Beranda

Praktik Pelacuran: Zaman Kerajaan hingga Belanda

Praktik Pelacuran: Zaman Kerajaan hingga Belanda
Praktik Pelacuran di Zaman Kerajaan dan Legalisasi Pemerintah Hindia Belanda

INDONESIAONLINE – Praktik pelacuran yang tumbuh di Jawa ternyata sudah ada sejak zaman kerajaan. Jauh sebelum penjajah Belanda datang ke Nusantara.

Perempuan pada zaman kerajaan Mataram sejak 1755 disamakan dengan upeti (barang antaran) yang berujung pada praktik pelacuran atau perseliran.

Hal ini didasarkan, kekuasaan raja sangatlah besar dan meliputi segala kehidupan masyarakatnya. Maka, pada zaman itu tidak heran seorang raja memiliki begitu banyak selir bahkan gundik yang dipersembahkan bawahannya atau raja lainnya sebagai bentuk dukungan politik, keagungan dan kejayaan.

Posisi perempuan sebagai upeti memperlihatkan bahwa semakin banyak selir yang dipelihara, maka posisi raja di mata masyarakat semakin kuat.

Dari sisi ketangguhan fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual.

Walau ada pandangan bahwa perseliran tidak sama dengan praktik pelacuran. Hubungan pelacur dengan pengguna jasa kepelacuran adalah hubungan seksual antara penjual jasa seks dan pengguna jasa seks. Meski hanya seorang selir, bukan istri parameswari, namun hubungan raja-selir adalah suami dan stri, hubungan keluarga, tidak semata transaksional.

Berbeda motifnya di era Kerajaan Singahasari di bawah kepemimpinan Sri Maharaja Kertanagara (Raja Kertanegara) di tahun 1268 yang menggantikan ayahnya Wisnuwardaha dilandasi oleh keyakinan keagamaan.

Motif raja terakhir dan terkenal yang memerintah Kerajaan Singhasari ini dalam mempraktikkan pesta minuman keras dan seks adalah sebagai ritual keagamaan.

Menurut Nagarakretagama, Kertanagara dikisahkan sebagai seorang yang bebas dari segala dosa. Sebagai penganut ajaran Buddha aliran Tantrayana kiri, dia meyakini ritual tersebut demi mencapai pencerahan atau nirwana.

Namun ritual ini hanya dilakukan Kertanegara untuk mencapai pencerahan demi kemakmuran negara dan rakyat serta dalam menangkal serangan musuh. Jadi bukan untuk kesenangan pribadi atau kenikmatan duniawi semata.

Konon dari berbagai literatur sejarah, ritual ini mulai dilakukan Kertanegara karena dia mendapatkan kabar jika kehebatan Kubilai Khan yang berhasil menaklukkan sebagian daratan Eropa dan Asia ternyata berasal dari kekuatan gaib ritual Tantrik yang dipelajari Raja Mongolia ini dari seorang biksu Tibet.

Lewat ritual pesta minuman keras dan seks tersebut, Kertanegara meyakini Kubilai Khan mendapatkan bantuan Dewi Kali yang dalam tahapannya menjelma sebagai ibu suri kegelapan.

Kertanegara pun mulai mendatangkan para spriritualist ahli Tantra dari Champa (Kamboja) yang terdiri dari para gadis muda yang menawan atau yoginis.

Ritual ini rutin dilakukan di bangsal perempuan istananya dengan melibatkan para bawahannya yang memakai topeng agar identitas mereka tersamarkan. Ritual ini rutin dilakukan sang raja, bahkan hingga pada akhir kekuasaannya ketika diserang oleh Jayakatwang penguasa Kediri.

Kertanegara dan bawahannya yang sedang melaksanakan upacara Tantrayana bersama para yoginis terlena atas serangan dari dalam negeri, yaitu pasukan Kediri.

Buku Gayatri Rajapatni (Earl Drake, Penerbit Ombak, 2012) menuliskan betapa kagetnya pasukan Kediri yang menyerang ke ibukota Singhasari. Pasukan ini dikejutkan dengan pemandangan yang mereka lihat.

Kertanegara beserta seluruh bawahannya tidak berbusana serta dalam berbagai pose ganjil. Larut dalam keasyikan tuak bersama para yoginis muda dari Champa ini.

Lalu para penyerbu dari Kediri ini mengamuk dan membantai seisi ruangan tersebut termasuk Prabu Kertanegara dan permaisurinya.

Hindia Belanda Legalkan Pelacuran

Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan yang menyetujui komersialisasi seks, tapi disertai dengan serangkaian pengaturan, 1852.

Zoetmulder (1995:408) menuliskan, pengaturan terhadap prostitusi sebenarnya telah dilakukan semenjak Masa Hindu-Buddha serperti tergambar pada adanya jabatan “juru jalir”. Juru Jalir bertugas antara lain mengemban tugas untuk mengawasi praktik pelacuran.

Dalam peraturan prostitusi era Hindia-Belanda tahun 1852 dinyatakan bahwa pelacur diawasi secara langsung dan ketat oleh polisi. Semua didaftar, diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin tiap minggu menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi ada tidaknya penyakit sipilis atau penyakit kelamin lainnya.

Apabila berpenyakit, maka harus segera menghentikan praktiknya dan diasingkan ke suatu lembaga inrigting voor zieke publieke vrouwen yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit itu.

Untuk mempermudah penanganan pelacur, maka dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil.

Dua dekade berikut tanggung jawab pengawasan rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Peraturan pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut dan diganti dengan peraturan penguasa daerah setempat.

Exit mobile version