Beranda

Pangeran Arya Blitar: Sang Ksatria Kartasura

Pangeran Arya Blitar: Sang Ksatria Kartasura
Ilustrasi Pangeran Arya Balitar saat memimpin operasi militer di Malang dan Pasuruan (ai/io)

Jelajahi kisah Pangeran Arya Blitar, putra Pakubuwana I, yang menumpas loyalis Amangkurat III, namun kemudian bangkit melawan kekuasaan Kartasura. Sebuah narasi intrik, kesetiaan, dan perlawanan di jantung Mataram.

INDONESIAONLINE – Di tengah reruntuhan Mataram yang diterpa badai intrik, pengkhianatan, dan perebutan kekuasaan yang sengit, dari istana Kartasura muncullah sosok Pangeran Arya Balitar, yang lebih dikenal sebagai Arya Blitar.

Ia bukan sekadar bangsawan istana biasa, melainkan putra mahkota yang diperhitungkan, pewaris langsung dari Susuhunan Pakubuwana I. Namanya terukir bukan hanya sebagai ujung tombak militer dalam menumpas sisa-sisa loyalis Amangkurat III, tetapi juga sebagai penutup tirai kelam kekuasaan raja buangan yang sempat merobek tubuh kerajaan.

Namun, di balik kilau kemenangan dan peranannya sebagai penegak legitimasi Kartasura, terbentang kisah yang jauh lebih kompleks, tentang seorang pangeran yang kelak bangkit melawan dinasti yang sama yang ia bela.

Sang Panglima Muda dari Kartasura

Perang Suksesi Jawa pertama meninggalkan luka yang mendalam bagi Mataram. Meskipun Amangkurat III telah terusir, posisinya masih membayangi, terutama di Jawa Timur, tatkala Pakubuwana I naik takhta berkat dukungan Kompeni Belanda.

Di sinilah, Pangeran Arya Blitar, yang bernama asli Raden Mas Sudomo, tampil sebagai pemegang mandat spiritual dan militer ayahnya. Ia bukan sekadar adipati yang memerintah di Blitar, melainkan pangeran istana Kartasura yang menyandang gelar “Blitar” dari garis keturunan ibunya, Ratu Mas Blitar, yang mewarisi gelar tersebut dari leluhurnya, Panembahan Juminah, putra Panembahan Senapati dan Ratu Madiun, Retna Dumilah. [1]

Saat Amangkurat III menyatakan menyerahkan diri kepada Belanda, Pakubuwana I melihat peluang emas. Pusaka-pusaka kerajaan yang masih di tangan musuh harus segera direngkuh kembali.

Tugas berat ini dipercayakan kepada Arya Blitar. Perjalanannya ke Blitar dan Malang bukan sekadar untuk mengambil pusaka seperti tombak Kyai Baru, keris Kyai Belabar, dan Kyai Gondil, tetapi juga untuk memastikan bahwa loyalis Amangkurat III tidak lagi memiliki basis kekuasaan di wilayah timur.

Intrik, Pengkhianatan, dan Eksekusi atas Nama Legitimasi

Amangkurat III menolak menyerahkan pusaka, menanggapi permintaan Arya Blitar dengan amarah dan kecurigaan, bahkan mengklaim akan disambut dengan hormat oleh Kompeni Belanda di Surabaya.

Arya Blitar, membaca tipu muslihat ini, menyatakan dengan keras, “Kalau aku tahu dia berbohong demikian, pasti kuremas mulutnya. Maka dia tidak akan kekal menjadi raja karena tidak tulus ucapannya.” [2]

Kemarahannya kian membuncah ketika mengetahui pelarian Arya Pulangjiwa, mantan pejabat penting Amangkurat III yang pernah menyandang nama “Arya Blitar” sebelum gelar itu secara resmi diberikan kepada Raden Mas Sudomo. [3]

Arya Pulangjiwa, yang membelot karena sakit hati atas pencabutan gelarnya, kabur dari tahanan. Di bawah instruksi Arya Blitar, dua perwiranya, Ki Tumenggung Suralaya dan Ki Barebes, berhasil melacak dan menangkapnya.

Eksekusi Arya Pulangjiwa di hutan Pasuruhan, dengan kepala dibawa ke Malang sebagai bukti, menjadi penanda kejamnya penegakan legitimasi nama kerajaan. [4]

Selanjutnya, Arya Blitar memimpin operasi militer berskala besar di Malang dan Pasuruan. Rumah-rumah loyalis Amangkurat III dibakar, barisan pasukan Adipati Wiranagara dibubarkan, dan para tokoh penting seperti Ki Wiraguna, Mandurareja, Arya Tiron, dan Mangunagara ditawan.

Putri-putri dari keluarga elite Malang dan Pasuruan diboyong ke Kartasura sebagai simbol kemenangan. [5] Laporan lengkapnya kepada Pakubuwana I menegaskan dominasi Kartasura atas Jawa Timur.

Pujian Raja, Restrukturisasi Kekuasaan, dan Bayang-Bayang Perlawanan

Di Kartasura, Arya Blitar disambut dengan hangat. Pakubuwana I memuji keberhasilan putranya, mengakui perannya sebagai perpanjangan tangan legitimasi kekuasaan Kartasura. [6] Pasca-kemenangan tersebut, dilakukan restrukturisasi elite politik dan militer.

Para tokoh yang berjasa diberi ganjaran, sementara tahanan politik seperti Mandurareja dan Wiraguna diberi gelar baru, Dipanegara dan Martadipa. Penataan ini menunjukkan bahwa kemenangan Arya Blitar adalah bagian dari desain besar Pakubuwana I dalam menyusun ulang struktur kekuasaan pasca-perang saudara.

Namun, dinamika politik istana berubah seiring naiknya Sunan Amangkurat IV ke tampuk takhta pada tahun 1719, didukung penuh oleh VOC. Arya Blitar, bersama saudara seayahnya Pangeran Purbaya, merasa terpinggirkan.

Sengketa hak waris teritorial dan simbolik atas wilayah Jagaraga dan Blora memicu ketidakpuasan mendalam. Bagi Arya Blitar, ini adalah pemangkasan hak politik dan penistaan terhadap posisinya sebagai pewaris sah trah utama Pakubuwanan.

Sang Pangeran Pemberontak: Dari Ksatria Menjadi Penantang Tahta

Merasa tidak adil dan belum memiliki kekuatan militer, Pangeran Blitar menyingkir ke Kartasekar, bekas keraton Karta di Bantul. Di sanalah, ia mendeklarasikan diri sebagai raja tandingan bergelar Sultan Ibnu Mustafa Pakubuwana.

Dukungan mengalir dari berbagai tokoh bangsawan dan panglima daerah yang kecewa, termasuk Arya Dipanagara (Panembahan Herucakra), Pangeran Purbaya, Arya Jaya Puspita, Panji Surenggana, Panji Kartayuda, Raden Jimat, Adipati Natapura, serta tokoh militer seperti Surapati dan Suradilaga. [7] Dukungan terpenting datang dari ibunya, Ratu Mas Blitar, sebagai simbol legitimasi perjuangan anaknya.

Gerakan Pangeran Blitar ini dikategorikan oleh VOC sebagai ancaman terkoordinasi, mencerminkan resistensi kolektif dari elite lokal yang merasa kesetiaan Kartasura kepada VOC sebagai pengkhianatan terhadap warisan Mataram Islam. [8]

Akhir yang Tragis, Namun Warisan yang Abadi

Pada tahun 1720, pasukan Kartasura yang dibantu VOC berhasil menghancurkan basis pemberontakan di Kartasekar dan Jepara. [9] Namun, kekuatan Pangeran Blitar bertahan karena dukungan loyalis daerah dan simpati masyarakat anti-Belanda. Pemberontakan ini menjadi simbol resistensi terhadap kooptasi politik VOC di tubuh istana Mataram.

Nasib tidak berpihak pada Arya Blitar. Pada September 1721, ia wafat di Lumajang karena sakit, pada puncak ketegangan politik, yang kerap dianggap sebagai kematian simbolis dari harapan restorasi kepemimpinan alternatif dalam Mataram. [10] Meskipun dicap pemberontak oleh kekuasaan resmi, Pangeran Arya Blitar dimakamkan secara terhormat di kompleks pemakaman Dinasti Mataram di Astana Panitikan, Yogyakarta, berdampingan dengan ibundanya.

Dalam tafsir spiritual rakyat, kedekatan makam ini menunjukkan bahwa perjuangannya tidak sepenuhnya dianggap sebagai pengkhianatan.

Dalam tradisi lisan Madiun dan Blitar, ia dikenang sebagai pangeran pemberani yang menantang arus ketika kekuasaan telah dikendalikan kolaborator. [11] Pernikahannya dengan Raden Ayu Brebes melahirkan dua putri yang nasabnya terserap kembali ke dalam tubuh kekuasaan Mataram, menunjukkan rekonsiliasi diam-diam yang khas dalam politik dinasti Jawa. [12]

Pangeran Arya Blitar adalah cermin dari rumitnya perjalanan politik Jawa pada abad ke-18, di mana garis darah, pusaka, dan kesetiaan menjadi mata uang kekuasaan.

Ia memainkan dua peran yang kontras: ksatria yang menumpas musuh takhta, lalu pemimpin pemberontakan yang menantang pusat kekuasaan itu sendiri. Label “pemberontak” yang disematkan penguasa tidak serta merta menghapus jejak kehormatannya di mata rakyat, justru menjadi simbol kesetiaan pada nilai-nilai leluhur dan harga diri trahnya.

Dalam narasi spiritual rakyat, ia adalah simbol pangeran bangsawan yang mewarisi darah pemberontak Retno Dumilah dan berjuang menjaga martabat dinasti.

Sejarah menuliskannya sebagai pemberontak, tetapi rakyat yang mewarisi kisahnya menyebutnya pangeran yang tidak tunduk. [13] Riwayat hidupnya menegaskan bahwa garis antara “loyalis” dan “pemberontak” seringkali hanyalah persoalan dari sudut mana sejarah dituturkan (ar/dnv).

Exit mobile version