INDONESIAONLINE – Meninggalnya gadis belia bernama Cahaya Meida Salsabila, sudah sepantasnya menjadi atensi semua pihak untuk segera mengambil tindakan kongkrit. Salah satunya dengan memberikan pendampingan kepada korban yang selamat, maupun orang yang ditinggalkan keluarganya karena meninggal saat tragedi Kanjuruhan.

Sebab jika tidak, dikhawatirkan kejadian serupa yang dialami oleh gadis belia berusia 12 tahun tersebut, bakal terulang kembali. Yakni meninggal dunia akibat mengalami trauma berkepanjangan pasca ditinggal orang terdekatnya yang tewas akibat tragedi Kanjuruhan.

Pakar psikologi sekaligus akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Dr Elok Halimatus Sa’diyah MSi menyebut, langkah pemberian pendampingan psikologi terhadap para korban baik yang terdampak secara langsung maupun tidak tersebut, perlu untuk segera dilakukan. Alasannya, lantaran mereka yang mengalami trauma tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri, tanpa adanya pendampingan dari orang lain atau yang ahli di bidangnya.

“Susah, kalau trauma itu sulit, tidak bisa disembuhkan sendirian. Kalau namanya trauma, biasanya membutuhkan orang lain untuk membantu. Khususnya orang yang berkompetensi di bidang psikologi,” jelasnya.

Baca Juga  UIN Malang Berkibar Lagi di Ajang Porsi Jawara 1, Kini Rebut Emas Catur

Sebagaimana yang telah diberitakan, Cahaya Meida Salsabila tutup usia pada Jumat (28/10/2022) dini hari. Gadis belia yang duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD) itu, meninggal usai mengalami depresi akibat ayah dan salah satu kakak kandungnya meninggal dunia akibat tragedi Kanjuruhan.

Semenjak ayahnya yang bernama Muchamad Arifin (45) dan kakaknya M. Rifky Aditiya Arifianto (13) meninggal dunia pada Minggu (2/10/2022), akibat tragedi Kanjuruhan, sosok yang dikenal dengan panggilan Cahaya itu dikabarkan mengalami trauma.

Pihak SDN 3 Tumpang yang menjadi sekolah tempat Cahaya dan kakaknya menimba ilmu semasa hidupnya menyebut, Cahaya menjadi lebih banyak murung setelah kakaknya meninggal. Hubungan Cahaya dengan sang kakak yang dikenal sangat dekat, membuat bocah yang dikenal periang ini menjadi depresi.

Alhasil, setelah kakaknya meninggal dunia Cahaya lebih sering izin tidak masuk sekolah. Alasannya karena Cahaya sering jatuh sakit.

Puncaknya pada Sabtu (22/10/2022) lalu, kondisi kesehatan Cahaya semakin memprihatinkan. Hingga akhirnya bocah belasan tahun itu tutup usia pada Jumat (28/10/2022).

Menanggapi hal semacam itu, Elok mengaku sangat prihatin. Sebab, kondisi yang dialami Cahaya pasca ditinggal keluarganya meninggal dunia, menyisakan dampak trauma yang berpengaruh pada kondisi kesehatannya.

Baca Juga  Fakultas Humaniora UIN Maliki Malang Buka Penelitian Kolaboratif Dosen-Mahasiswa

“(Kondisi semacam itu) memang bisa saja terjadi, karena emosi itu pengaruhnya kuat sekali kepada kesehatan fisik. Secara fisik sebenarnya kalau dia tidak terlalu trauma, mungkin dia masih bisa disembuhkan,” ungkap Elok yang kini juga menjadi Dosen Fakultas Psikologi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Menurutnya, hubungan antara kesehatan psikologi dengan kesehatan fisik tidak bisa dipisahkan. Sebab keduanya saling berkaitan dan berpengaruh kepada kesehatan seseorang.

“Ada koneksi yang cukup kuat antara kesehatan psikologis dengan kesehatan fisik kita. Ketika misalnya fisik kita sedang sakit, tapi secara emosi kita lagi sehat, kita lagi happy, ini (sakit fisik) bisa cepat sembuh,” jelasnya.

Sebaliknya, dijelaskan Elok, jika kondisi fisik sedang drop ditambah dengan kondisi psikologi yang sedang mengalami trauma. Maka tidak menutup kemungkinan kesehatan secara fisik yang sedang dialami seseorang, menjadi susah untuk disembuhkan. Kondisi semacam itulah yang kemungkinan dialami oleh Cahaya.