Puisi Hujan Desember

Ilustrasi puisi (Ist)

*dd nana veno

 

-Kita selalu mencipta titik

walau kisah tak selamanya tunduk

pada segala yang kita sebut runduk-

1/

Di luar, langit menghitam

serupa warna rambutmu saat kita bertemu

Atau selegam hitam matamu

yang gigil

saat bibir kita saling menyerukan rindu.

 

Cinta kita begitu keparat, sengalmu

Bahkan hujam hujan tak mampu

mendinginkan amuk bara rindu.

 

Getah dari raga kita menetes

warna hitam di seprei bermotif bunga padma

Mereka bilang itulah dosa.

 

Dan langit pun meneteskan air matanya

Tepat di angka sembilan desember

Meringik-ringik menyerupai tangisan paling luka

paling kuruksetra.

 

Cinta kita begitu keparat dan tentunya liat, ucapmu lirih

saat ragamu menindih sosokku yang kau sebut laut.

 

Hujan yang mendaras dan menderas

di desember, percayalah, tak akan menyeret rindu kita

Ke got-got mampet atau selokan-selokan yang dicipta untuk sekedar hiasan mata.

 

Aku menatap matamu

Yang masih legam dengan gigil yang masih juga sama

saat bibirku memoleskan racun dunia

di rengkah merah bibirmu yang akrab dengan doa.

 

Untuk menemukan nirwana, kita harus merobeknya terlebih dahulu

Dengan luka, dengan dosa, dengan air mata

Asal muasal hujan desember yang mendaras segala yang terbuka di ruang yang kita sebut dunia.

 

Di luar langit serupa adonan kue

yang dibuat oleh tangan-tangan buta warna.

Dan kita memilih warna malam

untuk langit desember.

 

2/

Lingkaran kecil, kurus dan kerap mata abai atas adanya

Tapi, entah apa yang membuatmu jatuh cinta

Sehingga begitu mesranya jemarimu terus mencipta

titik demi titik yang akhirnya menjadi laut

Di mataku.

 

Aku sebenarnya cemburu

Melihatmu lebih memilih titik daripada tegakku

yang dijadikan contoh segala yang bergerak dan menamakan dirinya khalifah.

Yang kuasa yang mampu berdiri tegak, ucapku di telingamu yang menyerupai gua berbentuk spiral

yang membuatku kerap membayangkan sebuah kehangatan di dalamnya saat aku bisa bersemayam.

Tapi, kau benar-benar jatuh

dan cinta menjelma titik demi titik

dari lentik jemarimu itu.

 

Aku sebenarnya cemburu

Sebelum akhirnya kau berbisik di suatu sore

Dengan langit yang begitu murung dan mengganti warnanya di luar sana.

 

Bahkan, hujan pun pada akhirnya mencipta titik

Agar yang kita sebut cinta bisa berbiak apa adanya

Dan kisah tak bisa melawan titik yang dicipta lebih purba dari segala yang kita dengar dan baca sampai kini.

 

Percayalah, segala yang tegak akan kembali

pada titik dan berawal dari titik.

 

Aku terlelap sebelum bisik kau tandai titik.

-Akan ada yang menggeliat, tak tunduk pada kisah dan segala tanda. Seperti hujan desember yang tak ingin kau tandai begitu saja-.

*Pecinta kopi pahit dan tukang wingko

kumpulan puisipuisi dd nanapuisi indonesiapuisi online