Selami kisah Kanjeng Ratu Mas Blitar, permaisuri Pakubuwana I yang merancang masa depan empat dinasti Jawa (Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, Pakualaman). Temukan bagaimana ia menenun spiritualitas Islam-Jawa dan strategi politik, bahkan menjadi ibu dari Pangeran Arya Blitar, sang raja pemberontak anti-VOC. Sebuah narasi tentang kekuasaan perempuan yang terpinggirkan namun fundamental.
INDONESIAONLINE – Dalam lembaran sejarah panjang kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa, narasi heroik seringkali didominasi oleh para raja dan panglima perang. Namun, di balik takhta yang gemilang dan medan laga yang bergemuruh, terdapat suara-suara perempuan yang, meski kerap terpinggirkan dari sorotan utama, memegang peran sentral dalam membentuk arah kekuasaan dan spiritualitas istana.
Salah satu mutiara yang luput dari ingatan kolektif adalah Kanjeng Ratu Mas Blitar, permaisuri Susuhunan Pakubuwana I. Ia bukan sekadar penghuni harem istana, melainkan arsitek genealogi empat dinasti besar Jawa—Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman—yang kiprahnya patut diukir dengan tinta emas.
Dengan pemahaman mendalam atas spiritualitas Islam-Jawa dan kecakapan politik tingkat tinggi, Ratu Mas Blitar meletakkan fondasi generasi penerus kerajaan yang kelak mengguncang struktur kekuasaan Mataram dari dalam, serta menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi kolonial.
Lebih dari itu, ia adalah ibu dari Pangeran Arya Blitar, tokoh kunci dalam Perang Suksesi Jawa Kedua, yang berani memproklamasikan diri sebagai Raja Mataram Kartasekar—sebuah kerajaan tandingan bagi Kartasura yang dikendalikan VOC. Kisahnya adalah potret keberanian, kecerdasan, dan pengaruh yang melampaui batas zamannya.
Asal-Usul dan Jejaring Genealogi: Merajut Warisan Leluhur
Garis keturunan Ratu Mas Blitar bukanlah sembarangan. Ia adalah jalinan trah agung yang berawal dari Sultan Trenggana, raja ketiga Kesultanan Demak, yang mempersunting Ratu Pembayun, putri Sunan Kalijaga dari permaisuri Siti Zaenab (putri Syekh Siti Jenar).
Dari pasangan legendaris ini, lahir dua jalur trah utama yang kelak menentukan nasib Jawa: jalur Ratu Mas Cempaka (permaisuri Sultan Hadiwijaya dari Pajang) dan jalur Pangeran Timoer (Bupati pertama Kadipaten Madiun).
Melalui Ratu Mas Cempaka dan putranya, Pangeran Benowo, garis ini berlanjut hingga kepada Dyah Ayu Banowati, yang bergelar Ratu Mas Hadi, permaisuri Panembahan Hanyakrawati, sekaligus ibu dari Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa Mataram terbesar.
Sementara itu, dari Pangeran Timoer dan Ratu Timur (adik Arya Penangsang), lahirlah Ratu Ayu Ratna Jamila (Retno Dumilah) yang dinikahi Panembahan Senapati, pendiri Mataram Islam. Dari pernikahan ini lahir Kanjeng Pangeran Adipati Juminah (Panembahan Juminah), Bupati Madiun (1601–1613).
Panembahan Juminah, yang juga paman Sultan Agung, kemudian menikahi Ratu Mas Hadi, ibu Sultan Agung. Dari pernikahan ini lahirlah Pangeran Adipati Balitar II, Bupati Madiun (1645–1677) [1].
Garis keturunan ini berlanjut melalui Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel III (Bupati Madiun, 1677–1703), yang menurunkan Pangeran Arya Balitar IV (Bupati Madiun, 1704–1709). Dari garis inilah lahir Gusti Kanjeng Ratu Poeger, yang kemudian bergelar Kanjeng Ratu Mas Blitar, permaisuri Susuhunan Pakubuwana I.
Sebagai permaisuri utama Kraton Kartasura, Ratu Mas Blitar melahirkan tiga putra: Gusti Raden Mas Suryaputra (kelak Sunan Amangkurat IV), Gusti Raden Mas Sasangka (Pangeran Adipati Purbaya), dan Gusti Raden Mas Sudomo (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Blitar).
Dari Amangkurat IV, lahirlah generasi penerus yang memperluas percabangan kekuasaan Mataram: Pangeran Mangkunagara Kartasura, Pangeran Prabasuyasa (Susuhunan Pakubuwana II), serta Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sultan Hamengkubuwana I dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta pada 1755 [2].
Sementara itu, dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Blitar lahirlah Raden Ayu Wulan, yang dinikahkan dengan Pangeran Arya Mangkunagara (putra Amangkurat IV). Dari pernikahan ini lahirlah Raden Mas Said, tokoh sentral Perang Jawa dan pendiri Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I pada 1757 [3].
Dengan demikian, Ratu Mas Blitar berdiri sebagai figur sentral dalam jaringan kekuasaan Jawa abad ke-18. Ia bukan hanya permaisuri, melainkan juga ibu dan nenek dari para penguasa yang menentukan arah sejarah Tanah Jawa selama hampir dua abad berikutnya. Ia adalah perwujudan dari keberlanjutan kekuasaan, spiritualitas, dan legitimasi politik yang menyatu dalam satu sosok aristokrat perempuan.
Peran Strategis di Keraton Kartasura: Mistik dan Politik dalam Karya Sastra
Pernikahannya dengan Pakubuwana I membawa Ratu Mas Blitar ke pusat kekuasaan Kerajaan Mataram di Kartasura. Ia bukan hanya mendampingi raja secara seremonial, tetapi juga secara substansial ikut menentukan arah kebijakan spiritual dan budaya istana.
Dalam tradisi Islam-Jawa, permaisuri bukanlah figur pasif. Ia dapat menjadi pusat kekuatan magis-politik (kasekten) yang menopang legitimasi raja.
Antara tahun 1729 hingga wafatnya pada 1732, Ratu Mas Blitar menunjukkan peran kultural dan spiritualnya melalui commissioning tiga karya besar yang sarat dengan simbolisme religius: Carita Sultan Iskandar, Carita Nabi Yusuf, dan Kitab Usulbiyah [4].
Tiga naskah ini bukan sekadar sastra keraton, tetapi manifestasi dari ideologi kekuasaan yang menggabungkan Islam, tasawuf, dan kebatinan Jawa.
Carita Sultan Iskandar adalah narasi alegoris tentang raja ideal dalam tradisi Islam, menjadikan Alexander Agung (Dhul Qarnayn) sebagai model pemimpin paripurna. Buku ini bukan semata untuk nostalgia dinasti, tetapi sebagai kerangka magis-ideologis guna membentuk karakter kepemimpinan cucunya, Pakubuwana II, yang saat itu masih muda dan lemah secara politik.
Carita Nabi Yusuf menawarkan teladan kesalehan dan keindahan dalam narasi Islam-Jawa, sekaligus menjadi pernyataan teologis bahwa keindahan fisik dan spiritual dapat menjadi dasar kekuasaan yang sah. Melalui karya ini, Ratu Mas Blitar menunjukkan bahwa keluhuran akhlak adalah basis kesaktian sejati.
Yang paling luar biasa adalah Kitab Usulbiyah, teks mistik yang mendudukkan dirinya sebagai hamba pilihan Allah dan penerima syafaat Nabi. Dalam teks ini dikatakan, siapa pun yang memiliki naskah tersebut akan dilindungi 7.700 malaikat, kebal terhadap sihir, bahkan kebal senjata di medan perang.
Naskah ini menjadikan dirinya sebagai pusat kasekten dan simbol keabsahan spiritual dalam konflik politik yang makin menguat antara faksi keraton dan elit lokal.
Tak hanya tiga naskah utama itu, Ratu Mas Blitar juga menjadi inisiator Suluk Garwa Kancana, sebuah suluk yang mengawinkan tradisi kerajaan militer Jawa dengan jalan spiritual sufi. Di dalamnya terdapat perumpamaan pancaindra sebagai pejabat kerajaan yang harus ditundukkan sang Raja demi mencapai makrifat.
Teks ini mencerminkan ajaran jihad akbar dalam tradisi tasawuf: perang melawan hawa nafsu. Raja digambarkan sebagai sosok yang harus menaklukkan dirinya sendiri sebelum menaklukkan dunia. Suluk ini menjadi kerangka normatif untuk mencetak pemimpin yang tidak hanya berkuasa secara politik, tetapi juga suci secara spiritual. Tidak mengherankan jika model ini kemudian diadopsi oleh Mangkunagara I.
Pangeran Arya Blitar: Raja Anti-VOC di Tengah Runtuhnya Kartasura
Awal abad ke-18 adalah periode yang menentukan dalam sejarah politik Jawa. Di balik tembok Keraton Kartasura yang mulai retak, berlangsung pertarungan sengit antara legitimasi spiritual, ambisi politik, dan campur tangan kekuasaan kolonial.
Dalam pusaran konflik tersebut, muncul sosok Pangeran Arya Blitar, putra Pakubuwana I dan Ratu Mas Blitar, yang menolak tunduk pada dominasi Kompeni dan memilih jalan perlawanan.
Wafatnya Pakubuwana I pada 1719 menjadi pemicu krisis dinasti. Raden Mas Suryaputra naik takhta sebagai Amangkurat IV bukan atas musyawarah keraton, melainkan melalui dukungan VOC.
Penunjukan ini segera memicu ketegangan, terutama di kalangan pangeran muda yang merasa memiliki klaim lebih kuat atas takhta, termasuk Pangeran Arya Blitar dan saudaranya, Pangeran Purbaya [5].
Penurunan hak apanage Arya Blitar atas wilayah strategis seperti Blora dan Jagaraga, ditambah semakin dominannya kekuatan VOC di istana, menumbuhkan benih pemberontakan. Kartasura bukan lagi pusat spiritual dan kultural Jawa, melainkan loji besar dengan bayonet asing berjaga di setiap sudut. Di mata para bangsawan dan kiai, raja yang berlindung di balik meriam VOC telah kehilangan sinar wahyu kedaton.
Menarik diri dari pusat kekuasaan, Arya Blitar mendirikan basis perlawanan di Kartasekar, sebuah bekas keraton Sultan Agung yang sarat makna spiritual. Di sinilah, pada tahun 1720, ia diproklamasikan sebagai Sultan Ibnu Mustafa Pakubuwana ing Alaga Senapati Abdulrahman Sayidin Panatagama [6].
Prosesi penobatan yang disaksikan para ulama dan kiai menunjukkan bahwa perjuangan ini bukan sekadar rebutan kekuasaan, tetapi pembangkangan terhadap raja boneka Kompeni.
Kartasekar segera menjadi pusat resistensi. Tokoh-tokoh penting seperti Ki Garwakanda, Ki Secadikara, dan para panglima desa bahu-membahu membentuk pasukan rakyat. Garwakanda, sang patih lapangan, memimpin penyerbuan ke Kartasura demi membebaskan anaknya, Ragum, dari penjara raja. Aksi ini melambangkan dendam personal yang menyatu dengan perjuangan kolektif rakyat Jawa.
Namun, kekuatan spiritual dan semangat rakyat tidak mampu menandingi superioritas militer VOC. Serangan balasan dari arah Pamengkang dengan senjata berat seperti meriam gurnat dan gurnada menghantam barisan Kablitaran.
Korban berjatuhan, termasuk Ki Secadikara dan Panji Tohpati. Dalam situasi genting, Pangeran Arya Blitar memerintahkan mundur ke Kapurbayan, pusat spiritual sekaligus benteng terakhir.
Di Kapurbayan, bersama Pangeran Purbaya, Arya Blitar mencoba membangun kekuatan baru. Rakyat dan elite spiritual meneguhkan kembali legitimasi kerajaannya. Namun pada tahun 1721, serangan gabungan pasukan VOC dan loyalis Kartasura menghancurkan Kartasekar. Arya Blitar gugur dalam pelarian di Lumajang—tempat yang sebelumnya ia taklukkan bagi Pakubuwana I—sebuah ironi sejarah yang pahit.
Meskipun singkat, pemerintahan Arya Blitar memancarkan satu pesan penting bahwa takhta Jawa tidak boleh lahir dari senjata Kompeni, melainkan dari wahyu dan kepercayaan rakyat. Ketika Arya Blitar gugur, semangatnya tetap hidup dalam darah keturunannya.
Dari pernikahannya dengan Raden Ayu Brebes lahirlah Raden Ayu Wulan, ibu dari Raden Mas Said, kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.
Sambernyawa, cucu dari Arya Blitar dan Purbaya, menjelma menjadi simbol kesinambungan perlawanan Jawa terhadap kolonialisme. Ia memimpin perang gerilya melawan VOC selama 16 tahun, dan baru berdamai dalam Perjanjian Salatiga 1757.
Kadipaten Mangkunegaran yang lahir dari perjanjian itu bukanlah kompromi kekuasaan, melainkan institusi yang dibangun dari puing luka sejarah dan perlawanan berdarah.
Penutup: Ratu Mas Blitar, Pusat Kekuatan yang Abadi
Kanjeng Ratu Mas Blitar menghembuskan napas terakhir di Keraton Kartasura pada 5 Januari 1732. Kepergian sang permaisuri menutup sebuah bab penting dalam sejarah dinasti Mataram. Jenazahnya dimakamkan di Astana Panitikan, Yogyakarta, di sisi makam putra tercintanya, Pangeran Arya Blitar.
Bukan semata permaisuri dalam struktur feodal Mataram, Ratu Mas Blitar adalah pusat genealogi politik dan spiritual yang menghubungkan empat dinasti besar Jawa: Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.
Melalui keturunannya, ia meneguhkan jalur legitimasi kekuasaan sekaligus menyalurkan warisan spiritual yang menjadi dasar perlawanan terhadap hegemoni kolonial. Kiprahnya dalam dunia intelektual dan spiritual keraton menunjukkan perannya sebagai penjaga tradisi sekaligus perancang arah ideologi istana. Semangat perlawanan yang mewarnai hidup putranya, Pangeran Arya Blitar, adalah cerminan darah, ajaran, dan keteguhan hati sang ibu yang terus hidup melampaui zamannya.
Dengan menempatkan Ratu Mas Blitar sebagai poros utama dalam narasi sejarah, kita tak hanya membongkar kelupaan kolektif terhadap peran perempuan, tetapi juga membuka jalan baru dalam memahami struktur kekuasaan Jawa: bahwa di balik raja dan perang, ada ibu, guru, dan pemimpin spiritual yang menanamkan kekuatan sejati. Ia adalah bukti bahwa sejarah sejatinya jauh lebih kompleks, multi-dimensional, dan penuh dengan suara-suara yang menunggu untuk didengar.
Referensi:
[1] De Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (1974). De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java: Studien over de Staatkundige Geschiedenis van de 15de en 16de Eeuw. Martinus Nijhoff. (Data mengenai silsilah awal Kesultanan Demak hingga Mataram)
[2] Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press. (Informasi umum mengenai dinasti Jawa dan Perjanjian Giyanti)
[3] Djajadiningrat, Hoesein. (1913). Critische beschouwing van de Sadjarah Banten: Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche geschiedschrijving. Leiden: P. W. M. Trap. (Meskipun fokusnya Banten, karya Djajadiningrat sering menyentuh konteks Mataram dan Mangkunegaran dalam analisis historisnya).
[4] Gallop, A. (2012). Early Javanese MSS: Three Texts Commissioned by Ratu Mas Blitar. British Library Blog. (Analisis mendalam mengenai naskah-naskah yang dikomisikan oleh Ratu Mas Blitar)
[5] Ricklefs, M. C. (1998). The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726-1749: History, Literature and Islamic Mysticism in the Court of Pakubuwana II. University of Hawaii Press. (Detail mengenai intrik di Kartasura dan peran VOC dalam suksesi)
[6] Kumar, Ann. (1997). Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters. Curzon Press. (Membahas konflik dan resistensi terhadap VOC di Jawa)
[7] Poerbatjaraka, R. M. Ng. (1952). Kepustakaan Djawa. J. B. Wolters. (Informasi mengenai tokoh-tokoh awal Demak dan adipati-adipati wilayah).
