Beranda

Kesultanan Pajang Jembatan Kejayaan Demak dan Lahirnya Mataram, Jaka Tingkir Pimpin Jawa dari Pedalaman

Kesultanan Pajang Jembatan Kejayaan Demak dan Lahirnya Mataram, Jaka Tingkir Pimpin Jawa dari Pedalaman
Ilustrasi Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya memimpin rapat. (foto ilustrasi dibuat jtn group)

INDONESIAONLINE – Kesultanan Pajang tampil sebagai sebuah entitas politik yang kompleks, menjembatani masa kejayaan Demak dan kemunculan kekuatan baru di Mataram dalam panorama sejarah Jawa abad ke-16.

Masa-masa puncaknya tidak saja ditandai oleh perluasan pengaruh ke seluruh wilayah Jawa, tetapi juga oleh bagaimana otoritas pusat berusaha mendefinisikan ulang relasi kuasa antar-kerajaan pesisir dan pedalaman. Ini adalah masa ketika Jawa, sebagai suatu lanskap politik dan budaya, dikonstruksi ulang oleh ambisi seorang penguasa yang disebut sebagai “kaisar Jawa” — sebuah istilah yang digunakan oleh pengamat asing untuk menggambarkan superioritas kekuasaan yang terpusat di pedalaman, tepatnya di Pajang.

Francis Drake, pelaut Inggris yang dalam perjalanannya singgah di Blambangan tahun 1580, melaporkan bahwa seluruh tanah Jawa dibagi antara sejumlah raja yang semuanya tunduk kepada satu penguasa utama. Meskipun nama penguasa itu tidak disebutkan secara eksplisit, keterangan ini memperkuat kesan bahwa pada saat itu terdapat satu kekuatan sentral yang diakui secara luas. Tidak mungkin ini adalah Senapati Mataram -waktunya terlalu awal. Dengan demikian, besar kemungkinan sosok yang dimaksud adalah Raden Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, penguasa Kesultanan Pajang yang berhasil menaklukkan dan menguasai sejumlah kerajaan pesisir di Pulau Jawa.

Data ini mendapat penguatan dari sumber Portugis, terutama Diego de Couto yang melanjutkan karya monumental Diogo do Banos dalam Da Asia. Dalam karya Decada IV, Couto menyebutkan perjalanan Francisco de Sá ke Jawa tahun 1528. Meskipun narasi yang ditulisnya tidak merefleksikan keadaan tahun 1528 secara akurat, melainkan kondisi yang jauh lebih mutakhir, ia memberikan gambaran penting tentang konfigurasi kekuasaan di Jawa. Dalam penuturannya, disebutkan adanya beberapa penguasa pesisir yang tunduk kepada kekuasaan yang lebih tinggi. Ketika menyebut Pajang (Paniao), de Couto menulis bahwa rajanya tinggal di pedalaman, kira-kira tiga puluh leguas (sekitar 185 km dari pesisir), dan bahwa ia bertindak sebagai “kaisar atas para raja lainnya.” Ini adalah deskripsi yang bukan saja menunjukkan posisi sentral Pajang dalam jaringan kekuasaan Jawa saat itu, tetapi juga menegaskan adanya hirarki politik yang diakui bahkan oleh sumber-sumber asing.

Namun, daftar penguasa yang disebut oleh de Couto tampaknya tidak selalu akurat. Ia menyebut Banten dan Indragiri, dua wilayah yang tidak pernah berada di bawah dominasi Pajang. Sebaliknya, kota-kota penting seperti Surabaya dan Cirebon justru tidak disebutkan. Hal ini bisa dimengerti mengingat sumber informasi de Couto berasal dari Portugis di Malaka, yang akses dan akurasinya mengenai keadaan internal Jawa tentu terbatas.

Meski demikian, gambaran tentang Pajang sebagai pusat kekuasaan yang hegemonik bukanlah ilusi belaka. Fakta bahwa Ratu Kalinyamat dari Jepara, misalnya, masih mampu bertindak otonom pada tahun 1574 menunjukkan bahwa pengaruh Pajang memang tidak absolut. Demikian pula dengan Demak, yang pada tahun 1564 masih menyandang gelar “Kaisar Jawa” dalam komunikasi diplomatiknya dengan Kesultanan Aceh. Dalam sebuah kisah yang diceritakan kembali oleh Couto, Sultan Aceh mengirim utusan untuk mengajak Raja Demak melakukan serangan gabungan terhadap Malaka. Namun sang raja menolak dan bahkan membunuh utusan tersebut, karena takut Aceh akan mendominasi kawasan setelah merebut Malaka.

Tindakan ini, meskipun brutal dan secara politik tampak keliru, membuka perdebatan historiografis tentang siapa sebenarnya aktor utama di balik kejadian itu. Apakah benar itu Raja Demak, ataukah sesungguhnya Sultan Hadiwijaya dari Pajang yang sedang mempertahankan hegemoninya atas Jawa? Dalam perspektif pan-Islamisme saat itu, tindakan menghina utusan dari Aceh — kerajaan Islam yang prestisius dan agresif — adalah langkah yang tidak populer. Karena itu, masuk akal jika pelaku sebenarnya adalah penguasa Pajang yang berupaya menunjukkan kapasitasnya sebagai penentu arah politik Jawa, baik dalam maupun luar negeri.

Di balik gambaran tersebut, terdapat dinamika internal yang tidak kalah menarik. Pajang bukan hanya berusaha menguasai wilayah, melainkan juga merekonstruksi jaringan legitimasi warisan Demak. Dengan menempatkan kerabat dan tokoh-tokoh loyal di berbagai wilayah strategis seperti Jepara, Gresik, dan Tuban, Sultan Hadiwijaya membangun struktur pemerintahan yang tidak jauh berbeda dari sistem vassalage ala Eropa: hubungan feodal antara pusat dan daerah-daerah pengikut.

Namun, tekanan demi tekanan dari para adipati pesisir, khususnya Surabaya dan Madura, serta munculnya kekuatan baru di pedalaman Mataram di bawah pimpinan Senapati, perlahan-lahan meruntuhkan dominasi Pajang. Setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya, konflik suksesi dan krisis otoritas kian memperlemah pusat kekuasaan. Demak yang sempat “berkibar kembali” setelah kejatuhan Pajang, ternyata tidak memiliki daya tahan politik dan militer untuk kembali menguasai Jawa.

Dalam pandangan historiografi modern, fase puncak Pajang seolah menjadi babak antara yang menjembatani dua zaman besar: Islamisasi dan desentralisasi politik era Demak, serta konsolidasi dan sentralisasi yang dilakukan oleh Mataram. Pajang adalah kerajaan yang tumbuh dari sisa-sisa Demak, berusaha mengontrol jalur niaga dan kekuasaan pesisir, namun harus berhadapan dengan realitas geografi, kekuatan otonom lokal, dan munculnya pesaing baru dari pedalaman.

Pengaruh Pajang tidak hanya terbatas pada bidang politik. Secara budaya dan sosial, Pajang juga menjadi pusat penyebaran Islam yang lebih terstruktur, terutama melalui peran para ulama yang dekat dengan istana. Dalam hal ini, warisan spiritual dari Demak masih dipertahankan, namun disesuaikan dengan strategi konsolidasi kekuasaan Hadiwijaya. Legenda, mitos, dan simbol kekuasaan diproduksi ulang untuk menguatkan posisi Pajang sebagai “kaisar” atas tanah Jawa.

Pada akhirnya, puncak kejayaan Pajang adalah refleksi dari sebuah ambisi besar untuk menyatukan Jawa dalam satu kepemimpinan tunggal. Walau hanya bertahan singkat, upaya ini tercatat dalam kesaksian para pelaut dan penulis asing, serta dalam narasi-narasi lokal yang berkembang hingga kini. Seperti kerajaan-kerajaan besar lainnya di dunia, Pajang berdiri di antara mitos dan sejarah, di antara klaim universalitas dan kenyataan fragmentasi kekuasaan.

Dan dari reruntuhan kejayaan inilah, Mataram bangkit, membawa serta warisan simbolik dan politis Pajang menuju babak baru sejarah Jawa yang lebih terpusat dan ekspansif.

Berikut narasi historiografi lengkap mengenai Sultan Hadiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang:

Jaka Tingkir Menjadi Raja: Lahirnya Kesultanan Pajang

“Cinarita Jumungah marêngi lingsir wêngi saking lèr kang cahya…”
Demikian bait Asmaradana dari Babad Tanah Jawi menggambarkan datangnya Wahyu Keraton kepada Raden Jaka Tingkir, pertanda akan lahir seorang raja besar penerus tahta Jawa. Sosok itu adalah Sultan Hadiwijaya, yang dalam sejarah dikenal sebagai pendiri Kesultanan Pajang, sebuah kelanjutan penting dari Kesultanan Demak dan cikal bakal kerajaan-kerajaan besar di tanah Jawa sesudahnya.

Sultan Hadiwijaya lahir dengan nama Mas Karebet pada tanggal 18 Jumadilakhir tahun Dal, dalam mongso Kawolu. Ia merupakan putra dari Raden Kebo Kenanga, atau Ki Ageng Pengging, penguasa wilayah Pengging, dan Rara Alit, putri Pangeran Gugur, yang merupakan putra Prabu Brawijaya V dari Majapahit. Ki Ageng Pengging sendiri adalah putra Prabu Andayaningrat dari pernikahannya dengan Retno Pembayun, putri Prabu Brawijaya V dan Dewi Dwarawati dari Kerajaan Champa. Dengan demikian, darah Majapahit mengalir kuat dalam diri Sultan Hadiwijaya.

Namun, kehidupan Mas Karebet tak dimulai dengan kemewahan. Pada usia dua tahun, ia menjadi yatim piatu setelah ayahnya gugur dalam serangan pasukan Demak ke Pengging. Ki Ageng Pengging wafat tertusuk keris Sunan Kudus, dan sang ibu wafat 40 hari kemudian. Ia kemudian diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir dan dikenal dengan nama Jaka Tingkir.

Sejak muda, Jaka Tingkir dikenal sebagai sosok yang teguh dalam laku tapa. Ia mendalami ilmu batin dan kebatinan kepada sejumlah guru besar masa itu, di antaranya Ki Ageng Selo, Sunan Kalijaga, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, Ki Adirasa, dan Ki Buyut Banyubiru. Dalam laku spiritualnya itulah, para guru dan tokoh sezaman meyakini bahwa Jaka Tingkir adalah sosok terpilih yang kelak akan menjadi raja besar di tanah Jawa.

Dengan nama Rahadyan Jaka Tingkir, ia memasuki Kesultanan Demak dan memulai karier sebagai prajurit Tamtama. Kepiawaiannya membuatnya naik menjadi Lurah Wira Tamtama, lalu diangkat sebagai pengawal pribadi Sultan Trenggana. Setelah sempat terlibat dalam kesalahpahaman dan diusir dari istana, Jaka Tingkir kembali berkat pembuktian dirinya dan diangkat menjadi Adipati Pajang, setelah menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana dari garis keturunan Sunan Kalijaga.

Pasca wafatnya Sultan Trenggana dan krisis dalam Kesultanan Demak, pada tahun 1458 M, Sunan Giri Prapen bersama Sunan Kalijaga menobatkan Adipati Jaka Tingkir menjadi raja baru dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, mendirikan Kesultanan Pajang sebagai penerus tahta Demak. Peristiwa ini dikenal dalam candrasengkala “1503 Dahana Muluk Barat Nempuh Wani”.

Sultan Hadiwijaya memerintah selama 32 tahun dan membawa Kesultanan Pajang ke dalam periode stabil setelah konflik Demak. Ia terkenal sebagai raja yang arif, cakap dalam militer, dan cermat dalam menjalin relasi dengan para bangsawan dan ulama. Di bawah kepemimpinannya, Pajang menjadi pusat kekuasaan politik dan keagamaan Islam di tanah Jawa.

Dari pernikahannya dengan Ratu Mas Cempaka, Sultan Hadiwijaya dikaruniai tujuh putra dan putri, yakni Ratu Mas Pambayun yang menetap di Ngarisbaya, Ratu Mas Kumelut di Tuban, Ratu Mas Adipati di Surabaya, Ratu Mas Banten yang menikah dengan Ki Juru Martani, serta Ratu Mas Jepara yang menjadi istri Arya Pangiri, putra Sunan Prawata. Dua putranya, Pangeran Benawa dan Pangeran Sindusena, juga lahir dari pernikahan ini. Di antara mereka, Pangeran Benawa kemudian menggantikan ayahandanya sebagai Sultan Pajang, meskipun hanya memerintah selama satu tahun. Setelah itu, ia dikisahkan menghilang dan, menurut legenda, hidup sebagai seorang wali yang menyebarkan agama Islam dengan berkeliling Pulau Jawa untuk berdakwah.

Sultan Hadiwijaya adalah sosok kunci dalam transisi kekuasaan dari Kesultanan Demak ke Pajang, dan dari Pajang ke Mataram. Melalui jalur pernikahan dan keturunan, darahnya tersambung kepada Kanjeng Ratu Mas Hadi, permaisuri Panembahan Hanyakrawati, raja kedua Kesultanan Mataram. Dari garis inilah kemudian lahir Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar Mataram, yang mewarisi legitimasi Wahyu Keraton dari Pajang. Maka tidak berlebihan jika sejarah mencatat bahwa dari Sultan Hadiwijaya-lah lahir para raja besar di tanah Jawa. Ia bukan sekadar pendiri Kesultanan Pajang, tetapi juga pemegang estafet kekuasaan Islam Jawa setelah runtuhnya Demak. (ar/hel)

Exit mobile version