INDONESIAONLINE – Di tengah tantangan krisis pangan dan perubahan iklim global, Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar menghadirkan gagasan sederhana tapi revolusioner: mengubah limbah organik menjadi sumber kehidupan baru bagi masyarakat desa.
Melalui program “Transformasi Limbah Organik Menuju Kemandirian Pangan Berbasis Kearifan Lokal dan Penguatan SDM Digital”, kampus hijau yang berlokasi di Jalan Masjid No. 22 Kota Blitar itu membuktikan bahwa perguruan tinggi bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang pengabdian yang nyata bagi rakyat.
Program tersebut digawangi oleh Lestariningsih, dosen UNU Blitar sekaligus ketua Tim Pelaksana Pengabdian Masyarakat, bersama 22 anggota tim lintas disiplin. Dukungan penuh datang dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNU Blitar, yang dipimpin Ahmad Saifudin MPd. Dengan pendanaan sebesar Rp119.975.000, tim ini bergerak ke lapangan untuk mengubah paradigma: dari sampah menjadi sumber daya, dari ketergantungan menjadi kemandirian.
Menurut Ahmad Saifudin, kegiatan ini lahir dari kesadaran bahwa pembangunan berkelanjutan tidak bisa dilepaskan dari pemberdayaan masyarakat desa. Ia menegaskan bahwa UNU Blitar ingin menjadi kampus yang menghadirkan solusi konkret berbasis ilmu pengetahuan dan kearifan lokal.
“Kemandirian pangan tidak cukup dengan teknologi saja. Ia harus tumbuh dari kesadaran masyarakat untuk mengelola sumber dayanya sendiri,” ujarnya dalam forum evaluasi program pada akhir Oktober 2025.
Melalui pendekatan ilmiah dan praktis, tim pengabdian UNU Blitar melatih kelompok tani dan karang taruna di wilayah mitra untuk mengolah limbah organik menjadi pupuk dan pakan ternak. Teknologi sederhana yang diterapkan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat, sehingga mudah diadaptasi dan dioptimalkan.
Lestariningsih menjelaskan bahwa kegiatan ini bukan hanya soal teknologi, tetapi tentang mentransfer cara berpikir baru kepada masyarakat. “Kami ingin mengajarkan bahwa inovasi bisa lahir dari hal-hal kecil di sekitar kita. Limbah yang dulu dianggap tidak berguna, kini bisa menjadi sumber ekonomi,” katanya, Selasa (4/11/2025).
Hasilnya mulai terlihat. Petani di desa mitra kini mampu memproduksi pupuk organik mandiri dan menekan biaya produksi pertanian hingga 40 persen. Di sisi lain, kelompok pemuda desa terlibat aktif dalam produksi, pemasaran digital, hingga pembuatan konten edukatif melalui platform media sosial.
“Mereka tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tapi juga pencipta konten digital yang menginspirasi,” ujar Lestariningsih bangga.
Pendekatan berbasis kearifan lokal menjadi kekuatan utama program ini. Tim UNU Blitar tidak datang membawa formula akademik yang kaku, melainkan berkolaborasi dengan masyarakat untuk menemukan solusi yang sesuai dengan konteks sosial dan budaya setempat.
Para petani diajak menghidupkan kembali tradisi pengomposan alami yang dulu lazim dilakukan leluhur, namun kini dikombinasikan dengan pelatihan literasi digital dan pencatatan berbasis data. Melalui sistem pencatatan sederhana menggunakan perangkat gawai, para anggota kelompok tani kini bisa memantau proses produksi, stok bahan baku, dan distribusi produk mereka secara daring.
Ahmad Saifudin menyebut langkah ini sebagai bentuk transformasi hijau yang berakar pada nilai-nilai Nahdlatul Ulama, yaitu al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah, yang berarti menjaga yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
“Di sinilah wajah pendidikan NU tampak jelas: menggabungkan tradisi dengan inovasi, agama dengan teknologi, dan pengetahuan dengan kemanusiaan,” ucapnya.
Keberhasilan program ini juga terlihat dari hasil monitoring dan evaluasi (monev) yang dilakukan pada 31 Oktober 2025. Dua penilai independen, Dr Agus Muji Santoso MSi dan Dr Rr. Forijati MM, menilai pelaksanaan kegiatan sangat memuaskan. Tim UNU Blitar mendapat skor tinggi dalam hampir semua indikator: kehadiran tim lengkap, kesiapan dokumen, substansi sesuai, dan capaian luaran terukur.
Tidak hanya diukur dari sisi administratif. Keberhasilan program juga dilihat dari dampak sosialnya. Berdasarkan laporan LPPM, tingkat keberdayaan masyarakat mitra meningkat lebih dari 70 persen. Mitra yang sebelumnya pasif kini mampu menerapkan inovasi secara mandiri dan bahkan menciptakan jejaring usaha kecil di bidang pupuk dan pertanian organik.
Karya audio visual dan poster kegiatan yang dipublikasikan di kanal resmi UNU Blitar juga menambah daya jangkau program ini. Video dokumentasi yang menampilkan proses pelatihan, testimoni petani, dan hasil panen organik, kini telah ditonton lebih dari 100 kali di YouTube.
“Kami ingin semua orang tahu bahwa inovasi hijau itu bukan monopoli kota besar. Dari Blitar, kita bisa menunjukkan contoh perubahan nyata,” kata Ahmad Saifudin.
Melalui program ini, UNU Blitar menegaskan perannya sebagai motor pembangunan lokal yang berbasis pengetahuan. Kampus tidak lagi berdiri di menara gading, melainkan turun langsung ke tanah rakyat, membersamai mereka dalam proses belajar dan berdaya.
Pemerintah daerah pun mengapresiasi langkah UNU Blitar yang dinilai sejalan dengan agenda nasional Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya dalam bidang ketahanan pangan dan pendidikan berkualitas.
Sinergi antara perguruan tinggi, masyarakat, dan pemerintah inilah yang menciptakan model pembangunan baru yang inklusif, hijau, dan berkelanjutan.
Bagi UNU Blitar, pengabdian ini bukan akhir, melainkan awal dari gerakan panjang menuju kemandirian desa. “Kami berharap, pengalaman ini menjadi inspirasi bagi kampus-kampus lain untuk terus menghadirkan perubahan positif di masyarakat,” ujar Lestariningsih menutup perbincangan.
Di bawah naungan semangat Nahdlatul Ulama, UNU Blitar menanamkan harapan: bahwa dari tanah yang sempat dianggap sampah, bisa tumbuh masa depan yang lebih hijau dan berdaya. (ari/hel)
