu berlebihan dalam mensikapi perbedaan cara pandang dan pendapat melainkan dengan cara yang bermartabat dan mengedapankan aspek wasathiyah sebagai ciri khas dari Nahdlatul Ulama.  

Terlepas dari wacana dan issue yang berkembang pada muktamar NU di Lampung, maka penulis mencoba memberikan rumusan sederhana, bahwa seharusnya adanya calon lain yang menjadi alternatif pilihan bagi muktamirin di Lampung, seperti KH. Marzuki Mustamar contohnya. Sebab Kyai Marzuki selama persiapan menjelang muktamar jarang sekali terdengar issue issue miring terhadap dirinya, berbeda dengan kedua calon lain yang ramai diperbincangkan. Melihat dari konsistensi dan kecintaan dirinya terhadap Nahdlatul Ulama tidak bisa diragukan (absolut), apalagi dari sisi keilmuan tergolong alim dan wara’iy. Hal itu cukup  menegaskan bahwa dirinya layak diperhitungkan dalam percaturan di muktamar Lampung.  

Kyai Marzuki dikenal sebagai orang yang mempopulerkan “shalawat ashgil” pada Harlah NU di Jawa Timur, di mana ketika itu fitnah menyerang NU luar biasa karena 212, ia juga dikenal dengan Panglima Densus 26 NU yang menjadi garda terdepan melawan perseteruan NU dengan Wahabi, Syiah, LDII, NII, MTA, dan lain sebagainya. Kitab “al-Muqtathafat” karnya menjadi salah satu rujukan counter attack serangan-serangan dari pihak luar yang menyalah-kafirkan tradisi Nahdlatul Ulama selemanya.  

Selain itu, hasil survey yang di rilis oleh Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) pada 23 Maret-5 April 2021 atas siapakah yang layak memimpin PBNU selanjutnya, menunjukan bahwa Kyai Marzuki Mustamar (Ketua PWNU Jawa Timur) berada pada posisi pertama dengan angka 24.7% dan poisisi kedua diikuti oleh KH Hasan Mutawakkil Alallah. Hasil survey menegaskan bahwa warga nahdliyyin menghendaki beliau menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU terpilih pada muktamar di Lampung.  

Baca Juga  Opini: Haji dan Uji Kesabaran

Sebab itu pantas Kyai Marzuki untuk dipertimbangkan dan menjadi alternatif pilihan menjadi kandidat calon ketua umum pada muktamar Lampung. Alasanya, pertama, Kyai Marzuki independent tidak terlibat dari perseteruan issue hitam dari kedua pasangan calon. Kedua,  Marzuki mewakili suara hati kebanyakan warga Nahdliyyin yang tidak memiliki suara (vote) dalam pemilihan ketua umum. Ketiga, ada harapan pada dirinya untuk membawa NU melepaskan diri dari issue liberal, syiah, dan lain-lain pada pengurusan sebelumnya. Sehingga tidak ada lagi organisasi NU tandingan, seperti NU garis lurus.

Namun, dipilih atau tidak Kyai Marzuki sebagai calon alternatif pada muktamar NU di Lampung semua bergantung pada muktamirin. Namun penulis hanya bisa mengingatkan bahwa dalam memilih tetap harus menjaga marwah, etika, dan harkat martabat nama besar Nahdlatul Ulama dengan cara menghindari praktek politik uang, sogok dan menyogok, dan bukan atas dasar ketakutan pada dan atau titipan penguasa. Akan tetapi berdasarkan hasil istikhoroh, suara hati (qalbu), dan keinginan menjadikan organisasi Nahdlatul Ulama lebih baik lagi di masa yang akan datang. Ironi, apabila organisasi yang diisi notabene para ulama, namun mempraktekan tradisi lalim yang harus dihindari dan dihilangkan di muka bumi.  

Kemudian, siapapun yang terpilih maka harus ditaati dan diikuti oleh seluruh warga Nahdliyyin, baik structural maupun kultural, sebab bagaimana pun hasil muktamar adalah ijtihad tertinggi para ulama Nahdlatul Ulama untuk keberlangsungan di masa depan. Dan semua Kembali ke zero-zero, tidak ada istilah geser menggeser, tutup menutupi akses, dan lain sebagainya. Sebab organisasi yang besar adalah organisasi yang mampu menghargai perbedaan, karena sejatinya perbedaan adalah rahmat dan wujud dari cinta kasih Tuhan kepada manusia.

 

 

Selamat Bermuktamar….

 

Muhamad Qustulani

Aktivis Muda Nahdlatul Ulama Banten



Muhamad Qustulani