Kisah penyergapan dramatis oleh Jatanras Polrestabes Surabaya yang menghentikan ‘karier’ tiga bandit curanmor residivis. Dengan timah panas, keamanan masyarakat Surabaya kembali dijaga.
INDONESIAONLINE – Langit Mulyorejo baru saja memerah saga pada 15 Juli 2025, ketika kesunyian sebuah rumah kontrakan pecah oleh derap langkah dan seruan yang tak bisa ditawar. Di sana, di sarang persembunyian mereka, tiga bayangan yang selama berbulan-bulan menebar resah di jalanan Surabaya dan sekitarnya, akhirnya menemukan titik akhir pelarian mereka.
Ini bukan sekadar penangkapan; ini adalah babak penutup dari opera kejahatan yang dimainkan oleh trio D.H. (25), S.A. (33), dan M.A (26).
Bagi warga Surabaya, Gresik, hingga Sidoarjo, nama mereka mungkin tak dikenal. Namun, aksi mereka meninggalkan jejak luka: rasa was-was saat memarkir motor, kekhawatiran yang menggantung di udara setiap malam, dan kerugian materiil yang menyakitkan. Mereka adalah hantu tanpa wajah yang lihai menari di antara kelengahan.
Tetapi setiap hantu punya pemburunya. Unit Jatanras Satreskrim Polrestabes Surabaya, tim yang bekerja dalam senyap, telah mengendus jejak mereka lebih lama dari yang mereka duga.
Simfoni Kejahatan yang Terorganisir
Komplotan ini bukan sekumpulan amatir yang bertindak atas dorongan sesaat. Mereka adalah orkestra kecil kejahatan jalanan, masing-masing dengan peran yang telah terasah oleh pengalaman.
“Mereka sangat terorganisir,” ungkap Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Edy Heriyanto dengan suaranya yang membelah udara, membawa bobot dari malam-malam tanpa tidur anak buahnya di lapangan.
Dalam setiap aksinya, satu orang menjadi “mata elang”—memantau lokasi, memastikan target aman dari tatapan curiga. Satu lagi adalah “joki”—siaga di atas kuda besi, siap melesat membawa rekan dan hasil jarahan. Dan yang terakhir, sang “eksekutor”—tangan dingin yang dengan kunci L modifikasi mampu membungkam kunci stang motor hanya dalam hitungan detik. Kunci itu, bagi mereka, adalah tongkat sihir yang membuka pintu rezeki haram.
Dari catatan kepolisian, setidaknya 10 TKP menjadi panggung mereka. Dari Jalan Darmo Kali yang ramai hingga lorong sunyi di Perum Candi Lontar. Bahkan, dalam satu malam di Jalan Darmo Kali, dua motor raib sekaligus. Mereka tak hanya beraksi di jantung Surabaya, namun juga melebarkan sayap terornya hingga ke wilayah hukum Tanjungperak, Gresik, dan Sidoarjo.
Curriculum Vitae dari Dunia Gelap
Siapa sebenarnya trio ini? Polisi membuka lembaran masa lalu mereka, dan yang ditemukan bukanlah halaman kosong. Ini adalah curriculum vitae kejahatan, sebuah rekam jejak yang membuat penangkapan ini terasa semakin vital.
-
D.H. (25): Pernah merasakan dinginnya sel Polsek Sukolilo dan Polres Gresik pada 2021–2022. Spesialisasinya: curanmor.
-
S.A. (33): Berbeda jalur, ia sempat terjerat kasus narkotika pada 2019–2021 di wilayah hukum Polres Pelabuhan Tanjung Perak dan Polres Gresik.
-
M.A (26): Kolega setia D.H., ia juga pernah “lulus” dari Polsek Sukolilo dan Polres Gresik untuk kasus yang sama, curanmor.
Mereka adalah residivis, alumni penjara yang agaknya tak pernah benar-benar kapok. Bagi mereka, kejahatan adalah jalan pintas untuk “memenuhi kebutuhan hidup,” sebuah alasan klasik yang terdengar sumbang di telinga para korbannya. Motor hasil curian langsung dilempar ke penadah, menjadi uang tunai yang menguap secepat didapat.
Detik-Detik Penyergapan: Timah Panas Sebagai Titik
Pukul 16.30 WIB. Tim Jatanras bergerak senyap. Rumah kontrakan di Mulyorejo itu telah menjadi titik merah di peta operasi mereka. Ketika pintu didobrak, perlawanan adalah respons pertama dari trio bandit. Mereka mungkin berpikir masih punya kesempatan untuk lolos, untuk kembali menjadi hantu.
Namun, aparat di lapangan tak memberi ruang untuk negosiasi. Suara tembakan memecah ketegangan. Tiga timah panas bersarang di kaki kanan masing-masing pelaku. Sebuah tindakan tegas dan terukur yang menjadi pesan paling gamblang: permainan telah usai.
Di lokasi, petugas mengamankan “alat kerja” mereka: satu kunci L modifikasi yang menjadi saksi bisu puluhan aksi, satu anak kunci gepeng, dan dua ponsel yang mungkin menyimpan jejak transaksi mereka.
“Saya ingatkan kepada para pelaku kejahatan, khususnya curanmor dan curas, Anda akan berhadapan dengan seluruh anggota kami,” tegas AKBP Edy Heriyanto. “Kami tidak akan ragu mengambil tindakan tegas.”
Pernyataan itu bukan sekadar ancaman, melainkan sebuah sumpah untuk menjaga denyut nadi kota agar tetap aman.
Kini, di balik jeruji besi, D.H., S.A., dan M.A. akan menghadapi Pasal 363 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan. Ancaman 7 tahun penjara menanti—waktu yang cukup panjang untuk merenungi senja pahit di Mulyorejo, hari di mana ‘karier’ mereka dihentikan oleh ketegasan hukum.
Bagi warga Surabaya, penangkapan ini adalah napas lega. Namun, kepolisian mengingatkan, keamanan adalah tanggung jawab bersama. Kunci ganda, alarm, dan kewaspadaan adalah pertahanan terbaik. Sebab di luar sana, bayangan-bayangan baru mungkin sedang menunggu kelengahan selanjutnya (mba/dnv).