Kisah inspiratif Arfa dan Arkaan dari MAN 2 Kota Malang yang raih medali di Olimpiade Fisika Internasional (IPhO) 2025. Mengungkap rahasia di balik sukses madrasah.
INDONESIAONLINE – Di tengah gemerlap Menara Eiffel dan hiruk pikuk kota mode, dua nama dari Indonesia menggema di panggung sains paling bergengsi. Bukan dari sekolah elite ibu kota, melainkan dari koridor madrasah di Kota Malang. Muhammad Dakita Arfa Alfaritsi dan Arkaan Javier, dua siswa MAN 2 Kota Malang, baru saja menorehkan tinta emas dalam sejarah pendidikan Indonesia.
Mereka kembali dari ajang International Physics Olympiad (IPhO) 2025 di Paris, Prancis (18-24 Juli), dengan kepala tegak. Arfa berhasil mengalungkan medali perunggu, sementara Arkaan membawa pulang Honorable Mention. Ini bukan sekadar medali; ini adalah pernyataan tegas bahwa talenta sains dari madrasah kini menjadi kekuatan yang diperhitungkan di level global.
Jalan Terjal Menuju Panggung Dunia
Kemenangan di Paris bukanlah keajaiban semalam. Ia adalah puncak dari gunung es perjuangan yang telah ditempa bertahun-tahun. Jejak mereka dimulai dari medali perak di Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2024, sebuah gerbang yang membuka jalan ke arena yang lebih ganas.
“Prosesnya sangat panjang dan melelahkan,” ungkap Dra. Wulaidah, Ketua Olimpiade dan Riset MAN 2 Kota Malang.
“Pembinaan kami mulai sejak mereka di kelas X. Setiap pekan ada pertemuan rutin, try out berkala, hingga karantina intensif,” lanjutnya.
Dari ribuan peserta OSN, mereka harus berjuang masuk Pelatihan Nasional (Pelatnas). Pelatnas Tahap 2 menyaring 10 siswa fisika terbaik se-Indonesia. Di sinilah mental dan intelektual mereka diuji habis-habisan, hingga akhirnya Arfa dan Arkaan terpilih sebagai dua dari lima anggota tim inti yang mewakili Indonesia.
Kepala MAN 2 Kota Malang, Dr. H. Samsudin, M.Pd., melihat pencapaian ini sebagai buah dari sebuah ekosistem. “Alhamdulillah, ini hasil kerja keras kolektif. Ketekunan anak-anak, bimbingan guru yang tak kenal lelah, serta dukungan penuh dari komite dan keluarga besar madrasah. Ini membuktikan bahwa madrasah bukan lagi pilihan kedua, tapi pencetak juara,” tegasnya.
Seperti diketahui, International Physics Olympiad (IPhO) adalah kompetisi tahunan untuk siswa SMA paling prestisius di bidang fisika. Peserta diuji melalui dua babak: soal teori yang kompleks dan soal eksperimen yang menuntut ketelitian tinggi.
Menurut situs resminya, IPhO diikuti lebih dari 80 negara setiap tahunnya. Meraih medali di ajang ini setara dengan pengakuan sebagai salah satu talenta fisika muda terbaik di dunia.
Di Balik Medali: Kerendahan Hati dan Gigihnya Doa
Ditemui usai tiba di tanah air, raut lelah bercampur haru masih terpancar di wajah keduanya. Jauh dari kesan jumawa, Arfa mengaku masih tak menyangka.
“Rasanya masih seperti mimpi. Bisa membawa bendera Indonesia, nama Jawa Timur, dan almamater MAN 2 Kota Malang di Paris itu… sulit diungkapkan dengan kata-kata,” ucap Arfa dengan suara bergetar.
Arkaan menimpali, keberhasilan ini adalah kombinasi dari ikhtiar maksimal dan kekuatan doa. “Kami hanya berusaha sekuat tenaga, lalu berserah. Kami tidak pernah membayangkan bisa sampai di titik ini. Terima kasih tak terhingga untuk semua guru, keluarga, dan teman-teman yang doanya tak pernah putus,” ujarnya.
Kisah mereka adalah cerminan dua karakter utama yang disebut Wulaidah sebagai kunci sukses. “Arfa dan Arkaan itu sosok yang pantang menyerah dan sangat gigih. Mereka layak mendapatkan ini,” tambahnya.
Indonesia memiliki tradisi panjang meraih medali di IPhO sejak pertama kali berpartisipasi pada tahun 1993. Prestasi Arfa dan Arkaan melanjutkan legasi yang dibangun oleh Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI).
MAN 2 Kota Malang sendiri telah lama dikenal sebagai “madrasah para juara”, yang secara konsisten melahirkan pemenang di berbagai olimpiade sains tingkat nasional dan internasional, membuktikan sistem pembinaan mereka adalah salah satu yang terbaik di negeri ini.
Kemenangan Arfa dan Arkaan lebih dari sekadar angka di papan skor atau kilau medali. Ini adalah percikan api inspirasi bagi jutaan siswa lain di seluruh Indonesia, terutama mereka yang menimba ilmu di madrasah.
Kisah mereka membuktikan bahwa dengan ketekunan, sistem pendukung yang solid, dan kerendahan hati, batas-batas geografis dan stereotip dapat dipatahkan. Paris mungkin telah mereka taklukkan, namun perjalanan dua jenius fisika dari Malang ini baru saja dimulai.
Mereka telah menunjukkan jalannya; kini, giliran generasi berikutnya untuk mengikuti jejak, bahkan melampauinya (as/dnv).