Beranda

Majapahit, Awal Kemunduran Kerajaan Terbesar Nusantara karena Perang Paregreg

Majapahit, Awal Kemunduran Kerajaan Terbesar Nusantara karena Perang Paregreg
Ilustrasi Perang Paregreg yang terjadi di Kerajaan Majapahit. (foto: AI)

INDONESIAONLINE  – Kerajaan terbesar yang ada di bumi Nusantara adalah Majapahit. Kerajaan ini mencapai puncak keemasan di zaman Prabu Hayam Wuruk yang dibantu Mahapatih Gajah Mada. Wilayah kekuasaannya tidak hanya mencakup Indonesia sekarang ini, tetapi Asia Tenggara dan Australia bagian barat.

Majapahit mulai menapaki jalan kemunduran sejak akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15. Dinamika politik internal, konflik suksesi, serta bangkitnya kekuatan-kekuatan baru di pesisir utara Jawa dan Sumatera menjadi faktor utama yang menggoyahkan stabilitas kerajaan. Salah satu titik balik dalam sejarah Majapahit adalah Perang Paregreg, sebuah perang saudara yang berkecamuk antara tahun 1401 hingga 1405 Masehi.

Konflik ini tidak hanya menguras sumber daya militer dan ekonomi, tetapi juga menandai perpecahan di tubuh elit Majapahit. Situasi ini mengakibatkan melemahnya kendali pusat atas daerah-daerah taklukan. Setelah perang berakhir, Majapahit dihadapkan pada serangkaian pemberontakan dan intrik istana yang semakin menggerogoti kewibawaan kerajaan.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam awal kemunduran Majapahit dalam perspektif historiografi, dengan menelusuri akar konflik politik dan dampaknya terhadap kelangsungan kerajaan.

Perang Paregreg: Perpecahan dalam Dinasti

Perang Paregreg terjadi akibat sengketa suksesi antara Prabu Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi, saudara iparnya. Bhre Wirabhumi, yang menguasai wilayah timur Majapahit, menuntut hak atas takhta setelah wafatnya Ratu Kusumawardhani. Persaingan ini berujung pada perang yang berlangsung dalam periode yang tersendat-sendat. Masing-masing pihak berusaha mengumpulkan kekuatan dan strategi.

Dalam catatan sejarah, Bhre Wirabhumi akhirnya kalah dan melarikan diri menggunakan perahu pada malam hari. Namun, ia dikejar oleh Bhre Narapati, yang kemudian menangkap dan memenggal kepalanya. Kepala Bhre Wirabhumi dibawa ke Majapahit dan dicandikan di Lung, sebuah tempat yang dikenal dengan nama Grisapura.

Perang Paregreg tidak hanya menyebabkan kehancuran di internal istana, tetapi juga memengaruhi hubungan Majapahit dengan kekuatan asing. Sebanyak 170 prajurit dari armada Laksamana Cheng Ho, yang saat itu sedang berada di Blambangan, tewas dalam konflik ini akibat kesalahpahaman. Insiden ini membuat kaisar Dinasti Ming di China menuntut ganti rugi sebesar 60.000 tail emas. Namun, Wikramawarddhana hanya mampu membayar 10.000 tail emas dan sisanya dibebaskan oleh kaisar Cina.

Pemberontakan di Daerah dan Disintegrasi Kekuasaan

Setelah Perang Paregreg berakhir, Majapahit tidak serta-merta kembali stabil. Justru, perpecahan semakin meruncing dengan meletusnya berbagai pemberontakan di wilayah-wilayah yang sebelumnya tunduk kepada kerajaan. Salah satu pemberontakan besar terjadi di Bali, yang akhirnya ditumpas oleh Arya Damar, seorang panglima dari Palembang.

Selain Bali, pemberontakan di Pasunggiri dan Bhre Daha juga mengguncang stabilitas kerajaan. Bhre Daha, yang merupakan putra Bhre Wirabhumi, bahkan sempat merebut istana Majapahit pada tahun 1434 M. Keadaan ini menunjukkan betapa lemahnya otoritas pusat dalam mengendalikan para penguasa daerah yang mulai berani menentang Majapahit.

Di bawah pemerintahan Rani Suhita, kekuatan Majapahit semakin terfragmentasi. Intrik politik dan penyingkiran tokoh-tokoh kuat semakin memperburuk kondisi kerajaan. Mahapatih Tuan Kanaka, yang telah berjasa besar sejak tahun 1410 M, tiba-tiba diberhentikan tanpa alasan yang jelas pada tahun 1430 M. Nasib serupa menimpa Bhre Narapati, yang berjasa dalam menumpas Bhre Wirabhumi, tetapi kemudian dihukum mati pada tahun yang sama.

Arya Damar, yang telah membuktikan keberaniannya dalam menumpas pemberontakan, juga disingkirkan ke Palembang. Padahal, pada saat itu, Palembang bukan lagi wilayah yang aman karena telah menjadi sarang bajak laut China.

Keputusan untuk menyingkirkan tokoh-tokoh penting ini semakin mempercepat proses disintegrasi Majapahit.

Sri Kertawijaya dan Pengaruh Islam di Majapahit

Setelah wafatnya Rani Suhita pada tahun 1447 M, takhta Majapahit dipegang oleh adiknya, Sri Kertawijaya, yang dalam Babad Tanah Jawi dikenal sebagai Prabu Brawijaya V. Ia tercatat sebagai raja Majapahit pertama yang secara terbuka menunjukkan kedekatan dengan komunitas Islam. Dua istrinya berasal dari Campa dan China, yang keduanya merupakan pemeluk Islam.

Sejumlah putra Kertawijaya juga dikenal sebagai tokoh Muslim yang berperan penting dalam sejarah. Di antara mereka adalah Arya Damar, yang menjadi adipati Palembang; Raden Arak-kali Bhattara Katong, adipati Ponorogo; Arya Lembu Peteng, adipati Pamadegan; Arya Menak Koncar, adipati Lumajang; Raden Patah, adipati Demak; Raden Bondan Kejawen, yang juga dikenal sebagai Kiai Ageng Tarub II; serta Raden Dhandhun Wangsaprana, yang dikenal sebagai Syekh Belabelu.

Dalam pemerintahannya, Kertawijaya memberikan peluang bagi kaum Muslim untuk memegang jabatan penting. Arya Teja diangkat menjadi adipati Tuban.  Sementara Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) diberi kedudukan sebagai imam di Surabaya.

Keterbukaan ini menandai semakin kuatnya pengaruh Islam di lingkungan kerajaan.

Menjelang Perang Suksesi: Tanda-Tanda Keruntuhan

Sri Kertawijaya mangkat pada tahun 1451 M dan dimakamkan di Kertawijayapura, yang oleh sebagian kalangan diyakini sebagai makam Prabu Damarwulan. Sepeninggalnya, Majapahit segera jatuh ke dalam perang suksesi yang berkepanjangan.

Dyah Wijayakumara (Bhre Pamotan) naik takhta sebagai Sri Rajasawarddhana, tetapi penobatannya dilakukan di Keling-Kahuripan, bukan di pusat Majapahit. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan pusat telah melemah dan raja baru tidak memiliki legitimasi penuh.

Tidak lama setelah naik takhta, Sri Rajasawarddhana kehilangan kewarasannya dan akhirnya meninggal dengan cara melompat ke laut.

Selama tiga tahun setelah kematiannya, Majapahit mengalami kekosongan kepemimpinan (telung taun tan hang prabhu). Situasi ini menandai semakin besarnya ketidakstabilan internal. Para bangsawan dan pangeran bersaing untuk merebut kekuasaan.

Pada tahun 1456 M, Bhre Wengker naik takhta dengan gelar Hyang Purwawisesa. Ia mencoba melanjutkan kebijakan ayahnya dengan mengakomodasi komunitas Muslim di kerajaan. Namun, kebijakannya menimbulkan ketegangan dengan para bangsawan Hindu-Buddha yang masih dominan di lingkungan istana.

Hyang Purwawisesa berkuasa selama sepuluh tahun sebelum akhirnya mangkat pada tahun 1466 M. Ia digantikan oleh putranya, Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa, yang naik takhta sebagai Sri Singhawikramawarddhana. Namun, kepemimpinannya hanya bertahan selama dua tahun karena konflik internal semakin tak terkendali.

Menuju Keruntuhan

Perang Paregreg menjadi titik balik yang membuka pintu bagi kemunduran Majapahit. Perpecahan internal, intrik politik, serta kebangkitan Islam sebagai kekuatan baru mempercepat kehancuran kerajaan.

Perang Paregreg harus dipahami bukan sekadar konflik suksesi dalam bingkai dinasti, tetapi sebagai manifestasi dari krisis struktural yang melanda Majapahit pada paruh awal abad ke-15. Dalam perspektif historiografi modern, perang saudara ini mencerminkan melemahnya institusi kerajaan yang tidak mampu lagi menjadi payung penengah di antara faksi-faksi bangsawan yang saling berebut pengaruh. Ketiadaan mekanisme suksesi yang mapan serta makin dominannya kepentingan pribadi di atas kepentingan negara mempercepat fragmentasi kekuasaan.

Kemunduran Majapahit tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan sebagai proses bertahap yang ditandai oleh gejala disintegrasi teritorial, delegitimasi kekuasaan pusat, serta transformasi sosial-politik yang ditandai dengan bangkitnya elit baru, termasuk para adipati Muslim pesisir. Fenomena ini sejalan dengan teori transisi kekuasaan dalam masyarakat agraris-maritim yang mengalami tekanan internal dan eksternal secara simultan. Di satu sisi, tekanan internal berupa intrik dan pemberontakan telah melumpuhkan birokrasi istana. Di sisi lain, kekuatan baru yang lahir di wilayah pesisir seperti Tuban, Gresik, dan Demak mulai merebut legitimasi melalui dukungan massa urban dan jaringan perdagangan Islam yang semakin menguat di Asia Tenggara.

Dengan demikian, Perang Paregreg dan dampaknya bukan hanya sebagai episode kelam dalam sejarah dinasti Majapahit, tetapi juga sebagai penanda pergeseran paradigma kekuasaan di Jawa. Dari pola kekuasaan terpusat berbasis agraris-istana, Majapahit perlahan-lahan digantikan oleh kekuatan baru berbasis maritim dan religius, yang kelak menjadi fondasi bagi kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

Sejarah pun mencatat bahwa kehancuran suatu imperium besar sering  diawali bukan oleh invasi asing, tetapi oleh ketidakmampuan internal dalam mengelola keberagaman dan perbedaan. Majapahit salah satu contohnya. (ar/hel)

Exit mobile version