Beranda

Dongkrek, Ritual Usir Pagebluk Madiun Siap Guncang Kembul Topeng Malang

Dongkrek, Ritual Usir Pagebluk Madiun Siap Guncang Kembul Topeng Malang
Topeng Dongkrek asal Madiun siap menjadi primadona di festival Kembul Topeng #3 Malang 2025 yang digelar pada 26–31 Agustus 2025 mendatang (jtn/io)

Ritual tolak bala Topeng Dongkrek asal Madiun siap menjadi primadona di festival Kembul Topeng #3 Malang 2025. Simak sejarah magis, filosofi, dan perayaan bertemunya tradisi Nusantara di panggung modern.

INDONESIAONLINE – Suara kendang yang menggema berat (“dung”) beradu dengan hentakan keprak kayu yang tajam (“krek”). Sebuah energi purba terasa bangkit, membawa penonton kembali ke abad ke-19 saat Caruban, Madiun, dilanda wabah mematikan.

Inilah Topeng Dongkrek, kesenian sakral yang lahir sebagai ritual tolak bala, kini bersiap menjadi primadona dalam festival topeng terbesar di Malang, Kembul Topeng #3, pada 26–31 Agustus 2025 mendatang.

Dihelat di Padepokan Seni Mangun Dharmo, Tumpang, sebuah pusat kebudayaan yang dihormati di Jawa Timur, Kembul Topeng #3 bukan sekadar panggung pertunjukan. Mengusung tema filosofis “Dulu, Kini, Nanti”, festival ini menjadi titik temu krusial bagi para maestro, seniman, dan komunitas topeng dari seluruh Nusantara. Ini adalah sebuah ziarah budaya, tempat tradisi ratusan tahun berdialog dengan semangat zaman.

Kehadiran Topeng Dongkrek dari Sanggar Condro Budoyo, Madiun, menjadi penanda penting dalam perhelatan kali ini. Kesenian ini memiliki akar sejarah yang kuat dan relevan. Menurut catatan sejarah dan tradisi lisan, Dongkrek diciptakan oleh Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro, Demang Caruban saat itu, sebagai respons terhadap pagebluk (wabah penyakit) yang merenggut banyak nyawa.

“Dongkrek bukan sekadar tarian atau hiburan. Ia adalah doa yang bergerak, manifestasi pertarungan abadi antara kebaikan melawan keburukan. Setiap gerak dan bunyinya mengandung filosofi kesabaran, ketenangan, dan kerja keras,” ungkap Andri, pimpinan Sanggar Condro Budoyo, yang akan memboyong pasukannya ke Malang.

Dari Ritual Sakral Menjadi Tuntunan Zaman

Daya magis Dongkrek terpancar dari karakter-karakter topengnya yang ikonik. Pertunjukan dibuka dengan kemunculan Buto (Raksasa) yang melambangkan angkara murka dan sumber penyakit. Suasana menjadi mencekam saat mereka mengganggu ketentraman seorang Putri, simbol dari masyarakat yang terkena musibah.

Puncak pertunjukan adalah kemunculan tokoh protagonis, Panji dan para ksatria, yang dengan gagah berani melawan para Buto hingga terusir. Pertarungan ini bukan sekadar adegan laga, melainkan representasi upaya manusia mengusir energi negatif dari dalam diri dan lingkungan.

Musik pengiringnya yang ritmis dan menghentak membuat pertunjukan ini terasa sakral, namun sering kali diselingi humor segar yang membuatnya dekat dengan rakyat.

Winarto Ekram, penggagas Kembul Topeng, melihat kehadiran Dongkrek sebagai cerminan semangat festival. “Topeng itu bukan sekadar tontonan, tapi tuntunan. Dongkrek adalah bukti bagaimana seni bisa menjadi respons spiritual dan sosial terhadap krisis,” jelasnya.

“Lewat Kembul Topeng, kami merayakan napas tradisi agar tetap hidup di tengah modernitas. Dongkrek dari Madiun akan bertemu dengan topeng-topeng dari Cirebon, Kalimantan, hingga Bali, menciptakan dialog lintas budaya yang kaya,” tambah Winarto.

Lebih dari Sekadar Panggung

Menurut data dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Indonesia memiliki lebih dari 70 jenis topeng tradisional yang tercatat, masing-masing dengan fungsi dan filosofinya sendiri. Kembul Topeng #3 berupaya menjadi katalog hidup dari kekayaan tersebut.

Selain pertunjukan utama, festival ini akan diisi dengan rangkaian acara yang memperkuat ekosistem seni tradisi. Diantaranya, Pameran Topeng Nusantara yang menampilkan koleksi topeng dari berbagai daerah dengan nilai sejarah tinggi. ada juga Workshop & Sarasehan Budaya sebagai ruang bagi generasi muda untuk belajar langsung dari para empu dan akademisi membahas masa depan seni topeng. Serta Lomba Kreativitas Anak dengan tujuan menanamkan kecintaan pada budaya topeng sejak dini.

Puluhan komunitas seni, sanggar, dan perwakilan dari berbagai kampus seni seperti Institut Seni Indonesia (ISI) dipastikan akan berpartisipasi. Kolaborasi ini menjadikan Kembul Topeng #3 sebagai laboratorium budaya, tempat tradisi tidak hanya dilestarikan, tetapi juga direvitalisasi untuk menjawab tantangan “Kini” dan menyongsong “Nanti” (rw/dnv).

Exit mobile version