INDONESIAONLINE – Perfeksionisme Politik

Perfeksionisme politik adalah teori yang berpusat pada gagasan bahwa negara memiliki peran dalam membantu, mendorong, atau memandu warganya untuk mencapai bentuk kehidupan yang baik atau ideal.

Teori ini berakar dari filsafat moral perfeksionisme, yang berpendapat bahwa kehidupan moral yang baik adalah kehidupan yang memaksimalkan potensi atau kemampuan manusia. Dalam konteks politik, perfeksionisme berarti bahwa negara harus menciptakan kondisi yang memungkinkan warganya untuk berkembang dan mencapai potensi mereka.

Tokoh-tokoh yang mendukung teori perfeksionisme politik antara lain adalah filosof politik liberal kontemporer seperti Joseph Raz dan Thomas Hurka. Mereka berpendapat bahwa negara memiliki peran aktif dalam membantu individu mencapai kehidupan yang baik, baik melalui pendidikan, kebijakan kesehatan, atau regulasi sosial dan ekonomi.

Mereka juga menekankan pentingnya keseimbangan antara intervensi negara dan kebebasan individu, serta pentingnya keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat.

Joseph Raz adalah seorang filsuf hukum dan moral yang lahir di Mandate Palestine pada tahun 1939. Ia dikenal karena kontribusinya dalam filsafat hukum, filsafat moral, dan filsafat politik.

Raz telah mengajar di beberapa universitas terkemuka, termasuk Universitas Oxford dan Universitas Columbia. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah teori tentang otoritas hukum dan moral, yang ia jelaskan dalam bukunya, “The Morality of Freedom“.

Dalam karya ini, Raz berpendapat bahwa otoritas hukum dan moral memiliki peran penting dalam membantu individu mencapai otonomi moral.

Thomas Hurka adalah seorang filsuf Kanada yang lahir pada tahun 1952. Ia adalah Profesor Filsafat dan Chancellor Henry N.R. Jackman di Universitas Toronto.

Hurka dikenal karena karyanya dalam etika normatif dan filsafat politik, khususnya teori tentang nilai dan kebaikan. Dalam bukunya, “Perfectionism“, Hurka berpendapat bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang memaksimalkan potensi atau kemampuan manusia, sebuah pandangan yang dikenal sebagai perfeksionisme. Hurka juga telah menulis secara luas tentang isu-isu etika dalam politik dan perang.

Baca Juga  RKUHP untuk Kepentingan Bangsa atau Oligarki Penguasa

Harapan dan Kontroversi

Perfeksionisme politik, sebuah konsep yang mengedepankan keinginan untuk mencapai keadaan ideal dalam sistem politik, telah menjadi topik hangat dalam konteks Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Indonesia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan niatnya untuk ikut campur atau “cawe-cawe” dalam pemilu tersebut, bukan untuk kepentingan politik praktis, tetapi untuk memastikan pemilu berjalan demokratis. Namun, pernyataan ini telah menimbulkan berbagai tanggapan, baik pro maupun kontra.

Tokoh-tokoh seperti Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla, dan bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan, mendukung Jokowi. Mereka berharap bahwa intervensi Jokowi akan memastikan pemilu berjalan dengan jujur dan adil. Mereka percaya bahwa Jokowi dan pihak lainnya memahami batasan-batasan dalam mengintervensi pelaksanaan Pemilu 2024 agar demokrasi tetap berjalan dengan baik.

Namun, ada juga pihak yang meragukan niat baik Jokowi. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, berpendapat bahwa pernyataan Jokowi dan gelagatnya selama ini menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan Jokowi bukan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Menurutnya, Jokowi telah melakukan kolusi dan menjadi presiden partisan. Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, juga mengingatkan agar pernyataan Jokowi tersebut jangan sampai menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan politik pribadi.

Perfeksionisme politik dalam konteks ini menjadi sebuah dilema. Di satu sisi, intervensi dari presiden dapat memastikan pemilu berjalan dengan jujur dan adil, sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Di sisi lain, intervensi tersebut dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik pribadi dan kelompok tertentu, yang justru merusak demokrasi.

Dalam konteks ini, perfeksionisme politik harus diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas. Setiap tindakan yang diambil oleh pemimpin politik harus dapat dipertanggungjawabkan dan diawasi oleh publik. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa perfeksionisme politik tidak menjadi alat untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi benar-benar untuk mencapai sistem politik yang ideal dan demokratis.

Baca Juga  Opini: Gus Dur yang Saya Ketahui

Perfeksionisme politik juga harus mempertimbangkan kontinuitas kebijakan. Jokowi menekankan bahwa Indonesia hanya diberi kesempatan satu kali untuk menjadi negara maju, yakni dalam kurun waktu 13 tahun ke depan, dan hal itu sangat ditentukan oleh kepemimpinan nasional ke depan. Jusuf Kalla menambahkan bahwa pemimpin Indonesia ke depan harus melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis yang sudah dikerjakan pemerintahan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perfeksionisme politik juga harus mempertimbangkan kontinuitas dan konsistensi kebijakan.

Namun, kontinuitas kebijakan tidak berarti stagnasi. Setiap pemimpin memiliki cara dan metode yang berbeda dalam mencapai tujuan yang sama. Oleh karena itu, perfeksionisme politik juga harus mempertimbangkan inovasi dan kreativitas dalam pembuatan kebijakan. Seperti yang dikatakan oleh Kalla, “Pembangunan jalan tetap, pembangunan pemerintah yang baik tetap, industri harus berjalan, itu semua jalan, cuma caranya tentu berbeda-beda masing-masing pemimpin.”

Perfeksionisme politik juga harus mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan. Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, mengungkapkan kekhawatiran banyak pihak tentang potensi penjegalan pada figur capres atau calon wakil presiden (cawapres) tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa perfeksionisme politik juga harus memastikan bahwa semua pihak memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi dalam proses politik.

Tantangan terbesar dalam mewujudkan perfeksionisme politik adalah bagaimana memastikan bahwa intervensi politik tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Seperti yang dikatakan oleh Dedi Kurnia Syah, “‘Cawe-cawe’ Jokowi hanya untuk kepentingannya pribadi, keluarga, atau kelompok politiknya, imbasnya cukup berbahaya, mulai dari potensi rusaknya tata kelola pemerintahan hingga menjadikan negara ini seolah milik personal.”

Kesimpulan

Perfeksionisme politik harus diimbangi dengan pengawasan publik yang kuat dan sistem hukum yang adil dan transparan. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa perfeksionisme politik benar-benar mewujudkan sistem politik yang ideal dan demokratis, bukan hanya menjadi alat untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Syahiduz Zaman, Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, pemerhati perpolitikan dan sosial kemasyarakatan