Beranda

Kisah Pangeran Timur Cucu Sunan Kalijaga: Mewarisi Demak, Bertahan di Pajang, Ditaklukkan Mataram

Kisah  Pangeran Timur Cucu Sunan Kalijaga: Mewarisi Demak, Bertahan di Pajang, Ditaklukkan Mataram
Makam Pangeran Timur di Kuncen, Kota Madiun. (ist)

INDONESIAONLINE – Sejarah Jawa mencatat nama Pangeran Timur -yang juga dikenal sebagai Panembahan Rangga Jumena atau Panembahan Madiun I- terpahat sebagai sosok bangsawan dengan garis darah yang kental menghubungkan tiga kerajaan besar: Demak, Pajang, dan Mataram. Terlahir dengan nama Pangeran Maskumambang, ia adalah putra bungsu Sultan Trenggono, raja ketiga Kesultanan Demak, dan Kanjeng Ratu Pembayun, putri Sunan Kalijaga.  Dari silsilah ini saja, Pangeran Timur memegang posisi penting di antara persilangan kekuasaan politik dan keagamaan Jawa.

Pangeran Timur menikahi putri Pangeran Sekar Sedo Lepen, yang bergelar Ratu Timoer. Pernikahan ini tidak hanya menyatukan dua garis bangsawan terhormat, tetapi juga melahirkan generasi penerus yang kelak menjadi tokoh penting di berbagai belahan Jawa. Anak sulungnya, Raden Ayu Retno Dumilah, kelak menjadi simbol penting dalam sejarah perjuangan Madiun, serta menjadi istri Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram.

Dari Demak ke Pajang: Titian Takdir Pangeran Timur

Setelah runtuhnya Demak akibat konflik internal pasca-wafatnya Sultan Trenggono, Pangeran Timur dibesarkan di istana Pajang di bawah naungan Sultan Hadiwijaya atau yang lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir. Hadiwijaya mengangkat Pangeran Timur sebagai penguasa Madiun, sebuah wilayah yang strategis di barat Kerajaan Pajang. Sebagai seorang bangsawan yang dihormati, Pangeran Timur diberi gelar “Panembahan Mas” dan kemudian dikenal sebagai Panembahan Madiun I.

Keputusan Sultan Hadiwijaya mengangkatnya menjadi penguasa Madiun bukanlah tanpa alasan. Hubungan keluarga antara keduanya -istri Hadiwijaya, Ratu Mas Cempaka, adalah kakak Pangeran Timur-menjadi faktor kuat. Penempatan ini juga sekaligus memastikan loyalitas Pangeran Timur dalam mengawal kekuasaan Pajang.

Panggung Politik Madiun: Antara Pajang dan Mataram

Setelah kemunduran Pajang, panggung politik Jawa mengalami pergeseran ke Mataram di bawah kepemimpinan Panembahan Senopati. Namun, pengaruh Pajang dan para penguasa lokal di Jawa Timur seperti Madiun belum sepenuhnya surut. Di sinilah Pangeran Timur menemukan dirinya dalam persimpangan takdir.

Menurut catatan dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, Mataram di bawah Panembahan Senopati memandang Madiun sebagai wilayah yang harus ditaklukkan demi konsolidasi kekuasaan. Namun, perlawanan Pangeran Timur tidak dapat dipandang remeh. Dukungan besar dari penguasa Jawa Timur, termasuk Surabaya, membuat Madiun menjadi benteng terakhir yang sulit ditembus.

Dalam satu catatan, Pangeran Timur bahkan berhasil mengumpulkan 70.000 pasukan dari berbagai sekutu, jumlah yang jauh melampaui pasukan Senopati yang hanya sekitar 8.000 orang. Namun, strategi perang Panembahan Senopati, yang dibantu oleh Patih Ki Juru Martani, memainkan peran kunci dalam mengatasi perbedaan kekuatan ini.

Strategi Politik: Peran Adi Sara dan Retno Dumilah

Salah satu taktik paling terkenal dalam penaklukan Madiun adalah penggunaan strategi tipu muslihat yang melibatkan seorang wanita cantik bernama Nyimas Adi Sara, istri selir Panembahan Senopati. Menurut Serat Kandha, Adi Sara dikirim oleh Mataram dengan membawa surat yang menyatakan penyerahan Senopati kepada Pangeran Timur. Kedatangan Adi Sara yang memesona membuat seisi istana Madiun terkesima, termasuk Pangeran Timur sendiri. Surat penyerahan itu pun berhasil memicu pembubaran sebagian tentara Madiun, yang menjadi langkah strategis dalam kemenangan tersebut.

Dalam kondisi pasukan yang tercerai-berai, Mataram melancarkan serangan dari tiga arah sebelum fajar. Panembahan Senopati, dengan baju kebesarannya Kiai Gundil dan Kuda Puspa Kencana, memimpin langsung serangan yang berhasil mematahkan perlawanan Madiun. Pertempuran sengit ini menjadi titik balik yang memaksa Pangeran Timur mundur ke wilayah Wirasaba, meninggalkan istana dan putrinya, Raden Ayu Retno Dumilah.

Retno Dumilah, sebagai simbol perlawanan Madiun, tidak serta-merta menyerah. Dengan keberanian seorang satria, ia menantang Panembahan Senopati dalam duel yang berlangsung sehari semalam. Namun, Senopati yang dikisahkan memiliki kekuatan kebal akhirnya merangkul Retno Dumilah -sebuah simbol penaklukan sekaligus penyatuan. Retno Dumilah diboyong ke Mataram sebagai istri Senopati, mengakhiri riwayat kemerdekaan Madiun.

Pernikahan Politik dan Lahirnya Dinasti Baru

Pernikahan antara Panembahan Senopati dan Retno Dumilah tidak hanya menciptakan aliansi politik, tetapi juga menjadi cikal bakal lahirnya generasi penerus yang kelak membentuk dinasti Mataram. Dari pernikahan ini lahirlah Panembahan Juminah, yang kemudian menikah dengan Ratu Mas Adi, putri Pangeran Benowo dari Pajang. Keturunan mereka, termasuk Sultan Agung Hanyokrokusumo, menjadi pemimpin besar yang membawa Mataram ke puncak kejayaannya.

Pangeran Timur memiliki keturunan dari dua garwa, yakni Ratu Timoer dan Garwa Pangrembe. Dari pernikahannya dengan Ratu Timoer, Pangeran Timur dikaruniai tujuh anak, yaitu: Raden Ayu Retno Dumilah yang menikah dengan Panembahan Senopati, Raden Mas Lontang Hirawan, Raden Balap, Panembahan Hawuryan, Raden Ajeng Sulah, Raden Haryo Sumantri, dan Raden Haryo Kanoman. Sementara itu, dari Garwa Pangrembe, Pangeran Timur memiliki tiga belas anak, yakni: Raden Ayu Semi ing Kalinyamat, Raden Ayu Pengulu, Pangeran Adipati Atmowijaya, Raden Ayu Winongan, Raden Mas Kaputran, Raden Ayu Pandam, Panembahan Hawuryan, Raden Ayu Pasangi, Raden Mas Tangsang Hurawan, Raden Mangkurat Wiryawan ing Madiun, Raden Ayu Pamegatan, Raden Kakap, dan Raden Haryo Paningron. Dengan keturunan yang begitu banyak, garis keluarga Pangeran Timur menunjukkan pengaruh yang luas dalam struktur keluarga bangsawan pada masanya.

Jejak Panembahan Madiun: Dari Politik ke Budaya

Perlawanan Pangeran Timur dan kisah penaklukan Madiun oleh Mataram menjadi bagian penting dalam tradisi lisan dan budaya Jawa. Kisah ini diabadikan dalam tarian tradisional Bedhah Madiun, yang menggambarkan perjuangan rakyat Madiun melawan dominasi Mataram. Tari ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga menjadi simbol identitas dan kebanggaan masyarakat Madiun.

Makam Pangeran Timur sendiri berada di Kuncen, Kota Madiun, menjadi saksi bisu atas perjalanan panjangnya sebagai penguasa yang gigih mempertahankan daerahnya. Hingga kini, situs makam tersebut menjadi tempat ziarah yang dihormati oleh masyarakat, khususnya mereka yang menghargai sejarah perjuangan leluhur Jawa.

Warisan Sejarah dan Interpretasi Modern

Sejarawan seperti H.J. De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram menyebut Pangeran Timur sebagai figur penting dalam dinamika politik Jawa pasca-Demak. Ia bukan hanya simbol perlawanan lokal, tetapi juga representasi dari kompleksitas hubungan kekuasaan di masa transisi antara Pajang dan Mataram.

Keputusan Panembahan Senopati untuk menikahi Retno Dumilah juga menegaskan bagaimana strategi politik melalui perkawinan telah lama menjadi instrumen diplomasi di Jawa. Sejarawan modern melihat peristiwa ini bukan sekadar kisah romantis, tetapi sebagai bentuk kecerdikan politik yang efektif dalam memperluas kekuasaan.

Dalam narasi sejarah Jawa, Pangeran Timur diingat bukan hanya sebagai penguasa Madiun, tetapi juga sebagai simbol keteguhan seorang bangsawan Demak yang berdiri di persimpangan zaman. Di balik kekalahannya, ada warisan yang berlanjut melalui keturunannya, membentuk fondasi bagi dinasti Mataram dan menyebarkan pengaruhnya ke seluruh Jawa.

Kisah Pangeran Timur adalah potret dari masa di mana politik, perang, dan budaya saling berkelindan membentuk identitas Jawa. Sosoknya, yang berakar dari Demak, tumbuh di Pajang, dan akhirnya menjadi penguasa Madiun, mencerminkan kompleksitas sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Jejaknya abadi dalam sejarah, sastra, dan tradisi Jawa, mengingatkan kita akan dinamika kekuasaan dan perjuangan di masa lalu.

Warisan Pangeran Timur, melalui keturunannya dan kisah perlawanan Madiun, terus hidup sebagai pengingat tentang kejayaan sekaligus kerentanan sebuah kekuasaan dalam arus besar sejarah Jawa.

Exit mobile version