Beranda

Pecah Kongsi PBNU: Membedah Seteru Kubu Sultan dan Kramat

Pecah Kongsi PBNU: Membedah Seteru Kubu Sultan dan Kramat
Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) (io)

Analisis mendalam konflik internal PBNU antara Kelompok Sultan dan Kramat. Membedah tafsir AD/ART, posisi Gus Yahya vs KH Zulfa Mustofa, dan ancaman dualisme di tubuh Nahdlatul Ulama.

INDONESIAONLINE – Di balik dinding kaca Hotel Sultan yang kedap suara dan hiruk pikuk Jalan Kramat Raya yang berdebu, Nahdlatul Ulama (NU) sedang menghadapi ujian terberatnya dalam satu dekade terakhir. Bukan lagi soal politik praktis lima tahunan, melainkan pertarungan fundamental mengenai siapa yang memegang kendali tafsir tertinggi dalam konstitusi organisasi Islam terbesar di dunia ini.

Istilah “Kelompok Sultan” dan “Kelompok Kramat” yang mulanya hanya penanda geografis lokasi rapat, kini bermetamorfosis menjadi simbol ideologis. Pada 9-10 Desember 2025, sejarah mencatat sebuah manuver tak terduga: Rapat Pleno di Hotel Sultan menunjuk KH Zulfa Mustofa sebagai Pejabat Ketua Umum, mencoba mendongkel legitimasi Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) yang berkantor di Kramat Raya.

KH Zulfa Mustofa

Interpretasi Supremasi Syuriyah vs Mandat Muktamar

Konflik ini bukan sekadar reshuffle pengurus biasa. Inti persoalan terletak pada “wilayah abu-abu” dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU.

Berdasarkan data dokumen hasil Muktamar ke-34 di Lampung, posisi Syuriyah memang ditempatkan sebagai suprema lex (hukum tertinggi) pengendali organisasi. Inilah dalil yang digunakan Kelompok Sultan.

“Langkah pengambilan keputusan di Hotel Sultan didasarkan pada asumsi bahwa ketika Tanfidziyah dianggap melenceng, Syuriyah memiliki hak veto mutlak untuk melakukan penataan ulang, termasuk mengganti pucuk pimpinan eksekutif tanpa menunggu Muktamar,” ujar salah satu sumber internal dari jajaran Syuriyah yang hadir di Hotel Sultan, yang enggan disebutkan namanya.

Namun, validitas ini dibantah keras oleh Kelompok Kramat. Mengacu pada Bab Kepengurusan dalam ART NU, pemberhentian Ketua Umum memiliki mekanisme ketat yang harus melalui peringatan bertingkat dan hanya sah jika disepakati dalam forum setingkat Munas atau Muktamar Luar Biasa, bukan sekadar rapat pleno sepihak.

Data Lapangan: Klaim Dukungan yang Terbelah

Situasi semakin rumit ketika kedua kubu mulai mengklaim dukungan basis. Berdasarkan pantauan di lapangan, polarisasi mulai merembes ke tingkat Pengurus Wilayah (PWNU) dan Pengurus Cabang (PCNU).

  • Kubu Sultan: Mengklaim didukung oleh mayoritas jajaran Syuriyah dan faksi-faksi sepuh yang merasa marwah kiai mulai tergerus oleh gaya manajemen korporasi.

  • Kubu Kramat: Masih memegang kendali administratif, surat-menyurat resmi, dan akses ke sistem database SISNU (Sistem Informasi Strategis NU).

Seorang pengamat dinamika NU dari UIN Syarif Hidayatullah (nama disamarkan demi netralitas) menyebutkan data historis yang relevan: “NU pernah mengalami double leadership serupa di era Cipete vs Situbondo pada akhir 90-an. Polanya sama: perebutan tafsir kewenangan. Jika data PCNU yang loyal tidak segera divalidasi, kita akan melihat pembekuan massal pengurus cabang yang memicu kelumpuhan organisasi.”

Turbulensi di Akar Rumput

Dampak konflik elit ini langsung dirasakan di bawah. Di beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, warga Nahdliyin mulai bingung menentukan kiblat instruksi.

“Kami di ranting bingung. Ada edaran dari Kramat untuk konsolidasi, tapi ada juga instruksi dari jejaring Sultan untuk menahan diri. Ini preseden buruk bagi kaderisasi,” ungkap seorang Ketua MWC NU di wilayah Pantura.

Kelompok Kramat menuding Pleno Sultan adalah tindakan inkonstitusional (makar organisasi). Sebaliknya, Kelompok Sultan menganggap kepemimpinan di Kramat Raya telah melanggar khittah etika berorganisasi sehingga perlu intervensi darurat.

Jika tidak ada tabayyun (klarifikasi) dan islah (rekonsiliasi) segera, dualisme PBNU bukan lagi ancaman, melainkan kenyataan pahit.

Sejarah mencatat, NU selalu punya mekanisme self-healing melalui peran para Kiai Khos (ulama sepuh yang dihormati). Publik kini menanti, apakah para ‘paku bumi’ NU akan turun gunung menengahi tafsir AD/ART yang “liar” ini, atau membiarkan Hotel Sultan dan Jalan Kramat Raya menjadi dua menara kembar yang saling merobohkan.

Yang pasti, pertarungan ini bukan lagi soal Gus Yahya atau Kiai Zulfa, melainkan soal masa depan tata kelola jam’iyah di tengah tantangan zaman yang kian pragmatis (ina/dnv).

Exit mobile version