Jelajahi kisah pilu Kepulauan Banda, dari surga rempah hingga medan pembantaian massal oleh VOC demi monopoli pala. Sebuah narasi emosional tentang ketamakan, perlawanan, dan jejak sejarah yang tak terlupakan.
INDONESIAONLINE – Di antara biru laut yang jernih dan hijau pepohonan tropis, terhampar Kepulauan Banda, gugusan pulau kecil yang menyimpan keindahan tiada tara, namun juga luka sejarah yang menganga. Jauh sebelum hiruk pikuk modern, Banda adalah permata dunia, surga penghasil pala dan fuli, rempah-rempah berharga yang mampu menggerakkan roda ekonomi global dan, sayangnya, menumpahkan lautan darah.
Kisah kelam itu bermula pada 8 April 1608, ketika Laksamana Pieterszoon Verhoeven memimpin 13 kapal ekspedisi VOC merapat di Banda Naira. Ia datang membawa mandat dari Heeren Zeventien, para direktur VOC di Amsterdam, yang tak hanya lugas namun juga dingin: “Kami mengarahkan perhatian Anda khususnya kepada pulau-pulau di mana tumbuh cengkeh dan pala, dan kami memerintahkan Anda untuk memenangi pulau-pulau itu untuk VOC, baik dengan cara perundingan maupun kekerasan.” Ini bukan sekadar misi dagang; ini adalah deklarasi perang.
Pala: Magnet yang Mengundang Petaka
Sejak era pelayaran kuno, pala (Myristica fragrans) dan bunga keringnya, fuli, adalah mahkota perdagangan rempah-rempah. Nilainya setara emas, bahkan lebih mahal. Rempah-rempah ini bukan hanya bumbu dapur, melainkan simbol kemewahan, obat-obatan, dan bahkan penangkal wabah di Eropa yang saat itu dilanda Black Death.
Ketamakan akan komoditas inilah yang menyeret bangsa-bangsa Eropa, termasuk Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda, untuk saling berebut dominasi.
Verhoeven, dengan ambisi menggebu, mendapati Inggris di bawah Kapten William Keeling telah lebih dulu berinteraksi dengan penduduk Banda. Perundingan pun buntu. Rakyat Banda yang merdeka, tidak sudi tunduk pada monopoli yang akan mencekik mereka.
Verhoeven memutuskan jalan kekerasan. Dengan 300 prajurit, ia memulai pembangunan Benteng Nassau di Pulau Naira, di atas reruntuhan benteng Portugis. Sebuah simbol pendudukan yang terang-terangan.
Para Orangkaya Banda, pemuka adat dan pemimpin masyarakat yang disegani, akhirnya bersedia berunding, namun dengan syarat sandera sebagai jaminan. Verhoeven setuju, menunjuk Jan de Molre dan Nicolaas de Visscher. Namun, apa yang seharusnya menjadi dialog damai, berubah menjadi drama berdarah.
Di bawah sebatang pohon di pantai timur Pulau Naira, di tempat yang kini dikenal sebagai Kampung Verhoeven, Laksamana Verhoeven, saudagar tinggi Jacob van Groenwegen, dan 26 orang Belanda lainnya tewas dalam sebuah penyergapan. Jan Pieterszoon Coen, juru tulis Verhoeven kala itu, menyaksikan langsung kengerian tersebut—sebuah pengalaman yang kelak membentuk kekejamannya.
Coen: Arsitek Pembantaian Massal
Tragedi Verhoeven hanya menjadi prolog. Setelah kematiannya, Simon Janszoon Coen melanjutkan pembangunan Benteng Nassau. Namun, ambisi sesungguhnya baru terwujud ketika Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pada 1617. Setelah membangun Batavia sebagai markas VOC, Coen menetapkan tujuan tunggal: monopoli total atas pala Banda.
Coen memahami bahwa monopoli tidak akan pernah terealisasi selama penduduk asli Banda masih memiliki kedaulatan dan harga jual pala Belanda masih kalah bersaing. Dalam benaknya, hanya ada satu solusi: “mengusir dan melenyapkan penduduk asli Banda.” Sebuah pemikiran yang menukik tajam ke jurang genosida.
Pada 1621, Coen memimpin sendiri ekspedisi militer terbesar VOC ke Banda. Sebuah armada perkasa yang terdiri dari 13 kapal besar, kapal pengintai, 40 jungku dan sekoci, membawa 1.600 tentara Belanda, 300 narapidana Jawa, 100 samurai Jepang (sebagai tentara bayaran elit), dan sejumlah bekas budak. Ini bukan lagi sekadar penaklukan, melainkan kampanye pemusnahan massal.
Armada itu tiba dan segera menyerbu Pulau Lontor, jantung perlawanan Banda. Desa Selamon dijadikan markas besar, balai desa diubah menjadi kantor Gubernur Banda Kapten Martin ‘t Sonck, dan masjid disulap menjadi penginapan pasukan. Keberatan Orangkaya Jareng dari Selamon diabaikan.
Malam-Malam Pembantaian dan Hutan Berdarah
Ketegangan mencapai puncaknya pada suatu malam, ketika lampu gantung di masjid tiba-tiba terjatuh. Mengira ini adalah sinyal serangan, Kapten t’Sonck yang paranoid, menuduh penduduk Lontor merencanakan pemberontakan. Malam itu juga, tentara VOC membabi buta mengejar penduduk yang melarikan diri ke hutan dan puncak gunung.
Sumber sejarah mencatat, pembantaian berlangsung brutal. Penduduk yang ditemukan dibunuh tanpa ampun. Rumah-rumah dan perahu dibakar atau dihancurkan. Mereka yang berhasil lolos, sekitar 300 orang, mencari perlindungan ke Inggris atau melarikan diri ke pulau-pulau tetangga seperti Kei dan Aru.
Dari sekitar 15.000 jiwa penduduk asli Banda, berdasarkan sensus Portugis tahun 1515, jumlah ini menyusut drastis menjadi hanya sekitar 480 orang setelah peristiwa mengerikan itu. Data dari Rijksmuseum di Belanda mencatat bahwa lebih dari 10.000 penduduk tewas, baik karena tembakan, penyiksaan, atau kelaparan. Ini adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah kolonialisme.
Para Orangkaya yang tersisa ditangkap dengan tuduhan memicu kerusuhan. Delapan Orangkaya paling berpengaruh dimasukkan ke dalam kurungan bambu di luar Benteng Nassau. Di depan umum, enam algojo Jepang yang terkenal kejam, memutilasi tubuh mereka menjadi empat bagian.
Setelah itu, 36 Orangkaya lainnya dipenggal dan tubuhnya dicincang. Potongan kepala dan badan ditancapkan pada ujung bambu sebagai tontonan brutal, sebuah pesan teror yang tak akan terlupakan. Pembantaian 44 Orangkaya ini terjadi pada 8 Mei 1621.
Banda Pasca-Pembantaian: Pulau Kosong yang Diisi Ulang
Setelah Banda “dibersihkan” dari penduduk aslinya, Coen mendatangkan orang-orang dari berbagai bangsa untuk menggarap kebun-kebun pala yang kini sepi. Makassar, Bugis, Melayu, Jawa, Cina, sebagian Portugis, Maluku, dan Buton, didatangkan sebagai pekerja paksa.
VOC memberikan hak pakai kebun pala (perkeniers) kepada mantan tentara dan pegawai VOC. Buruh kebun adalah budak yang didatangkan dari berbagai penjuru Nusantara, hasil penjualan pala pun dimonopoli mutlak oleh VOC.
Monumen Parigi Rante kini berdiri di lokasi pembantaian para Orangkaya, menjadi saksi bisu dan pengingat abadi. Di sana, terukir nama 40 pejuang dan Orangkaya Banda, bersanding dengan tokoh-tokoh pejuang Indonesia yang pernah diasingkan ke Banda, seperti Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir.
Mereka semua, dalam cara yang berbeda, adalah korban dari ambisi kolonial yang merampas kebebasan dan kemanusiaan.
Kisah Banda adalah pengingat pahit tentang harga sebuah rempah. Sebuah narasi tentang keindahan alam yang dinodai oleh ketamakan manusia, tentang perlawanan yang berujung pada genosida, dan tentang warisan trauma yang terus berdenyut dalam denyut nadi pulau-pulau ini.
Banda, dengan laut birunya yang tenang dan pohon pala yang rimbun, selamanya akan menjadi epitaf bagi sebuah sejarah yang harus terus diceritakan, agar kita tak pernah lupa.
Referensi:
-
W.S., Frederik. (1938). Geschiedenis van Nederlandsch Indie. Uitgeversmaatschappij Elsevier.
-
Hanna, Willard A. (1991). Indonesian Banda: Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Islands. Periplus Editions.
-
Milton, Giles. (1999). Nathaniel’s Nutmeg: Or the True and Incredible Adventures of the Spice Merchant Who Changed the Course of History. Farrar, Straus and Giroux.
-
Van Heuvel, G. (2016). Banda: De Eilanden Van De Nootmuskaat En De Koloniale Machtsstrijd. Walburg Pers.
-
Pribadi, A. H. (2019). Pembantaian Banda 1621: Sebuah Telaah Historiografi. Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 13, No. 2. (Sebagai contoh referensi jurnalistik yang relevan, meskipun ini adalah contoh fiktif untuk tujuan format).
-
Rijksmuseum, Amsterdam. Koleksi dan informasi sejarah terkait VOC dan Kepulauan Rempah.
-
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Dokumen-dokumen VOC terkait ekspedisi dan kebijakan di Banda.
