Beranda

Kisah Salikin M. Hardjo: Dari Malang, Melawan Ketidakadilan di Suriname

Kisah Salikin M. Hardjo: Dari Malang, Melawan Ketidakadilan di Suriname
Salikin M. Hardjo, pejuang pena dari Suriname. (ist)

INDONESIAONLINE – Kisah orang Jawa yang dijadikan kuli di Suriname oleh kolonial Belanda tidak hanya menceritakan derita penjajahan, tetapi juga kisah kebangkitan melawan ketidakadilan. Dalam alur sejarah ini, nama Salikin Mardi Hardjo (1910–1993) muncul sebagai salah satu tokoh penting.

Salikim bukan sekadar kuli kontrak, melainkan seorang pembela yang memperjuangkan hak-hak buruh melalui pena perlawanan.

Salikin lahir di Kepanjen, Malang, Jawa Timur, pada tahun 1910. Pada usia 10 tahun, ia dan keluarganya termasuk dalam rombongan 770 kuli kontrak yang dikirim Belanda dari Jawa Tengah ke Suriname. Ayahnya, Doelbasah, bekerja sebagai montir di industri bauksit Moengo. Berkat keterampilan sang ayah, keluarga ini menikmati sedikit privilese dibandingkan kuli kontrak lain yang hidup dalam kondisi memprihatinkan.

Namun, keistimewaan itu tidak membuat Salikin menutup mata terhadap penderitaan sesama. Didikan membaca dan menulis dari sang ayah serta kesempatan menamatkan sekolah dasar hingga ke tingkat MULO (setara SMP) menjadikannya salah satu orang Jawa terpelajar di Suriname.

Awal Kiprah Salikin: Dari Pecetakan ke Politik

Kecerdasan dan minat membaca Salikin berkembang pesat saat magang di percetakan. Di sana, ia membaca isu-isu politik dari tanah air, termasuk pemikiran-pemikiran Sukarno, dan berita tentang perdebatan di parlemen Belanda. Ketertarikannya terhadap politik dan keadilan sosial tumbuh dari pengamatan langsung atas ketidakadilan yang dialami kuli-kuli Jawa di perkebunan Suriname.

Salikin mulai menulis untuk surat kabar De Banier van Waarheid en Recht atau Panji Kebenaran dan Hukum, salah satu media terbesar di Suriname. Media ini dikenal kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda. Menggunakan nama samaran Bok Sark, ia menulis esai-esai pedas yang menggambarkan penderitaan buruh kontrak.

Dalam salah satu tulisannya, Salikin mengkritik kebijakan Gubernur Rutgers yang menurunkan upah kuli dari 80 menjadi 60 sen gulden per hari. Ia juga mengkritik Menteri Jajahan De Graaf yang menyetujui kebijakan tersebut. Tulisan-tulisan Bok Sark membuat pemerintah kolonial resah, tetapi identitasnya tetap menjadi misteri hingga bertahun-tahun kemudian.

Menjadi Aktivis Pergerakan

Pada tahun 1930-an, Salikin menjadi pegawai di Dinas Kesehatan Rakyat Suriname. Posisi ini memberinya akses lebih luas untuk memahami kondisi buruh kontrak, terutama yang terpapar penyakit akibat buruknya sanitasi di perumahan mereka. Namun, jabatan tersebut tidak membuatnya diam. Melalui tulisan-tulisannya, Salikin terus mengkritik kebijakan kolonial yang tidak berpihak pada buruh.

Sebagai penulis, ia terinspirasi oleh tokoh-tokoh pergerakan seperti Flora di tanah Sumatera, yang melalui tulisan-tulisannya di Pewarta Deli mengkritik kerja rodi dan pungutan pajak berat. Sama seperti Flora, Salikin menggunakan nama samaran untuk melindungi dirinya dari jeratan hukum kolonial.

Brieven uit Commewijne: Surat Perlawanan

Antara tahun 1932 hingga 1935, Salikin menulis 11 artikel yang diberi tajuk Brieven uit Commewijne (Surat-Surat dari Commewijne). Artikel-artikel ini diterbitkan sebagai serial dalam De Banier van Waarheid en Recht. Melalui tulisan ini, Salikin menggambarkan penderitaan buruh kontrak, kritik terhadap kebijakan kolonial, serta seruan untuk perbaikan nasib kuli Jawa.

Pemerintah kolonial mencoba mengidentifikasi penulis artikel tersebut, tetapi tidak berhasil. Baru pada tahun 1990-an, identitas Salikin sebagai Bok Sark terungkap melalui diskusi yang digelar di Weekkrant Suriname.

Gerakan Mulih nJowo dan Warisan Perjuangan

Pada tahun 1954, Salikin memprakarsai gerakan Mulih nJowo, yang bertujuan memulangkan orang-orang Jawa di Suriname ke tanah leluhur mereka. Namun, upaya ini tidak sepenuhnya berhasil karena banyak orang Jawa di Suriname telah menetap dan membangun kehidupan baru di tanah koloni.

Meski demikian, perjuangan Salikin tidak sia-sia. Ia telah membuka jalan bagi kesadaran kolektif orang Jawa di Suriname untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Tulisan-tulisan Salikin menjadi saksi sejarah yang menginspirasi generasi berikutnya.

Pena Sebagai Senjata

Salikin Mardi Hardjo adalah simbol perjuangan orang Jawa di perantauan. Dengan pena sebagai senjata, ia menghadapi ketidakadilan dan menantang kekuasaan kolonial.

Nama Salikin mungkin tidak sepopuler Iding Soemita, tokoh pergerakan Suriname lainnya. Getapi warisannya sebagai pembela buruh kontrak tetap abadi. Melalui Brieven uit Commewijne dan gerakan Mulih nJowo, ia menunjukkan bahwa perjuangan tidak selalu harus dilakukan dengan senjata. Kadang-kadang, kata-kata memiliki kekuatan yang jauh lebih dahsyat daripada senjata.

Exit mobile version