Beranda
Uncategorized  

Benang Kusut Iuran PPPK Kemenag Situbondo: Antara Inisiatif Murni dan Dugaan Pungli Terselubung

Benang Kusut Iuran PPPK Kemenag Situbondo: Antara Inisiatif Murni dan Dugaan Pungli Terselubung
Kegiatan pembinaan ASN PPPK Kemenag Situbondo di di lokasi wisata Beach Forest, Kamis (10/7/2025) diwarnai isu pungutan liar (jtn/io)

Sebuah kegiatan pembinaan ASN PPPK Kemenag Situbondo diwarnai isu pungutan liar. Benarkah ini murni inisiatif sukarela atau ada tekanan terselubung karena agenda pembagian SPMT?

INDONESIAONLINE – Sebuah acara yang seharusnya menjadi momentum perayaan dan penguatan kompetensi bagi 177 Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) Situbondo, justru menyisakan sebuah diskursus pelik.

Digelar di lokasi wisata Beach Forest pada Kamis (10/7/2025), kegiatan pembinaan yang bertujuan mulia ini tergores oleh dugaan adanya pungutan liar (pungli), sebuah isu yang sensitif dan menjadi momok dalam birokrasi Indonesia.

Di permukaan, narasi yang dibangun oleh pihak Kemenag dan koordinator acara terdengar logis dan transparan. Kasubag Tata Usaha Kemenag Situbondo, Adi Ariyanto, dengan tegas menyatakan bahwa institusinya tidak mengalokasikan anggaran sepeser pun untuk kegiatan tersebut.

“Kami sudah sampaikan bahwa tidak ada anggaran untuk kegiatan ini. Tapi mereka tetap ingin mengadakan acara, sekalian refreshing. Jadi kami izinkan,” jelas Adi.

Pernyataannya menggarisbawahi bahwa inisiatif sepenuhnya lahir dari rahim para ASN PPPK itu sendiri. Hal ini diperkuat oleh Ribut, yang bertindak sebagai koordinator.

Ia membantah keras tudingan pungli dan memaparkan bahwa iuran yang terkumpul adalah buah dari kesepakatan kolektif. “Murni inisiatif kami sendiri, sudah sejak awal diberitahu bahwa tidak ada anggaran dari kantor. Kami iuran secara sukarela, tidak ada paksaan,” tegas Ribut.

Rinciannya pun dibuka: total iuran Rp 190 ribu per kepala, dengan alokasi Rp 100 ribu untuk sewa tempat dan kebutuhan teknis, serta Rp 90 ribu untuk pembuatan kaos seragam. Sebuah angka yang mungkin terasa wajar untuk sebuah acara kebersamaan. Namun, di sinilah benang kusut itu mulai terurai, memperlihatkan sebuah zona abu-abu yang kompleks.

SPMT Sebagai “Kunci” dan Dilema Peserta

Persoalan utama tidak terletak pada nominal iuran, melainkan pada konteks dan struktur kuasa yang tak terlihat. Salah satu agenda krusial dalam acara tersebut adalah penyerahan Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas (SPMT). Bagi seorang ASN PPPK yang baru diangkat, SPMT bukanlah sekadar selembar kertas. Dokumen ini adalah tiket emas, penanda legal dimulainya masa tugas, dan yang terpenting, dasar untuk pencairan gaji pertama mereka.

Seorang narasumber yang meminta anonimitasnya dijaga, menyuarakan dilema ini. “Ada iuran seratus ribuan per peserta… Kalau tidak ada pembagian SPMT, saya tidak ikut,” ungkapnya.

Pernyataan ini adalah jantung dari persoalan. Ia mengubah status “iuran sukarela” menjadi sesuatu yang terasa semi-wajib. Secara psikologis, sulit bagi seorang pegawai baru untuk menolak berpartisipasi dalam sebuah acara “inisiatif bersama” yang di dalamnya diselipkan agenda sepenting penyerahan SPMT.

Ada kekhawatiran tersirat: akan seperti apa konsekuensinya jika tidak ikut? Apakah penyerahan SPMT-nya akan ditunda? Apakah ia akan dicap sebagai individu yang tidak solid dan tidak kompak di lingkungan kerja yang baru?

Ketiadaan paksaan secara verbal tidak serta-merta menghilangkan adanya tekanan struktural. Inilah yang membedakan antara “sukarela” dalam konteks pertemanan biasa dengan “sukarela” dalam lingkungan kerja yang hierarkis, terlebih di institusi pemerintah.

Analisis Tata Kelola dan Persepsi Publik

Meskipun Kemenag Situbondo dan koordinator bersikukuh bahwa ini murni gerakan dari bawah, praktik semacam ini membuka celah bagi pertanyaan tentang tata kelola (governance). Pernyataan Adi Ariyanto bahwa “tidak ada struktur panitia resmi” dan “hanya ada koordinator dari ASN PPPK” justru bisa menjadi pedang bermata dua.

Di satu sisi, ini menguatkan klaim bahwa Kemenag lepas tangan. Di sisi lain, ini menunjukkan adanya pembiaran terhadap sebuah kegiatan kolektif yang mengatasnamakan institusi tanpa adanya pengawasan dan struktur pertanggungjawaban yang jelas.

Ketika sebuah acara dihadiri dan diisi materinya oleh pejabat Kemenag, menggunakan nomenklatur “Pembinaan ASN PPPK Kemenag Situbondo”, dan membagikan dokumen resmi (SPMT), maka secara de facto acara tersebut lekat dengan citra institusi. Sulit untuk memisahkannya secara tegas sebagai “acara pribadi” para ASN.

Pada akhirnya, isu ini bukan sekadar tentang benar atau salah secara hukum. Mungkin secara teknis tidak ada unsur pungli yang terpenuhi karena tidak ada paksaan eksplisit dari atasan untuk keuntungan pribadi.

Namun, ini adalah tentang etika, persepsi, dan preseden. Praktik pengumpulan dana untuk acara yang terkait dengan tugas kedinasan, sekalipun atas nama “inisiatif”, berisiko tinggi menciptakan budaya iuran yang dapat menjadi normalisasi pungli di masa depan. Ia menodai semangat reformasi birokrasi yang menggaungkan prinsip integritas dan anti-gratifikasi.

Kasus di Situbondo ini menjadi cermin bagi banyak institusi lain. Diperlukan sebuah panduan yang lebih jelas: setiap kegiatan yang membawa nama lembaga dan melibatkan agenda resmi—sekecil apa pun—harus dikelola dengan prinsip transparansi penuh, akuntabilitas yang terstruktur, dan yang terpenting, harus bebas dari segala bentuk iuran yang dapat menimbulkan ambiguitas dan rasa tertekan di kalangan pegawai. Sebab, di antara hitamnya pungli dan putihnya kerelaan murni, terdapat zona abu-abu yang berbahaya (wbs/dnv).

Exit mobile version