INDONESIAONLINE – Sebuah paradoks modern tengah tersaji di Kediri. Bandara Internasional Dhoho, proyek mercusuar yang digadang-gadang menjadi gerbang ekonomi baru di selatan Jawa Timur (Jatim), kini berdiri megah namun sunyi. Landasan pacunya senyap dari deru mesin pesawat komersial, sebuah ironi yang mengundang sorotan tajam dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Timur.
Di tengah kekosongan jadwal penerbangan ini, suara kritis datang dari Anggota Komisi D DPRD Jatim, Agus Black Hoe Budianto. Menurutnya, kesunyian Bandara Dhoho bukanlah sekadar masalah maskapai, melainkan cerminan dari akar persoalan yang lebih dalam: infrastruktur pendukung yang ‘gagap’ dan strategi pengembangan kawasan yang belum menyatu.
“Ini bukan hanya soal bandara. Ini soal ekosistem yang belum siap,” tegas Agus, Selasa (25/6/2024).
“Realitas di lapangan menunjukkan berbagai elemen pendukung belum benar-benar maksimal,” lanjutnya.
Aksesibilitas: Urat Nadi yang Belum Tersambung
Simpul masalah pertama yang diurai politisi PDI Perjuangan ini adalah aksesibilitas. Bandara Dhoho, meski megah, terasa terisolasi. Jalan tol krusial yang seharusnya menjadi urat nadi penghubung, seperti ruas Nganjuk-Tulungagung, masih jauh dari kata tuntas.
Akibatnya, calon penumpang dihadapkan pada pilihan sulit: menempuh perjalanan darat yang belum representatif dari segi waktu dan kenyamanan.
“Kurangnya akses ke bandara ini membuat masyarakat berpikir dua kali. Ini bukan pilihan utama mereka untuk mobilitas udara karena perjalanannya sendiri sudah menjadi sebuah tantangan,” ungkap Agus.
Mimpi menjadikan Dhoho sebagai hub baru terancam kandas jika untuk mencapainya saja sudah menjadi sebuah kendala besar.
Magnet Wisata: Mesin Penggerak yang Belum Menyala
Persoalan kedua, dan tak kalah krusial, adalah lemahnya daya tarik di kawasan penyangga. Sebuah bandara hidup dari pergerakan manusia, dan pergerakan itu dipicu oleh tujuan—salah satunya pariwisata.
Agus menyoroti minimnya destinasi wisata unggulan dan agenda ekonomi kreatif yang mampu menjadi magnet kuat bagi pelancong domestik maupun internasional.
“Bandara butuh alasan untuk didatangi. Saat ini, minimnya tempat wisata menjadi faktor kenapa Dhoho belum bisa menarik banyak penumpang,” urainya.
Tanpa “mesin penggerak” berupa pariwisata yang hidup dan promosi yang gencar, bandara berisiko menjadi monumen megah yang tidak produktif. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pun hanya akan menjadi angan-angan.
Melihat kebuntuan ini, Agus mendorong sebuah langkah strategis yang mendesak: para kepala daerah di kawasan penyangga Bandara Dhoho harus segera “duduk bersama”. Kabupaten dan kota di sekitar Kediri Raya tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri atau sekadar mengandalkan keberadaan fisik bandara.
“Langkah pemerintah kabupaten/kota harus duduk bersama, merumuskan strategi untuk memaksimalkan potensi daerah sebagai daya tarik utama,” tandasnya.
Sinergi ini harus melahirkan peta jalan yang konkret, mulai dari percepatan infrastruktur konektivitas, pengembangan destinasi wisata baru secara terpadu, hingga promosi bersama yang masif. Tanpa kolaborasi solid, Bandara Dhoho terancam hanya akan menjadi saksi bisu dari sebuah potensi besar yang gagal dimaksimalkan. Nasibnya kini berada di tangan para pemimpin daerah untuk mengubah ironi menjadi sebuah peluang emas (mca/dnv).