Kesenian Sanduk Kota Batu akhirnya resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Kebudayaan RI.
INDONESIAONLINE – Menjelang ulang tahun ke-24 sebagai daerah otonom pada 17 Oktober 2025, Kota Batu menerima kado istimewa yang akan dikenang sepanjang masa. Kesenian Tradisional Sanduk, setelah penantian tujuh tahun dan perjuangan gigih, resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Pengakuan ini bukan sekadar formalitas, melainkan validasi atas identitas budaya yang telah berakar kuat di Bumi Arema.
Siti Maryam, Bendahara Sanduk Kota Batu, tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. “Penantian panjang selama hampir tujuh tahun akhirnya membuahkan hasil,” ungkapnya.
Selama ini, upaya pengajuan WBTB ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur kerap menemui jalan buntu. “Seperti halnya kesenian Bantengan dan Jaran Kepang yang sudah lebih dulu meraih WBTB, akhirnya kesenian Sanduk mendapat pengakuan dari negara,” tambahnya, merujuk pada dua kesenian lain yang juga telah diakui secara nasional.
Penetapan Sanduk sebagai WBTB menambah daftar panjang warisan budaya Indonesia yang diakui pemerintah. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga tahun 2023, Indonesia telah menetapkan lebih dari 2.000 warisan budaya tak benda, menunjukkan kekayaan dan keberagaman budaya Nusantara yang tak ternilai. Kesenian Sanduk kini sejajar dengan kekayaan budaya lain yang dilindungi dan wajib dilestarikan.
Perjuangan Gigih dan Komunitas yang Membara
Kesenian Sanduk memiliki komunitas yang solid dan terus berkembang pesat di Kota Batu. Keberhasilan ini tidak lepas dari kegigihan Ketua Sanduk Kota Batu, Katarina Dian, yang bersama Dinas Pariwisata Kota Batu, membentuk Tim Perumusan Sanduk.
Tim ini bekerja keras memastikan seluruh persyaratan administrasi, sejarah, dan dokumentasi terpenuhi. “Semua ini karena kesenian Sanduk mampu menjadi penanda identitas dan keberlanjutan budaya yang diwariskan lintas generasi,” tegas Maryam.
Yang menarik, kesenian Sanduk kini tidak lagi didominasi oleh sesepuh. Maryam menyebut, generasi muda mulai aktif menjadi bagian dari pelestarian ini. Saat ini, terdapat 62 grup Sanduk yang tersebar di tiga kecamatan di Kota Batu.
Dengan rata-rata 30 hingga 50 anggota aktif per grup, total anggota aktif Sanduk diperkirakan mencapai lebih dari 1.800 orang. Angka ini mencerminkan tingginya minat masyarakat dalam melestarikan seni tradisional, sekaligus menjadi bukti nyata regenerasi pelaku seni.
Mengungkap Jejak Sejarah Sanduk
Agus Mardianto, anggota Tim Perumusan Sanduk, menceritakan bahwa perjalanan menuju pengakuan WBTB bukanlah hal mudah. Tim harus melengkapi berbagai persyaratan krusial, mulai dari sejarah detail Sanduk, foto dan video dokumentasi pertunjukan, jejak para maestro terdahulu, gerak dasar, musik pengiring, hingga detail kostum.
“Beruntung almarhum Ki Iswandi, pemilik Padepokan Gunung Ukir, memiliki banyak dokumen tentang Sanduk sejak tahun 1990-an hingga 2000-an,” jelas Agus.
Arsip dan cerita berharga dari para penerus maestro Sanduk menjadi kunci utama dalam memenuhi seluruh persyaratan. Hal ini menggarisbawahi pentingnya dokumentasi dan transmisi pengetahuan dari generasi ke generasi untuk kelestarian sebuah warisan budaya.
Agus menambahkan, kesenian Sanduk telah ada jauh sebelum Kota Batu berdiri sebagai daerah otonom. Ia tumbuh dan berkembang di perkampungan, tepatnya di Lor Brantas, Dusun Kungkuk, Desa Punten, Kecamatan Bumiaji.
Sanduk kerap tampil dalam berbagai kegiatan komunal seperti bersih desa dan sedekah bumi, menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual adat masyarakat setempat. Tradisi serupa di berbagai daerah di Indonesia, seperti yang dicatat dalam Jurnal Etnografi Indonesia, seringkali berperan sebagai perekat sosial dan ekspresi syukur masyarakat pedesaan.
Dengan ditetapkannya kesenian Sanduk sebagai Warisan Budaya Tak Benda, harapan besar kini tersemat di benak para pelaku seni dan masyarakat Kota Batu. Mereka berharap tradisi ini tidak hanya semakin dikenal luas, tetapi juga menjadi pilar penting yang memperkuat identitas budaya dan semangat kebersamaan masyarakat Kota Batu untuk masa-masa mendatang. Ini adalah perayaan atas ketahanan budaya yang mampu bertahan dan beradaptasi di tengah arus modernisasi (pl/dnv).