Beranda

Kaesang Pimpin PSI, Jokowi: Terlalu Kecil Kalau Target 2029 hanya Senayan

Kaesang Pimpin PSI, Jokowi: Terlalu Kecil Kalau Target 2029 hanya Senayan
Logo baru PSI dan Jokowi (thread)

Kaesang Pangarep resmi memimpin PSI, membawa beban kegagalan Pemilu 2024 dan cetak biru ambisius dari Presiden Jokowi.

INDONESIAONLINE – Di sebuah panggung politik yang penuh ironi, Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), memulai kepemimpinannya di Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan sebuah permintaan maaf. Terpilih secara aklamasi—bukan melalui e-voting fiktif—pada September 2023, ia mewarisi sebuah partai yang terluka, gagal menembus ambang batas parlemen 4% pada Pemilu 2024.

“Izinkan saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh anggota kader PSI, karena saya gagal membawa partai ini masuk ke Senayan,” ujar Kaesang dalam pidato yang menandai konsolidasi partai di Surakarta, sebuah pengakuan pahit yang justru menjadi titik tolak sebuah misi balas dendam politik yang didesain langsung oleh ayahnya.

Kegagalan itu kini menjadi bahan bakar. Dengan cakrawala Pemilu 2029 yang masih panjang, Kaesang tidak lagi bersembunyi di balik alasan “waktu kampanye yang sempit”. Ia kini memegang kendali penuh, dengan sebuah target yang bukan lagi sekadar harapan, melainkan sebuah perintah.

Gajah Kecil, Mimpi Raksasa, dan Perintah Sang Ayah

PSI versi Kaesang telah bertransformasi. Logo mawar yang romantis digantikan oleh gajah, simbol kekuatan dan memori. “Mungkin orang menganggap kita masih gajah yang kecil. Tapi gajah yang kecil itu tetap besar. Lihat nanti 2029, kita akan menjadi partai yang besar,” proklamasi Kaesang, mencoba menanamkan optimisme baru.

Namun, aura optimisme terbesar tidak datang darinya, melainkan dari Presiden Jokowi sendiri. Dalam kongres yang sama, Jokowi tidak lagi bermain dengan gestur halus. Ia memberikan titah yang lugas dan tak terbantahkan.

“Saya yakin kalau targetnya masuk ke Senayan tahun 2029, itu jangan dijadikan target karena memang itu harus. Terlalu kecil kalau target kita hanya masuk Senayan,” tegas Jokowi, yang disambut gemuruh tepuk tangan kader.

Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi politik. Ini adalah deklarasi keterlibatan penuh seorang presiden—dan mantan presiden di masa depan—untuk membesarkan partai yang kini dipimpin putranya. Data menunjukkan, PSI memang membutuhkan intervensi radikal.

Pada Pemilu 2024, berdasarkan rekapitulasi akhir KPU, PSI hanya mampu meraup 4.260.169 suara sah nasional atau setara 2,81%. Angka ini, meski meningkat dari pemilu sebelumnya, adalah bukti nyata bahwa “Jokowi Effect” dan popularitas Kaesang belum cukup untuk menyeberangkan mereka ke Senayan.

Cetak Biru Jokowi: Strukturisasi Hingga ke Desa

Jokowi tidak hanya memberi mimpi, ia memberikan cetak biru. Sadar bahwa mesin partai adalah kunci, ia memerintahkan sebuah tugas raksasa: penataan struktur partai hingga ke tingkat desa harus rampung paling lambat pada akhir 2027.

“Oleh sebab itu, saya titip agar kita bekerja keras bersama-sama agar struktur partai di seluruh wilayah segera bisa diselesaikan. Itu akan menjadi mesin kita di 2029,” perintahnya.

Ini adalah strategi klasik yang digunakan partai-partai besar seperti PDI Perjuangan dan Golkar: mengakar di basis massa. Jokowi, dengan pengalaman dua kali memenangkan pilpres, tahu persis bahwa popularitas di media sosial dan gimik politik tidak akan berarti tanpa infrastruktur darat yang solid.

Ia juga berpesan agar kader lebih sering “turun ke lapangan”, sebuah mantra yang menjadi ciri khas politiknya.

Di tengah semua strategi dan komando ini, Jokowi melontarkan sebuah klaim yang menarik sekaligus kontradiktif. Ia menegaskan bahwa PSI bukanlah partai milik keluarganya.

“PSI ini ‘Partai Super Tbk’. Sahamnya dimiliki oleh seluruh kader. Tidak ada kepemilikan elite, tidak ada kepemilikan keluarga,” tegasnya.

Narasi “Partai Terbuka (Tbk)” ini adalah upaya untuk meredam kritik tajam mengenai politik dinasti yang semakin kental melekat pada keluarganya, terutama setelah putranya yang lain, Gibran Rakabuming Raka, menjadi Wakil Presiden.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebuah paradoks. Partai yang diklaim “terbuka” ini kini memiliki ketua umum seorang putra presiden, mendapat restu dan komando langsung dari sang ayah, dan kemungkinan besar akan menjadi kendaraan politik utama bagi keluarga Jokowi pasca-2024. Klaim kepemilikan publik terasa kontras dengan cetak biru yang sangat terpusat dan dikendalikan dari lingkar istana.

Kini, PSI berada di persimpangan paling menentukan. Mereka memiliki sumber daya, figur, dan yang terpenting, sebuah peta jalan yang jelas dari arsitek politik paling sukses di Indonesia dekade ini. Pertanyaannya bukan lagi apakah PSI akan bekerja keras, tetapi mampukah misi balas dendam politik ini mengubah citra partai dari sekadar “partai keluarga” menjadi kekuatan politik sejati yang diperhitungkan di Senayan pada 2029. Waktu akan menjawab apakah gajah kecil ini akan tumbuh menjadi raksasa, atau selamanya berada di bawah bayang-bayang sang pawang.

Exit mobile version