INDONESIAONLINE – Setiap musim haji, kisah Uwais Al Qarni kembali mengemuka. Cerita itu memunjukkan betapa berbaktinya Uwais Al Qarni kepada ibunya.
Kisah ini terjadi di Yaman yang gersang. Kisah Uwais -pemuda miskin yatim yang menggendong ibunya karena lumpuh sejauh ribuan kilometer untuk menunaikan haji- menjadi simbol pengorbanan, ketabahan, dan cinta tak terbatas seorang anak kepada orang tua.
Uwais Al Qarni, pemuda asal Yaman abad ke-7, dikenal sebagai sosok yang mengabdikan hidupnya merawat sang ibu yang lumpuh dan renta. Hidup dalam kesederhanaan, ia tak hanya setia menemani ibunya, tetapi juga konsisten beribadah dan berbagi pada sesama meski dalam keterbatasan. Sifat rendah hati dan ketulusannya membuat namanya disebut-sebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW sebagai “penghuni langit yang dikasihi Allah”.
Saat usia senja, sang ibu mengutarakan kerinduannya untuk menunaikan haji. “Anakku, mungkin ibu tak lama lagi akan berpulang. Tolong kabulkan keinginanku untuk berhaji,” pinta sang ibu, seperti dikisahkan dalam buku Proses Menuju Pemakmaan Hidup (Miranda Rahmania, 2023).
Permintaan itu memicu dilema: bagaimana memenuhi hajat ibunya tanpa biaya dan fisik yang memadai? Jarak Yaman-Makkah yang mencapai 1.600 km, ditambah kondisi ibu yang tak bisa berjalan, seolah mustahil diwujudkan.
Dengan tekad baja, Uwais merancang rencana unik. Ia membeli seekor lembu muda dan membuat kandang di puncak bukit. Setiap pagi, ia menggendong lembu itu naik-turun bukit secara rutin. Awalnya, warga sekitar menganggapnya gila. Ejekan dan cibiran kerap menghampiri.
Namun, Uwais tak gentar. Selama 8 bulan, ototnya dilatih lewat beban lembu yang kian membesar. “Ini persiapan agar aku kuat menggendong Ibu ke Makkah,” ujarnya, seperti tertuang dalam Kisah Kehidupan Uwais Al Qarni (Muhammad Vandestra, 2022).
Saat musim haji tiba, Uwais mewujudkan janjinya. Dengan kekuatan yang terlatih, ia menggendong sang ibu melintasi padang pasir, melewati rintangan cuaca ekstrem, dan menempuh perjalanan berhari-hari.
Kisah heroik ini tak hanya menjadi bukti fisik, tetapi juga keteguhan iman. Keduanya akhirnya tiba di Makkah, menyempurnakan rukun Islam keluarganya.
Kisah Uwais bukan sekadar dongeng. Ia mengajarkan bahwa pengorbanan dan keikhlasan mampu melampaui batas logika. Dalam tradisi Islam, Uwais dihormati sebagai simbol birrul walidain (bakti kepada orang tua) yang tak tertandingi. Hingga kini, namanya kerap disebut dalam ceramah dan literasi spiritual sebagai teladan generasi muda.
Di era di banyak anak terlena oleh individualitas, kisah Uwais Al Qarni mengingatkan kita bahwa cinta sejati sering lahir dari kesederhanaan dan pengabdian tanpa syarat. Sebagaimana tertulis dalam Al-Quran, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan” (QS. Al-Isra: 24). Wallahu a’lam bish-shawab. (as/hel)