INDONESIAONLINE – Di balik seremoni panen raya ikan nila di Desa Sumberporong, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang tersimpan sebuah cetak biru strategi ketahanan pangan yang ambisius. Ini bukan sekadar acara memanen ikan; ini adalah potret keberhasilan transformasi lahan tidur menjadi mesin ekonomi dan gizi, dengan visi yang membentang dari pekarangan rumah hingga pasar Eropa.
Bupati Malang, H.M. Sanusi, memimpin langsung panen raya di kolam budidaya seluas 2.000 meter persegi di atas tanah kas desa, Selasa (24/6/2025).
Namun, sorotan utama bukanlah pada tujuh ton ikan nila yang berhasil diangkat, melainkan pada model bisnis sosial yang terbukti ampuh: mengubah hibah pemerintah menjadi keuntungan ratusan juta rupiah sekaligus menjadi garda terdepan dalam perang melawan stunting.
Program yang diusung, “Centing Mami” (Pencegahan Stunting Melalui Memasyarakatkan Makan Ikan), menjadi wujud nyata dari implementasi program prioritas nasional yang digagas Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
“Ini adalah investasi masa depan. Kita tidak hanya mendukung program Presiden untuk gemar makan ikan, tetapi kita memulainya dari hulu: produksi,” tegas Sanusi, yang memiliki latar belakang sebagai petani.
“Gerakan ini harus diawali dengan ketersediaan ikan di desa-desa. Jadi, ikannya ada dulu, baru kita ajak masyarakat memakannya,” ujarnya.
Dari Hibah Gratis Menjadi Omzet Rp 160 Juta
Model yang diterapkan di Desa Sumberporong terbilang revolusioner untuk skala desa. Pada Februari 2025, Pemerintah Desa menerima hibah 26 ribu bibit ikan nila dan 4 ton pakan dari Dinas Perikanan Kabupaten Malang. Semuanya gratis!
Empat bulan kemudian, Kelompok Mina Makmur yang mengelola kolam melaporkan hasil panen fantastis mencapai tujuh ton.
“Hasilnya luar biasa. Dengan pakan 4 ton, panennya 7 ton. Jika dijual Rp 20 ribu saja per kilogram, hasilnya Rp 140 juta,” hitung Sanusi.
Namun, Kepala Desa Sumberporong, Idhinningrum, melaporkan angka yang lebih menggembirakan. “Untuk panen pertama ini sudah habis dipesan masyarakat sekitar. Pendapatannya mencapai sekitar Rp 160 juta,” ungkapnya.
Keberhasilan ini membuktikan bahwa intervensi pemerintah yang tepat sasaran—berupa bibit dan pakan gratis—dapat menjadi katalisator ekonomi desa yang mandiri, tanpa membebani APBDesa secara terus-menerus.
Visi Global dari Kolam Desa
Yang membuat model ini lebih dari sekadar program lokal adalah visinya yang mendunia. Sanusi secara eksplisit menyebutkan bahwa pasar ikan nila dari Malang tidak hanya untuk konsumsi lokal atau pasar domestik.
“Kalau produksinya bagus, distribusinya tidak hanya ke pasar lokal. Sebagian sudah diekspor ke Belanda melalui Pak Indra di Turen,” jelas Sanusi.
Pernyataan ini membuka tabir bahwa kolam-kolam desa yang kini digalakkan di seluruh Kabupaten Malang diproyeksikan sebagai bagian dari rantai pasok global. Inisiatif memanfaatkan tanah kas desa yang kurang produktif untuk budidaya nila atau lele bukan lagi sekadar program ketahanan pangan, melainkan langkah strategis untuk menjadikan desa sebagai produsen komoditas ekspor.
Kini, Pemkab Malang mendorong desa-desa lain untuk mereplikasi kesuksesan Sumberporong. “Bibitnya gratis, pakannya juga gratis. Kita berikan semua. Bayangkan jika setiap desa bisa menghasilkan enam sampai tujuh ton ikan,” pungkas Sanusi, sambil menebar benih baru sebagai simbol keberlanjutan siklus produksi.
Kegiatan ditutup dengan makan bersama olahan ikan dan pembagian paket gizi kepada ibu balita. Sebuah penegasan bahwa dari kolam yang sama, lahir gizi untuk anak bangsa, pendapatan untuk warga desa, dan komoditas untuk pasar dunia (ta/dnv).