Beranda

Bathoro Katong dan Sejarah Ponorogo

Bathoro Katong dan Sejarah Ponorogo

INDONESIAONLINE –  Bathoro Katong tidak bisa dilepaskan dengan sejarah Ponorogo. Keduanya memiliki kedekatan yang tak terpisahkan.

Bathoro Katong diyakini sebagai bupati pertama Ponorogo. Ia bernama asli Joko Piturut, disebut juga Lembu Kanigoro, putra kelima Raja Majapahit terakhir Prabu Brawijaya V.

Dilansir dari www.jatimtimes.com Lembu Kanigoro adalah adik dari raja pertama Demak Raden Patah. Raden Katong adalah nama pemberian Raden Patah (adiknya) yang sebelumnya beragama Buddha.

Keduanya adalah putra Raja Brawijaya V dari selir putri Campa. Raden Katong yang telah memeluk Islam  tiba di Ponorogo yang saat itu bernama Wengker atas perintah Raden Patah.

Raden Patah memberi tugas Raden Katong untuk membentuk pemerintahan dan menyebarkan Islam di Wengker yang pada waktu itu dikuasai oleh Ki Ageng Kutu.

Ki Ageng Kutu sejatinya adalah kerabat Prabu Brawijaya V yang berkuasa di daerah Wengker. Perintah Raden Patah itu sejatinya dilandasi oleh kekhawatiran akan karier kekuasaan Ki Ageng Kutu.

Ketika Prabu Brawijaya V  menobatkan Raden Patah sebagai pemimpin Kerajaan Demak, Ki Ageng Kutu merasa kecewa karena dia merasa seharusnya dirinyalah yang lebih pantas untuk menyandang jabatan tersebut. Karenanya ketika terjadi peperangan di Majapahit, Ki Ageng Kutu memilih untuk pergi dan pada akhirnya mendirikan padepokan di daerahnya, Wengker.

Dalam misi ini, Raden Katong mengerahkan 140 prajurit yang semuanya muslim dan bisa mengaji Al Quran dan berbagai kitab. Para prajurit itu dipimpin oleh orang kepercayaan Raden Katong yang bernama Ki Ageng Mirah.

Ki Ageng Kutu hijrah ke Wengker dan sukses membangun peradaban serta wilayah kekuasaan baru. Raden  Patah yang pada waktu itu menjadi raja pertama Demak merasa khawatir dengan keberhasilan Ki Ageng Kutu.

Raden Patah merasa keberhasilan pemerintahan Ki Ageng Kutu di Wengker akan jadi ancaman bagi kekuasaan Demak. Ia pun memerintahkan Raden Katong dan pengawalnya membentuk sebuah daerah kekuasaan di daerah Wengker.

Pada masa itu sebelum kedatangan Raden Katong, Ki Ageng Kutu adalah tokoh paling berpengaruh di Ponorogo. Ia mendidik rakyat Wengker dengan ilmu kanuragan, filsafat dan seni. Akibatnya, rakyat Wengker pada waktu itu tidak percaya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak sumber yang menyatakan reog adalah ciptaan dari Ki Ageng Kutu.

Setelah tiba di Wengker, Raden Katong  bersama para prajuritnya mengajarkan agama Islam kepada orang-orang Jawa di daerah setempat yang masih beragama Buddha. Ajaran islam itu diterima baik oleh orang-orang Wengker. Banyak warga setempat yang kemudian memeluk agama Islam.

Ki Ageng Kutu tidak terima dengan kedatangan Raden Katong di Wengker. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pertarungan antara dua tokoh keturunan Majapahit itu.

Memiliki kesaktian yang sebanding, pertarungan berjalan seimbang tanpa pemenang. Ketidaksenangan Ki Ageng Kutu dan para pimpinan desa itu salah satunya karena perbedaan agama. Raden Katong beragama Islam, sedangkan Ki  Ageng Kutu dan pengikutnya beragama Buddha dan Brahma.

Sumber lain dari Babad Negara Patjitan menyatakan, sebenarnya Ki Ageng Kutu tidak mengahalangi Raden Katong menyebarkan Islam di Wengker karena hal itu merupakan perintah Sultan Demak.

Namun lama kelamaan Raden Katong terus melakukan invasi dari utara ke selatan yang mendekati wilayah kekuasaan Ki Ageng Kutu. Raden Katong bahkan ikut menyarankan Ki Ageng Kutu agar memeluk agama Islam. Ki Ageng Kutu menolak saran tersebut karena ia merasa sudah tua dan merasa cocok dengan Agama Buddha.

Perang Islam Vs Buddha

Ketidakcocokan antara dua tokoh itu pada akhirnya memicu perang antara orang Islam dengan penganut Buddha. Raden Katong memutar otak dan terus merancang taktik untuk menaklukkan Ki Ageng Kutu.

Raden Katong menerjunkan Tawangsari menjadi mata-mata. Di sisi lain ia mendekati dan menikahi anak gadis Ki Ageng Kutu yaitu Niken Gandini untuk bisa mengambil pusaka Ki Ageng Kutu.

Ki Ageng Kutu pun berhasil ditaklukkan setelah pusaka yang ia miliki diambil oleh Raden Katong. Ki Ageng Kutu kalah dan menghilang pada Jumat Wage. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu itu disebut Gunung Bacin yang terletak di daerah Kecamatan Bungkal.

Rakyat Wengker sangat marah terhadap Raden Katong. Rakyat Wengker menganggap Raden Katong telah membunuh Ki Ageng Kutu. Untuk meredam amarah rakyat, Raden Katong beralibi jika Ki Ageng Kutu mengalami moksa.

Selain itu Raden Batoro Katong mengaku bahwa dia adalah manusia setengah dewa. Sehingga inilah asal mula dia memiliki ‘bathoro’ di tengah namanya yang melambangkan sifat kedewaannya.

Sumber lain menyebutkan, Bathoro Katong mendirikan Kabupaten Ponorogo pada 11 Agustus 1496 Masehi. Tanggal itu pula yang dijadikan hari ulang tahun Kabupaten Ponorogo hingga saat ini.

Sedangkan nama Ponorogo itu sendiri berdasarkan hasil musyawarah antara Bathoro Katong, Ki Ageng Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada Jumat saat bulan purnama.

Hasil musyawarah itu sebenarnya menetapkan daerah yang sebelumnya bernama Wengker itu dengan nama baru yaitu Pramana Raga. Pramana Raga terdiri dari dua kata yang bermakna Pramana daya kekuatan, rahasia hidup serta Raga yang bermaknakan badan dan jasmani (ar/dnv).

Exit mobile version