Kasus Pengeroyokan Santri hingga Meninggal, 17 Pelaku Divonis Berbeda

Ilustrasi putusan hakim.

INDONESIAONLINE – Kasus pengeroyokan santri di Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq, Blitar, menghadirkan beragam vonis bagi 17 terdakwa.

Sidang putusan yang digelar terbuka pada Senin (29/4/2024) di Pengadilan Negeri Blitar itu memberikan hukuman penjara 2,6 tahun di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) kepada dua terdakwa pelaku utama. Sementara 14 terdakwa lainnya mendapat hukuman satu tahun di LPKA dan satu terdakwa remaja diberi pembinaan di Dinas Sosial selama satu tahun.

Menurut ketua majelis hakim Agus Darmanto, alasan pemberian vonis yang lebih ringan adalah karena para terdakwa tidak memiliki catatan pidana sebelumnya. “Hal-hal yang meringankan para terdakwa adalah bahwa mereka belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya,” ujar Agus Darmanto.

Ke-17 terdakwa ini adalah santri Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq di Blitar. Mereka didakwa melakukan pengeroyokan terhadap rekan santri bernama M. Ali Rofi pada awal Januari 2024. Rofi meninggal dalam perawatan intensif rumah sakit beberapa hari setelah kejadian tersebut.

Jaksa penuntut umum (JPU) Martin Eko Priyanto menyatakan bahwa meskipun vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan JPU, secara umum putusan tersebut sesuai dengan pandangan JPU dalam dakwaan dan tuntutan.

“Putusan majelis hakim secara umum sependapat dengan tuntutan kami jaksa penuntut umum. Hanya agak berbeda penghukumannya,” ungkap Martin kepada wartawan.

Meskipun demikian, penasihat hukum para terdakwa menerima vonis yang dijatuhkan kecuali untuk dua terdakwa yang mendapat vonis penjara LPKA selama 2,6 tahun.

“Untuk vonis 2,6 tahun terhadap dua terdakwa tersebu, kami pikir-pikir dulu,” kata Yaoma Tartibi, penasihat hukum para terdakwa.

Di sisi lain, penasihat hukum keluarga korban, Mashudi, menyatakan akan berkonsultasi lebih lanjut dengan keluarga korban sebelum mengambil sikap terhadap vonis tersebut.

“Kami menghormati putusan yang dijatuhkan majelis hakim. Tapi kami akan konsultasi lebih dulu dengan pihak keluarga korban selaku klien kami,” ujar Mashudi didampingi rekannya, Galuh Redi Susanto.

Kasus ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga menyoroti isu perlindungan anak dan keadilan dalam masyarakat. Penganiayaan yang menyebabkan kematian Ali Rofi telah menimbulkan keprihatinan yang mendalam di masyarakat. Rofi dianiaya oleh belasan rekan santri di Pondok Pesantren Tahsinul Akhlak pada awal Januari 2024 hingga akhirnya meninggal dalam perawatan medis.

Berdasarkan hasil penyelidikan kepolisian, penganiayaan tersebut bermula dari dugaan pencurian uang saku santri yang dilakukan oleh korban. Namun, tindakan kekerasan yang berujung pada kematian menjadi sorotan yang perlu mendapat penanganan serius, baik dari segi penegakan hukum maupun pencegahan tindak kekerasan di lingkungan pendidikan.

Keseluruhan vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan menggarisbawahi pentingnya pendekatan rehabilitasi bagi pelaku kejahatan remaja. Meskipun hukuman yang diberikan tidak mencapai tuntutan jaksa, tetapi dipertimbangkan untuk memberikan kesempatan kepada para terdakwa untuk memperbaiki diri.

Putusan tersebut diharapkan juga dapat memberikan keadilan bagi keluarga korban, sambil memberikan pelajaran bagi masyarakat akan pentingnya menyelesaikan konflik dengan cara yang damai dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. (ar/hel)

BlitarKasus pengeroyokan santrisantri dikeroyok hingga meninggalVonis