Beranda

Raja Sawit RI: Menguak Hegemoni Taipan di Balik 16 Juta Hektare

Raja Sawit RI: Menguak Hegemoni Taipan di Balik 16 Juta Hektare
Ilustrasi (io)

INDONESIAONLINE – Di balik rimbunnya pelepah hijau yang membentang dari Sumatera hingga Papua, tersimpan narasi besar tentang kekayaan, kekuasaan, dan kendali ekonomi. Kelapa sawit, komoditas yang sering dijuluki “emas hijau”, telah menempatkan Indonesia di peta dunia sebagai produsen nomor satu.

Namun, di balik statistik makro yang membanggakan tentang devisa negara, terdapat realitas oligarki di mana segelintir nama besar menguasai jutaan hektare lahan melalui Hak Guna Usaha (HGU), mengonversi tanah menjadi pundi-pundi kekayaan yang fantastis.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 833 Tahun 2019 yang dimutakhirkan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Perkebunan terbaru, luas tutupan kelapa sawit Indonesia telah menembus angka psikologis 16,38 juta hektare.

Angka ini bukan sekadar luasan geografis; ini adalah bentang dominasi yang menggeser Malaysia dari takhta produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar sejak 2006. Dengan produksi mencapai lebih dari 47 juta ton per tahun, sawit menjadi tulang punggung ekspor non-migas nasional.

Namun, siapa sebenarnya yang menikmati kue terbesar dari industri raksasa ini? Struktur kepemilikan lahan sawit nasional menunjukkan ketimpangan yang menarik untuk dibedah: mayoritas dikuasai oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS), diikuti oleh Perkebunan Rakyat, dan porsi terkecil dipegang oleh Perkebunan Besar Negara (PBN/BUMN).

Para Naga di Kebun Sawit

Korelasi antara luas lahan dan akumulasi kapital terlihat jelas dalam daftar orang terkaya versi Forbes. Nama-nama yang bertengger di puncak piramida kekayaan Indonesia hampir selalu memiliki jejak di industri sawit.

Mereka bukan sekadar menanam pohon; mereka membangun imperium integrasi vertikal, dari hulu (perkebunan) hingga hilir (minyak goreng, biodiesel, dan oleokimia).

1. Martua Sitorus: Sang Raja Minyak dari Wilmar

Martua Sitorus adalah fenomena. Bersama Kuok Khoon Hong, ia membangun Wilmar International pada 1991 dari nol hingga menjadi raksasa agribisnis global. Strategi Wilmar yang memilih melantai di Bursa Efek Singapura (SGX) memberikan akses modal internasional yang masif.

Kekuatan Wilmar bukan hanya pada luas lahan yang mencapai ratusan ribu hektare di Indonesia dan Malaysia, tetapi pada rantai pasoknya. Mereka menguasai industri penyulingan (refinery) dan distribusi.

Merek minyak goreng seperti Fortune dan Sania yang membanjiri pasar domestik adalah bukti dominasi hilir mereka. Data Forbes 2025 yang menaksir kekayaannya di angka 3,5 miliar Dolar AS (sekitar Rp54 triliun) adalah cerminan dari betapa menguntungkannya bisnis mengolah CPO menjadi produk bernilai tambah.

2. Anthony Salim: Warisan dan Ekspansi Agresif

Grup Salim tidak hanya tentang mi instan. Di bawah bendera Indofood Agri Resources Ltd., Anthony Salim mengoperasikan mesin uang yang tak kalah besar di sektor perkebunan. Melalui entitas anak usaha seperti PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), Grup Salim mengamankan pasokan bahan baku untuk produk minyak goreng legendaris mereka, Bimoli.

Langkah strategis Salim dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pola akuisisi yang agresif. Mereka tidak lagi sekadar membuka lahan baru, tetapi membeli perusahaan sawit yang sudah beroperasi untuk mempercepat produksi. Ini adalah strategi consolidation of power yang efektif di tengah semakin terbatasnya izin pembukaan lahan baru (moratorium) di wilayah barat Indonesia.

3. Keluarga Widjaja: Dinasti Sinar Mas

Mendiang Eka Tjipta Widjaja meninggalkan warisan yang sangat kokoh di sektor agribisnis melalui Golden Agri-Resources Ltd, induk usaha sawit Sinar Mas. Generasi kedua dan ketiga keluarga Widjaja kini mengelola salah satu bank tanah (land bank) terbesar di dunia.

Kekuatan Sinar Mas terletak pada efisiensi dan teknologi agronomi. Produk turunan mereka, mulai dari minyak goreng Filma hingga bahan baku margarin dan biodiesel, diekspor ke puluhan negara. Kestabilan harga CPO global menjadi katalis utama yang menjaga posisi keluarga Widjaja tetap berada di jajaran elit kekayaan nasional selama puluhan tahun.

4. Bachtiar Karim: Raksasa Senyap Musim Mas

Berbeda dengan Salim atau Sinar Mas yang sering menjadi sorotan ritel, Grup Musim Mas yang dikendalikan Bachtiar Karim bermain sangat kuat di sektor oleokimia dan biodiesel global. Berpusat di Medan, Sumatera Utara, Musim Mas adalah salah satu perusahaan pertama yang mendapatkan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah langkah strategis untuk menembus pasar Eropa yang ketat.

Dengan kekayaan yang dicatat Forbes 2022 mencapai 1,7 miliar Dolar AS, Bachtiar Karim membuktikan bahwa fokus pada keberlanjutan dan pasar ekspor produk turunan bernilai tinggi (seperti sabun dan bahan kimia sawit) adalah ladang emas yang tak kalah menggiurkan dibanding sekadar menjual CPO mentah.

5. Sukanto Tanoto: Diversifikasi RGE

Sukanto Tanoto, pendiri Royal Golden Eagle (RGE), adalah contoh sempurna konglomerasi modern. Melalui Asian Agri dan Apical, ia mengamankan posisi di hulu dan hilir sawit. Asian Agri dikenal dengan pola kemitraan petani plasmanya yang luas, sebuah strategi yang secara sosial-politik mengamankan operasional perusahaan di tengah masyarakat.

Sementara itu, Apical Group fokus pada pemrosesan, memastikan bahwa setiap tetes CPO yang dihasilkan kebun dapat diolah menjadi margin keuntungan maksimal sebelum diekspor. Kekayaan 3,7 miliar Dolar AS (Forbes 2025) menegaskan suksesnya diversifikasi bisnis Sukanto yang juga merambah industri bubur kertas (pulp and paper) lewat APRIL Group.

Hilirisasi dan Tantangan Masa Depan

Kekayaan para taipan ini diprediksi akan semakin menggelembung seiring dengan kebijakan pemerintah yang gencar mendorong hilirisasi. Program mandatori Biodiesel (B35 hingga rencana B40) menciptakan pasar domestik yang “terjamin” bagi perusahaan-perusahaan raksasa ini.

Mereka tidak lagi sepenuhnya bergantung pada fluktuasi harga pasar global karena Pertamina, sebagai off-taker biodiesel, wajib menyerap produk mereka.

Namun, hegemoni ini bukan tanpa celah. Isu lingkungan, terutama deforestasi, menjadi batu sandungan utama di pasar internasional. Regulasi Uni Eropa yang baru, European Union Deforestation Regulation (EUDR), mengancam ekspor produk sawit yang berasal dari lahan hasil deforestasi. Ini memaksa para konglomerat untuk mengubah model bisnis mereka menjadi lebih “hijau”.

Selain itu, ekspansi ke arah Timur, khususnya Papua, menimbulkan gesekan sosial baru. Jika pola penguasaan lahan ribuan hektare di Sumatera dan Kalimantan direplikasi mentah-mentah di Papua tanpa memperhatikan hak masyarakat adat, potensi konflik agraria akan menjadi bom waktu.

Di sisi lain, nasib petani sawit rakyat yang menguasai sekitar 40% total lahan sawit nasional seringkali kontras dengan kemewahan para taipan. Petani kecil kerap bergulat dengan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang fluktuatif, mahalnya pupuk, dan sulitnya akses sertifikasi lahan (ISPO/RSPO).

Pada akhirnya, industri kelapa sawit Indonesia adalah paradoks. Ia adalah penyumbang devisa terbesar, pencipta lapangan kerja bagi 16 juta orang, dan sumber kekayaan fantastis bagi segelintir konglomerat. Namun, ia juga membawa pekerjaan rumah besar tentang pemerataan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan kedaulatan pangan.

Apakah “emas hijau” ini akan terus memakmurkan segelintir elit, atau bisa menetes lebih deras ke rakyat banyak? Waktu dan kebijakan pemerintahlah yang akan menjawabnya. Yang pasti bencana banjir bandang dan longsor terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia yang menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Exit mobile version