Beranda

Kembang Arum: Pertempuran Darah Biru di Lereng Merapi

Kembang Arum: Pertempuran Darah Biru di Lereng Merapi
Ilustrasi

Selami kisah Pertempuran Kembang Arum 1826, sebuah paradoks dalam Perang Jawa. Pangeran Diponegoro dan Mangkunegara II, sepupu jauh keturunan Amangkurat IV, berhadapan di medan perang. Mengapa pewaris Pangeran Sambernyawa ini justru bersekutu dengan Belanda? Temukan intrik politik, genealogis, dan ideologis yang membentuk sejarah tragis ini.

INDONESIAONLINE – Di jantung tanah Jawa, di lereng Gunung Merapi yang dingin, sebuah drama sejarah membara pada Mei 1826. Bukan sekadar benturan senjata antara penjajah dan pejuang, melainkan sebuah simfoni tragis dari darah biru yang saling menghunus pedang.

Pertempuran Kembang Arum, sebuah episode krusial dalam Perang Jawa (1825–1830), bukan hanya kemenangan militer, melainkan juga cermin retak dari perpecahan internal elite Jawa, di mana dua pewaris takhta Mataram, Pangeran Diponegoro dan Mangkunegara II, berdiri di kubu yang berlawanan.

Perang Jawa meletus pada Juli 1825 di Yogyakarta, mengobar menjadi gejolak rakyat terbesar melawan kolonial Belanda. Diponegoro, seorang pangeran dengan visi “jihad fi sabilillah”, berhasil menyatukan ulama, santri, petani, dan bangsawan muda dalam barisan perlawanan.

Namun, sejarah Jawa selalu menyimpan paradoks yang pahit. Di tengah gelora perjuangan, sebagian bangsawan justru memilih bersekutu dengan sang penjajah. Salah satunya adalah Mangkunegara II, penguasa Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta.

Dalam sebuah ironi yang menggores hati, penerus langsung garis perjuangan Raden Mas Said, Pangeran Sambernyawa—musuh bebuyutan VOC di abad ke-18—justru menjadi sekutu Belanda dalam menumpas perlawanan Diponegoro.

Pertempuran Kembang Arum pada 27 Mei 1826 menjadi saksi bisu atas pilihan politik yang pahit ini. Di sana, Mangkunegara II memimpin Legiun Mangkunegaran, bahu-membahu dengan kolonial Belanda, menyerang benteng pertahanan laskar Diponegoro di kaki Merapi.

Pecahnya Barisan: Awal Mula Kerentanan

Gejolak di tubuh perlawanan Diponegoro bukanlah rahasia. Pada paruh pertama Mei 1826, Jenderal Hendrik Merkus de Kock, komandan militer Belanda di Jawa, menerima laporan kritis dari pos Candi. Laporan itu menyingkap keretakan di antara para pemimpin laskar.

Diponegoro dikabarkan “marah” karena beberapa tetua yang ia pilih tidak sepenuhnya sejalan dengan Kyai Mojo, pemimpin spiritual perlawanan. Perbedaan strategi antara Diponegoro dan sebagian ulama ini menyebabkan pemencaran pasukan: sebagian ulama bergerak ke arah Magelang, Diponegoro menuju Kembang Arum, sementara beberapa kepala pemberontak lain ke selatan, ke Imogiri.

Meskipun laporan menyebutkan “buat mereka adalah hal yang terbaik apabila mereka semua tidak berdiri pada satu titik,” pemencaran ini justru menjadi kerentanan yang segera dimanfaatkan oleh Belanda dan sekutunya.

Kembang Arum: Benteng yang Terkepung

Kembang Arum, sebuah desa di kaki Gunung Merapi, menjadi benteng utama Diponegoro. Letaknya strategis, di antara Bedoyo dan jalan besar Yogyakarta–Magelang, dengan pertahanan alami yang tangguh: tebing curam, pepohonan rimbun, serta jalan masuk yang sempit—hampir mustahil ditembus tanpa korban besar.

Diponegoro menempatkan sekitar 800 laskar di Desa Sempu, sebelah barat daya Bedoyo, dilengkapi pagar kayu runcing, parit pertahanan, dan jebakan alamiah. Namun, pada 21 Mei 1826, Legiun Mangkunegaran berhasil mengusir mereka dari Sempu.

Tujuh laskar Diponegoro tewas, dan Sempu jatuh ke tangan musuh. Meskipun demikian, Mangkunegara II tak berani langsung menyerbu Kembang Arum, menyadari kekuatannya.

Belanda tak tinggal diam. Untuk mematahkan benteng ini, Letnan-Kolonel Gey dikerahkan dengan kolone militer: 225 infanteri bersenjata api, 50 penombak, 40 pionir, 40 kavaleri, serta diperkuat dua meriam dan dua mortir tangan. Pada 26 Mei, kolone Gey bergerak dari Yogyakarta, bermalam di Pisangan. Sementara itu, Mangkunegara II telah bersiap dari arah timur, membentuk strategi pengepungan dua sisi.

Pertempuran 27 Mei 1826: Darah Tumpah di Lereng Merapi

Pagi 27 Mei, udara dingin Merapi diselimuti ketegangan. Kolone Gey bergerak dari Pisangan, mengambil jalan tikus menuju Kembang Arum dari barat. Pukul delapan pagi, mereka tiba di dataran tinggi, di mana barikade Diponegoro terlihat jelas: pagar kayu runcing, pepohonan ditebang, parit, dan para penembak bersiaga.

Bersamaan itu, Mangkunegara II memimpin pasukannya dari timur. Mereka sempat diadang, namun berhasil memukul mundur laskar Diponegoro. Tragisnya, musuh yang melarikan diri ke utara justru bertabrakan dengan kolone Gey. Mayor Jonkheer Van der Wijck segera mengirim kavaleri untuk mengejar, lalu bergabung dengan pasukan Mangkunegara II.

Teriakan musuh menggema, memberi tanda bahaya. Dentuman meriam Belanda dibalas dari barat, namun tak mampu menembus barikade. Pertahanan di timur justru semakin kuat karena pasukan Diponegoro terkonsentrasi di sana. Detasemen Pangeran Soeriadiningrat, diperkuat 150 senapan dan dua mortir, bergerak dari barat, tetapi gagal menemukan celah dan kembali bergabung dengan pasukan Mangkunegara di timur.

Serangan utama dipimpin Mayor Van der Wijck. Setelah satu jam bombardemen, pionir berhasil membuka ruang. Infanteri menyerbu pagar desa. Mangkunegara II, dalam balutan seragam kebanggaan, berada di garis depan, bersama perwira Belanda dan pribumi, memimpin serangan jarak dekat.

Pertempuran sengit berlangsung hingga akhirnya barisan Diponegoro pecah. Laskar melarikan diri ke segala arah, dikejar oleh kavaleri Belanda dan pasukan Mangkunegaran. Senjata-senjata yang tertinggal, beberapa di antaranya berhias sebagai tanda milik para kepala daerah, menyiratkan bahwa banyak pemimpin lokal gugur dalam pertempuran itu. Kerugian Belanda relatif kecil: tiga tewas, dua luka. Kembang Arum pun jatuh ke tangan sekutu Belanda–Mangkunegara II.

Dua Komandan, Dua Paradigma

Menariknya, Diponegoro tidak hadir langsung di Kembang Arum. Ia saat itu berada di Desa Deksa, tidak jauh dari medan perang. Sebagai komandan tertinggi, strateginya adalah menjaga jarak untuk menghindari risiko tertangkap, sembari mengatur strategi besar.

Ini kontras dengan Mangkunegara II yang justru turun langsung ke medan perang, memimpin legiunnya. Perbedaan sikap ini mencerminkan dua paradigma kepemimpinan: Diponegoro sebagai pemimpin spiritual-militer yang menjaga diri demi keberlangsungan gerakan, dan Mangkunegara II sebagai panglima feodal yang mempertaruhkan wibawa dengan memimpin pasukan sekutu Belanda.

Kontras ini membuka pertanyaan lebih luas tentang posisi politik Mangkunegara II: tindakan militernya yang nyata di lapangan mencerminkan pilihan strategis yang berakar pada sejarah dan garis keturunan kadipaten, yang kelak menjelaskan mengapa Mangkunegaran mengambil posisi sebagai sekutu Belanda.

Keturunan Amangkurat IV: Pertempuran Darah Sendiri

Pertempuran Kembang Arum bukan sekadar peristiwa militer, tetapi juga menyingkap paradoks besar dalam sejarah politik Jawa: mengapa Mangkunegaran, pewaris langsung Dinasti Mataram yang identik dengan perlawanan, justru memihak Belanda? Paradoks ini hanya dapat dipahami dengan menelisik warisan historis, genealogis, dan politik yang membentuk keputusan Mangkunegara II.

Mangkunegara II, lahir 5 Januari 1768 dengan nama Raden Mas Sulama, adalah cucu Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa). Ibunya, Kanjeng Ratu Alit, adalah putri Susuhunan Pakubuwono III dari Surakarta. Ini berarti Mangkunegara II mewarisi garis keturunan kedua cabang penting Mataram. Pangeran Sambernyawa sendiri adalah putra Pangeran Arya Mangkunegara, yang lahir dari Sunan Amangkurat IV dan Mas Ayu Wulan. Dengan demikian, Mangkunegara II adalah pewaris langsung darah perjuangan Sambernyawa, simbol perlawanan terhadap VOC antara 1740 dan 1757.

Di sisi lain, Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785 dengan nama Raden Mas Ontowiryo. Ia adalah putra Gusti Raden Mas Suraja (Sri Sultan Hamengkubuwono III) dan Raden Ayu Mangkarawati. Hamengkubuwono III adalah putra Hamengkubuwono II, yang merupakan putra Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi), yang lahir dari Sunan Amangkurat IV dan Mas Ayu Tejawati.

Dengan demikian, Mangkunegara II dan Diponegoro adalah sepupu jauh generasi kedua, keduanya menuruni Amangkurat IV melalui cabang yang berbeda. Mereka lahir dalam lingkungan istana yang sarat intrik politik, nilai spiritual, dan memori dendam sejarah.

Warisan Sambernyawa membentuk dilema moral dan politik bagi Mangkunegara II. Mangkunegara I, meskipun legendaris sebagai pejuang anti VOC, memilih kompromi melalui Perjanjian Salatiga 1757 dan mendirikan Kadipaten Mangkunegaran yang diakui Belanda. Uniknya, Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi, leluhur Mangkunegara II dan Diponegoro, adalah tokoh utama Perang Suksesi Jawa III yang panjang.

Bagi Mangkunegara II, bergabung dengan Diponegoro berarti mempertaruhkan legitimasi dan eksistensi kadipaten yang telah dibangun leluhurnya. Memihak Belanda menjamin stabilitas politik, meskipun bertentangan dengan warisan simbolik Sambernyawa. Legiun Mangkunegaran, yang dibentuk sejak 1808 sebagai pasukan modern bergaya Eropa, menjadi instrumen militer terintegrasi ke dalam sistem kolonial.

Pertempuran Kembang Arum menunjukkan bahwa aliansi dan loyalitas sering kali ditentukan oleh kebutuhan praktis untuk bertahan hidup politik, meskipun bertentangan dengan memori simbolik yang melekat di garis keturunan kerajaan.

Ideologi Berhadapan dengan Pragmatisme

Bagi Diponegoro, perang adalah perang suci melawan penjajahan dan ketidakadilan. Ia melihat dirinya sebagai Ratu Adil, pemimpin yang ditunjuk Tuhan untuk membebaskan Jawa. Dukungan Kyai Mojo dan para ulama memperkuat aura spiritual perlawanan.

Namun, bagi bangsawan seperti Mangkunegara II, realitas politik berbeda. Ia melihat persekutuan dengan Belanda sebagai cara mempertahankan kekuasaan dan stabilitas kadipatennya. Ideologi jihad Diponegoro berbenturan dengan pragmatisme feodal yang telah mengakar dalam politik istana Jawa.

Dari sinilah terlihat bahwa Perang Jawa bukan sekadar “rakyat melawan Belanda,” melainkan juga perang ideologi di dalam tubuh Jawa sendiri: antara spiritualitas rakyat dengan kepentingan elite, antara cita-cita kemerdekaan dengan realitas kompromi kolonial.

Pertempuran Kembang Arum menandai fase penting dalam Perang Jawa. Secara militer, peristiwa ini merupakan kemenangan Belanda beserta sekutu Jawa mereka. Secara politik, pertempuran ini menegaskan perpecahan internal Jawa, di mana dua bangsawan keturunan Mataram, Diponegoro dan Mangkunegara II, berdiri di kubu yang berlawanan.

Kemenangan di Kembang Arum tidak memadamkan perlawanan Diponegoro. Api jihad terus berkobar di berbagai daerah, dari Imogiri hingga Bagelen. Namun peristiwa ini menunjukkan salah satu wajah paling getir dari Perang Jawa: sesama putra Mataram saling berhadapan, bukan karena perbedaan darah, melainkan karena perbedaan pilihan politik dan ideologi.

Kembang Arum tercatat dalam sejarah sebagai benteng yang membara, bukan hanya oleh mesiu dan darah, tetapi juga oleh dilema sejarah bangsa Jawa, antara perlawanan dan kolaborasi, antara idealisme dan pragmatisme. Sebuah potret abadi dari tragedi perpecahan yang membentuk narasi bangsa ini.

Referensi:

  • Carey, P. B. R. (2008). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press. (Ini adalah referensi primer untuk informasi mengenai Perang Jawa dan Diponegoro)

  • De Kock, H. M. (1830). Nota over de krijgsvoorvallen van den Java-oorlog. (Laporan militer kontemporer, sumber utama untuk detail pertempuran dari sisi Belanda).

  • Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford: Stanford University Press. (Untuk konteks sejarah Jawa modern dan posisi Mangkunegaran).

  • Ensiklopedia Sejarah Indonesia, artikel terkait Pangeran Diponegoro, Mangkunegara II, dan Perang Jawa. (Situs-situs sejarah terkemuka atau publikasi ensiklopedia)

Exit mobile version