INDONESIAONLINE– Bisa dikatakan Blitar adalah salah satu peradaban tua di Nusantara. Belakangan Blitar lebih akrab dengan sebutan Bumi Laya Ika Tantra Adhi Raja atau tempat pusara raja-raja besar. 

Enam abad yang IaIu, tepatnya pada bulan Waisaka Tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di Candi Penataran, namun juga ke tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan dan Mleri (Weleri) di Srengat. 

Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo.

Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Ra Kuti dan Ra Semi. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke Desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara di bawah pimpinan Gajah Mada.

Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat. Adapun Ra Kuti dan Ra Semi berhasil diringkus, kemudian dihukum mati. Karena kebaikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. 

Baca Juga  Berbagai Pengalaman, Ini Tips Lolos CPNS

Ini menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana Tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhinya diperingati sebagai hari jadi Blitar setiap tahunnya.

“Sejarah Hari Jadi Blitar dimulai sejak ditemukanya prasasti Balitar I tahun 1324, jadi sejak itu Blitar sudah dikenal sebagai perdikan. Nah, sehingga Blitar di masa-masa itu adalah masa Majapahit. Pada waktu itu struktur pemerintahan kita belum ada. Belum ada pemerintah kabupaten, kecamatan, NKRI pun belum ada pada masa itu. Jadi Blitar pada masa Majapahit dikenal sebagai perdikan,” jelas Kepala Dinas Parbudpora Kabupaten Blitar, Suhendro  Winarso.

Sejarah Blitar terus berlanjut, menurut Suhendro di masa Hindia Belanda, tepatnya setelah Perang Diponegoro tahun 1830 ada yang namanya penataan residen baru. Belanda kemudian menggabungkan dua kadipaten yakni Kadipaten Sarengat dan Kabupaten Ngantang menjadi satu kabupaten yakni Kabupaten Blitar.

“Wlingi itu dulu termasuk ke dalam wilayah Kadipaten Ngantang. Nah, dalam penataan residen baru maka terbentuklah sistem pemerintahan pada masa Belanda waktu itu dihitung sebagai waktu berdirinya Kabupaten Blitar. Jadi kalau berbicara Kabupaten Blitar, disitulah dikenal bupati pertama Blitar yaitu Ronggo Hadi Negoro. Jadi ada bedanya, Blitar sebagai perdikan dan pada 1830 Blitar berdiri sebagai Kabupaten Blitar,” paparnya.

Baca Juga  Versi Kuno Lilith: Ibu Ratusan Setan dan Penentang Superioritas Adam

Perjalanan pemerintahan Blitar dari masa ke masa terus berlanjut dan dalam perjalananya 1830 sampai dengan 1904 di era kolonial. Belanda menghendaki berdirinya suatu kota bagi para pejabatnya. Maka didirikanlah Kota  Blitar pada tahun 1904.

Sejarah itulah yang membuat saat ini di Blitar ada tiga hari jadi. Yakni hari jadi Blitar diperingati pada 5 Agustus, hari jadi Pemerintah Kabupaten Blitar pada 31 Desember dan hari jadi Pemerintah Kota Blitar diperingati pada 1 April.  

“Jadi jika berbicara mengenai Hari Jadi ke-698, kita menyampaikan hari jadi Blitar, bukan hari jadi Pemerintah Kabupaten Blitar atau hari jadi Pemerintah Kota Blitar, tapi Blitar secara keseluruhan. Saat Blitar sudah mulai dikenal  sebagai tanah perdikan. Kalau kita bicara mengenai hari jadi Blitar ya Blitar Raya,” pungkas Suhendro.