Menelisik peran Dinas Arkeologi Hindia Belanda dalam pelestarian warisan kuno Jawa, sebuah ironi sejarah antara penyelamatan budaya dan agenda kolonial.
INDONESIAONLINE – Awal abad ke-20 menyibak lembaran penting dalam narasi pelestarian peninggalan kuno di jantung Hindia Belanda. Sebuah kesadaran, yang lahir dari benak para orientalis Eropa, mulai menguak nilai historis dan arsitektural candi-candi di tanah Jawa.
Ia bukan lagi sekadar puing bisu simbol kekuasaan masa lampau, melainkan juga materi ilmiah yang strategis, pengukuh legitimasi kolonial. Dari rahim kesadaran itulah, lahir upaya sistematis pertama yang kelak mendokumentasikan, meneliti, dan memugar warisan arkeologis Nusantara.
Cikal bakal lembaga pelestarian ini bermula pada tahun 1901, ketika pemerintah kolonial membentuk sebuah entitas sederhana namun berdaya strategis: Komite di Hindia untuk Riset Arkeologis di Jawa dan Madura. Tugasnya terang benderang: memotret dan merekonstruksi citra candi-candi serta benda purbakala yang bertebaran di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Survei awal mereka menyasar Candi Jago, Candi Singasari, dan Candi Penataran—tiga situs utama peninggalan Majapahit dan Singasari yang kala itu menjadi magnet bagi para peneliti Belanda. `
Publikasi perdana komite ini, sebuah risalah tentang penggambaran arsitektur dan pencegahan kerusakan monumen kuno, menandai sebuah era baru. Penelitian arkeologi di Hindia Belanda tak lagi sporadis atau bergantung pada individu brilian seperti N.J. Krom atau J.L.A. Brandes, melainkan mulai terorganisasi secara administratif. Ini adalah langkah maju dari pendekatan sebelumnya yang seringkali bersifat penjelajahan pribadi (Coomans, 2003).
Puncak perkembangan terjadi pada tahun 1913, dengan berdirinya lembaga permanen bernama Dinas Arkeologi dan Peribadatan Umum. Sebuah keputusan strategis yang menempatkan lembaga ini di bawah Departemen Pendidikan dan Agama, mencerminkan pandangan kolonial bahwa arkeologi bukan semata sains, melainkan juga instrumen moral dan kultural yang kuat. Dinas ini resmi menggantikan peran komite sebelumnya dan memperluas cakupan kerjanya hingga seluruh pelosok Hindia Belanda (Fontein, 2011).
Dinas Arkeologi mengemban mandat resmi untuk menyusun risalah arkeologis dan arsitektonis benda-benda purbakala, melakukan fotografi, pembuatan cetakan gips, dan survei lapangan. Tugas-tugas ini dirancang bukan hanya untuk kepentingan akademik, tetapi juga untuk mengukuhkan citra Belanda sebagai “penjaga peradaban Timur” di mata dunia.
Struktur dan Birokrasi: Ilmu Pengetahuan dalam Bingkai Kolonial
Kantor pusat Dinas Arkeologi berdiri megah di Weltevreden, Batavia (sekarang Jakarta), dengan struktur organisasi yang rapi dan berorientasi teknis. Di bawah seorang Kepala Departemen, lembaga ini memiliki inspektur benda purbakala, ahli arsitektur, asisten lapangan, serta pejabat teknis yang ditempatkan strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kedua wilayah ini menjadi prioritas utama, sebab di sanalah bersemayam candi-candi besar peninggalan kerajaan Hindu–Buddha. Selain itu, Dinas juga menempatkan pejabat khusus untuk benda-benda purbakala Eropa, seorang fotografer, juru gambar, juru tulis, dan asisten biro.
Kombinasi ini menegaskan bahwa lembaga tersebut bukan sekadar biro administrasi, melainkan laboratorium lapangan multidisipliner: dari arsitektur, sejarah, epigrafi, ikonografi, hingga konservasi bahan (Oudheidkundige Dienst, 1923).
Setiap hasil penelitian terhimpun dalam laporan tahunan resmi sebagai dokumen kolonial. Laporan ini memuat tinjauan umum mengenai perawatan monumen, kegiatan fotografi, penelitian epigrafi, ikonografi, dan hasil pemugaran. Dengan demikian, Dinas Arkeologi menjelma menjadi pengelola memori masa lalu, yang mengubah peninggalan lokal menjadi arsip global dalam bahasa dan sistem pengetahuan Barat.
Namun, di balik sistem yang tampak ilmiah, terselip logika kolonial: pelestarian dilakukan dalam kerangka kekuasaan. Semua aktivitas arkeologis berada di bawah pengawasan ketat pemerintah Belanda, memastikan bahwa benda-benda antik tidak boleh diekspor tanpa izin resmi. Kolonialisme, dengan demikian, menjelma menjadi penjaga sekaligus pemilik sah atas masa lalu yang sejatinya bukan miliknya (Jordaan, 1999).
Memugar Jawa: Candi, Epigrafi, dan Warisan Batu
Sejak berdiri, Dinas Arkeologi memfokuskan perhatian pada rekonstruksi monumen-monumen suci di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fokus utama diarahkan pada kelompok Candi Prambanan, termasuk Candi Sari dan Candi Kalasan.
Pemugaran Candi Kalasan bahkan disebut berhasil secara keseluruhan, menjadikannya contoh paling menonjol dari praktik konservasi kolonial awal abad ke-20. Di Prambanan, pekerjaan pemugaran bersifat bertahap dan memakan waktu panjang, dengan setiap batu disusun kembali berdasarkan dokumentasi fotografi dan cetakan gips yang dihasilkan lembaga tersebut (De Jong, 1993).
Selain di Jawa Tengah, Dinas Arkeologi juga turut serta dalam pemugaran Candi Penataran di Blitar, Candi Singasari di Malang, serta Candi Jago di Tumpang. Ketiganya menjadi situs krusial dalam membangun narasi kontinuitas sejarah Jawa-Hindu.
Melalui kerja-kerja ini, kolonialisme seolah tampil sebagai penyelamat masa lalu, padahal ia juga sedang melakukan proses simbolik: menundukkan warisan leluhur Nusantara ke dalam bingkai epistemologi Barat.
Tak berhenti pada candi, lembaga ini juga memperluas tanggung jawabnya pada benda-benda purbakala dari periode VOC dan kolonial awal. Misalnya, pemugaran benda-benda peninggalan Eropa di Maluku, Gereja Portugis di Batavia, Benteng Marlborough di Bengkulu, serta bangunan istana Kasultanan Cirebon (Kraton Kasepuhan) yang berasal dari masa VOC di Celebes.
Keterlibatan Dinas Arkeologi dalam memelihara benda-benda purbakala Islam dan Cina menunjukkan bahwa lembaga ini tidak hanya berfokus pada monumen peninggalan Hindu dan Buddha, tetapi juga berupaya menyusun kronologi peradaban yang melintasi batas etnis dan agama.
Di balik kegiatan ilmiah itu tersembunyi agenda yang lebih besar, yaitu membangun narasi tentang kemajuan peradaban Hindia Belanda, sebuah versi sejarah yang menempatkan Belanda sebagai pewaris sah sekaligus pelindung kebudayaan Timur.
Arkeologi sebagai Alat Kekuasaan
Dalam struktur kolonial, arkeologi bukan sekadar ilmu, melainkan alat legitimasi yang ampuh. Melalui Dinas Arkeologi, pemerintah Belanda dapat menunjukkan bahwa mereka bukan hanya penguasa politik, tetapi juga pelindung spiritual dan ilmiah dari warisan lokal. Kolonialisme pun tampil dengan wajah ganda: represif di bidang sosial-ekonomi, tetapi paternalistik di bidang kebudayaan.
Pendokumentasian sistematis yang dilakukan Dinas Arkeologi memang menghasilkan manfaat besar bagi dunia pengetahuan. Foto-foto, cetakan gips, dan risalah arsitektural menjadi sumber utama bagi kajian sejarah dan arsitektur Nusantara hingga kini (Bernet Kempers, 1959). Namun, di sisi lain, semua itu juga menjadi bentuk penguasaan simbolik terhadap identitas lokal.
Benda-benda purbakala yang dulunya sakral di mata masyarakat Jawa kini dimasukkan ke dalam kategori “heritage” dalam kerangka kolonial. Dalam bahasa ilmiah, batu-batu candi kehilangan konteks spiritualnya dan menjadi objek penelitian, bukan subjek penghormatan.
Pemisahan ini memperlihatkan bagaimana kolonialisme bekerja secara halus melalui sistem pengetahuan, merekonstruksi makna demi kepentingan kekuasaan.
Dari Arsip Kolonial ke Warisan Nasional
Laporan tahunan Dinas Arkeologi, bersama tinjauan dua setengah tahunan yang diterbitkan secara rutin, menjadi dokumen penting bagi penelitian arkeologi modern. Di dalamnya tersimpan detail tentang cara pemugaran, kondisi monumen, hingga daftar benda-benda purbakala yang ditemukan di lapangan (Stutterheim, 1935).
Dalam perspektif historiografi, inilah fase awal terbentuknya sistem pelestarian cagar budaya di Indonesia. Banyak kebijakan pasca-kemerdekaan, termasuk pembentukan Dinas Purbakala (kemudian Balai Arkeologi Nasional), merupakan kelanjutan langsung dari model kolonial ini.
Dari sinilah muncul paradoks sejarah: bangsa penjajah yang selama tiga abad menindas ekonomi dan politik pribumi, justru menjadi pihak yang pertama kali membangun sistem pelestarian budaya dan arkeologi di Nusantara.
Namun, pelestarian itu tentu tidak bersifat netral. Upaya tersebut dibangun di atas asumsi bahwa masyarakat pribumi tidak memiliki kemampuan atau kesadaran ilmiah untuk merawat masa lalunya sendiri. Dengan cara itu, kolonialisme tampil sebagai “penyelamat,” padahal sejatinya juga berperan sebagai pencuri makna.
Menimbang Paradoks Penyelamatan Kolonial
Kini, lebih dari satu abad setelah Dinas Arkeologi berdiri, jejak kerjanya masih terasa. Banyak candi yang kita kagumi hari ini—Prambanan, Kalasan, Penataran, Jago, dan Sari—mungkin tidak akan bertahan tanpa upaya dokumentasi serta pemugaran yang dilakukan pada masa kolonial.
Namun di balik keberhasilan itu tersimpan satu pertanyaan mendasar: siapa yang sebenarnya diselamatkan oleh arkeologi kolonial? `
Bagi pemerintah Belanda, kegiatan pemugaran monumen berfungsi untuk menunjukkan bahwa mereka pantas menjadi penguasa di Hindia. Namun bagi masyarakat Jawa, hal itu berarti kehilangan hak untuk menafsirkan dan memahami makna warisan leluhur mereka sendiri.
Arkeologi kolonial tidak sekadar memugar batu, tetapi juga merekonstruksi ingatan, menjadikannya arsip bagi kekuasaan, bukan bagi masyarakat yang mewarisinya (Reid, 1993).
Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa tanpa dasar ilmiah yang dibangun oleh Dinas Arkeologi, perkembangan pelestarian warisan budaya di Indonesia mungkin tidak akan secepat sekarang. Lembaga kolonial tersebut, dengan segala paradoks di dalamnya, justru menjadi jembatan yang menuntun bangsa ini menuju kesadaran nasional tentang pentingnya merawat dan memahami masa lalu.
Referensi:
-
Bernet Kempers, A.J. (1959). Ancient Indonesian Art. Cambridge, MA: Harvard University Press.
-
Coomans, H.F. (2003). Reizen door de Oost: Indische culturen en de verkenning van hun verleden. Leiden: KITLV Press.
-
De Jong, W.J. (1993). Prambanan: Herstel van een heiligdom. Leiden: Rijksmuseum voor Volkenkunde.
-
Fontein, J. (2011). The Sculpture of Indonesia. Washington D.C.: National Gallery of Art.
-
Jordaan, R.E. (1999). The Antiquarian Movement in Colonial Java. Leiden: CNWS Publications.
-
Oudheidkundige Dienst. (1923). Rapporten van de Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indië. Batavia: Landsdrukkerij.
-
Reid, A. (1993). Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680: Vol. 2 Expansion and Crisis. New Haven: Yale University Press.
-
Stutterheim, W.F. (1935). Indian Influences in Old-Balinese Art. London: The India Society.
`