UIN Maliki Malang menyoroti urgensi skrining dini hambatan komunikasi pada mahasiswa untuk menciptakan kampus inklusif. Pelajari bagaimana identifikasi awal dan dukungan kelembagaan dapat mencegah kegagalan studi dan mengoptimalkan potensi mahasiswa.
INDONESIAONLINE – Di balik gemerlap aktivitas akademik, tak semua mahasiswa berlayar mulus dalam interaksi sosial. Fenomena mahasiswa dengan hambatan komunikasi yang belum terdeteksi menjadi sorotan utama dalam Seminar dan Konferensi Nasional Ulama Perempuan Indonesia di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang baru-baru ini. Prof. Dr. Rohmani Nur Indah, M.Pd., dosen Psikolinguistik Fakultas Humaniora UIN Malang menggarisbawahi urgensi skrining dini sebagai kunci menciptakan lingkungan kampus yang truly inklusif.
Prof. Rohmani mengungkapkan adanya kesenjangan signifikan dalam sistem penerimaan mahasiswa. “Tidak ada pemeriksaan khusus bagi calon mahasiswa dengan hambatan komunikasi,” jelasnya.
Akibatnya, kondisi ini baru teridentifikasi setelah perkuliahan berjalan, kerap memicu kesalahpahaman. Mahasiswa yang sejatinya mengalami kesulitan dalam berbahasa atau memahami konteks sosial seringkali dinilai negatif, dianggap tidak sopan atau kurang menghargai dosen, padahal masalahnya lebih dalam.
Skrining Dini: Lebih dari Sekadar Formalitas
Gangguan komunikasi, terutama pada aspek pragmatik—yakni penggunaan bahasa dalam konteks sosial—seringkali membuat mahasiswa dicap “berbeda” dan rentan distigmatisasi. “Mahasiswa dengan gangguan pragmatik sering dinilai negatif hanya karena gaya komunikasinya berbeda,” tegas Prof. Rohmani.
Padahal, skrining dini bukan hanya prosedur administratif, melainkan manifestasi kepedulian institusi terhadap keberagaman neurokognitif mahasiswa.
Menurut data dari National Center for Education Statistics (NCES) Amerika Serikat, sekitar 19% mahasiswa memiliki disabilitas, dan di antaranya termasuk disabilitas komunikasi yang seringkali tidak terlihat secara kasat mata. Identifikasi awal memungkinkan universitas menyusun pendekatan pembelajaran yang personalisasi dan dukungan psikopedagogik yang sesuai.
“Jika orang tua terbuka dan kampus tahu sejak awal, mahasiswa bisa mendapat pendampingan yang memadai. Ini akan mencegah kegagalan studi di tengah jalan,” imbuhnya.
Empati Dosen vs. Kebijakan Kelembagaan
Riset internal Prof. Rohmani di UIN Maliki Malang menunjukkan kabar baik: sebagian besar dosen memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap mahasiswa dengan hambatan komunikasi. Hasil uji kognitif dan persepsi menempatkan mereka dalam kategori optimal.
“Banyak dosen menganggap pengalaman mengajar mahasiswa penyandang Asperger syndrome atau gangguan pragmatik sebagai kesempatan untuk belajar dan berinovasi dalam mengajar,” ujarnya optimis.
Hal ini sejalan dengan tren global di mana edukator semakin didorong untuk mengadopsi pedagogi diferensiasi.
Namun, empati personal saja tidaklah cukup. Para dosen menekankan bahwa dukungan kelembagaan yang kuat sangat krusial. Dalam refleksi pembelajaran mereka, kebutuhan akan kebijakan universitas untuk memperkuat sistem pendidikan inklusif menjadi prioritas. Pelatihan pedagogik yang terstruktur, penyediaan sarana adaptif, dan mekanisme skrining yang komprehensif dianggap sebagai langkah tak terelakkan.
“Pendidikan inklusif harus berangkat dari pemahaman bahwa setiap mahasiswa punya cara berbeda untuk tumbuh,” tutup Prof. Rohmani.
Ia meyakini UIN Maliki Malang memiliki potensi besar untuk menjadi kampus perintis yang tidak hanya membuka pintu bagi semua kalangan, tetapi juga memastikan setiap individu di dalamnya memiliki ruang optimal untuk berkembang. Inisiatif ini menandai langkah maju menuju ekosistem pendidikan tinggi yang lebih humanis dan adaptif di Indonesia (as/dnv).
