Beranda

3 Anggota DPRD OKU dan Kepala DPUPR Jadi Tersangka KPK

3 Anggota DPRD OKU dan Kepala DPUPR Jadi Tersangka KPK
Ketua KPK Setyo Budiyanto membeberkan kasus OTT di OKU, Sumatera Selatan.

INDONESIAONLINE – Tiga orang anggota DPRD dan kepala Dinas PUPR Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) di Sumatera Selatan (Sumsel) menjadi tersangka KPK. Mereka dijerat sebagai tersangka kasus dugaan suap dan pemotongan anggaran pada proyek di Dinas PUPR OKU.

Sebelumnya, KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT)  di OKU pada Sabtu (15/3) kemarin. Ada delapan orang yang ditangkap dan dibawa ke Jakarta.

Berikut daftar tersangka yang ditetapkan KPK:

– M. Fahrudin (MFR) selaku ketua Komisi III DPRD OKU

– Ferlan Juliansyah (FJ) selaku anggota Komisi III DPRD OKU

– Umi Hartati (UH) selaku ketua Komisi II DPRD OKU

– Nopriansyah (NOP) selaku kepala Dinas PUPR OKU

– M. Fauzi alias Pablo (MFZ) selaku swasta

– Ahmad Sugeng Santoso (ASS) selaku swasta.

Ketua KPK Setyo Budiyanto membeberkan bahwa perkara itu dimulai saat pembahasan RAPBD OKU tahun anggaran 2025. Dalam hal itu, ada anggota DPRD yang meminta jatah pokok pikiran (pokir) kepada pemerintah.

“Perwakilan DPRD meminta jatah pokir, seperti yang diduga sudah dilakukan. Kemudian disepakati bahwa jatah pokir tersebut diubah menjadi proyek fisik di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan sebesar Rp 40 miliar,” ungkap  Setyo Budiyanto dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Minggu (16/3/2025) sore

Setyo menambahkan, proyek untuk pokir ketua dan wakil ketua DPRD senilai Rp 5 miliar. Sedangkan nilai untuk anggota DPRD Rp 1 miliar. “Nilai ini kemudian turun menjadi Rp 35 miliar,” ujarnya.

Penurunan nilai karena ada keterbatasan anggaran. Namun fee proyek-proyek itu tetap disepakati 20 persen bagi anggota DPRD dan 2 persen bagi Dinas PUPR. Sehingga total fee untuk anggota DPRD OKU sebesar Rp 7 miliar.

“Saat APBD tahun anggaran 2025 disetujui, anggaran Dinas PUPR naik dari pembahasan awal Rp 48 miliar menjadi Rp 96 miliar. Jadi signifikan karena ada kesepakatan ya. Maka yang awalnya Rp 48 miliar bisa berubah menjadi dua kali lipat,” ungkap ketua KPK.

Setyo mengatakan, Nopriansyah yang merupakan kepala Dinas PUPR OKU menawarkan sembilan proyek kepada Fauzi dan Ahmad selaku pihak swasta dengan komitmen fee sebesar 2 persen untuk dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD. Nopriansyah kemudian mengondisikan pihak swasta untuk mengerjakan proyek tersebut.

“Saat itu Saudara Nop (Nopriansyah) yang merupakan pejabat kepala Dinas PUPR menawarkan sembilan proyek tersebut kepada Saudara MFZ dan Saudara ASS dengan commitment fee sebesar 22 persen, yaitu 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD,” ucapnya.

Menjelang Idul Fitri, pihak DPRD yang diwakili oleh Ferlan, Fahrudin, dan Umi menagih jatah proyek tersebut ke Nopriansyah. Pada 13 Maret, Fauzi menyerahkan uang kepada Nopriansyah sebesar Rp 2,2 miliar. KPK kemudian melakukan OTT terhadap mereka.

Atas perbuatannya, Ferlan, Fahrudin, Umi dan Nopriansyah dijerat pasal 12 a atau 12 b dan 12 f dan 12 B UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal 12 a dan b itu mengatur hukuman terkait suap, pasal 12 f mengatur soal pemotongan anggaran dan pasal 12 B tentang gratifikasi dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Sementara, Fauzi dan Ahmad dijerat pasal 5 ayat 1 a atau b UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal itu mengatur soal hukuman bagi penyuap dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun penjara. (rd/hel)

Exit mobile version