Menyoal Politik Kesejahteraan di Malang Raya

“Bangsa Indonesia telah berjanji pada diri sendiri untuk bekerja mencapai suatu dunia yang lebih baik, suatu dunia yang bebas dari sengketa dan ketegangan, suatu dunia dimana anak-anak dapat tumbuh dengan bangga dan bebas, suatu dunia dimana keadilan dan kesejahteraan berlaku untuk semua orang. Adakah suatu bangsa yang menolak janji semacam itu?” Ir. Sukarno

Pembicaraan tentang kesejahteraan (welfare) sebetulnya telah menjadi hal klasik karena dalam rentang waktu yang panjang kesejahteraan warga telah diangkat oleh banyak pihak; dari para pendiri bangsa sampai pada dijadikanya topik ini sebagai isyu kampanye politik disegala levelnya. Namun pada faktanya kondisi tidak sejahtera atau miskin masih nyata adanya ditengah-tengah kita.

Berdasarkan data BPS tahun 2021 angka kemiskinan untuk Malang Raya, kabupaten Malang ada dikisaran 10,50 %, Kota Malang 4,62% dan Kota Batu 4,09%. Khusus kabupaten Malang jika dilihat persentase angka kemiskinan di Jawa Timur bukan yang tertinggi, tetapi apabila melihat satuan jumlah penduduk angka kemiskinan absolut tertinggi di Jawa Timur yakni setara 276.58 jiwa. Angka kemiskinan di kabupaten Malang lebih tinggi dari jumlah penduduk; Kota Blitar, Kota Probolinggo, Kota Pasuruan, Kota Mojokerto,Kota Madiun dan Batu secara keseluruhan. Angka Kemiskinan di Kabupaten Malang juga dapat dikatakan konsisten berada diatas 10% sejak tahun 2011, kecuali di tahun 2019 yang sempat berada diangka 9,47% sebelum kembali ke angka 10,5%.

Banyak penjelasan yang dikemukan untuk merasionalisasi fakta kemiskinan ini, dari yang bersifat personal, seperti mentalitas miskin, kondisi kekurangan (deprivation) sejak lahir menyebabkan yang bersangkutan terjerembah dalam jurang kemiskinan tanpa bisa keluar. Ada pula yang mengajukan variabel eksternal sebagai penyebab, seperti faktor alam (natural caused), pandemi Covid-19 serta rendahnya angka pertumbuhan sehingga serapan tenaga kerjapun menjadi rendah.

Namun seberapa pun argumentasi yang muncul, tentu tidak bisa menampik betapa Negara harus hadir secara lebih serius untuk menangani masalah ini, karena sudah jelas bahwa kesejahteraan warga menjadi salah satu tujuan Indoneisa didirikan (Preambule UUD 1945). Bahkan Pasal 34 UUD menyebut (1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

 

Where We begin?

Berangkat dari pandangan bahwa suatu kondisi kemiskinan berpotensi menyebabkan kemiskinan selanjutnya bahkan dalam jumlah yang bertambah (poverty circle). Kahmi Forum memandang perlunya intervensi pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah di Malang Raya), disamping karena hal tersebut telah menjadi amanah konstitusi, lebih dari ketidak berhasilan menaikan taraf hidup masyarakat kepada jenjang yang lebih baik dapat membuat kita bertanya-tanya seberapa serius pemerintah mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Tidak hanya bagi pemkab Malang, bagi Kota Malang dan Kota Batu pun kerja-kerja menangani problem kemiskinan tidak kalah pentingnya, ditengah derap kemajuan dua kota ini, angka 4% merupakan angka besar. Sementara itu, Kota Malang juga sudah semestinya untuk menyegerakan penurunan angka kesenjangan (Gini rasio) yang saat ini berada dikisaran 0,41 yang merupakan angka kesenjangan tertinggi di jawa Timur. Persoalan di tiga daerah ini diharapkan ditangani sungguh-sungguh sehingga dalam beberapa waktu kedepan kita dapat melihat perbaikan yang nyata di lapangan.

Dalam diskursus  kahmi Forum ada beberapa rekomedasi yang layak untuk dipertimbangkan guna penanganan masalah ini; pertama, dengan melakukan akurasi dan pengkayaan data, idealnya kategori kemiskinan tidak saja dilihat dari standart belanja, misalnya standar Bank dunia yakni 2 dolar perhari. Namun perlu ditelisik juga variabel-variabel lain seperti pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain-lain di validasi lebih tajam sehingga dapat dirumuskan model intervensi yang dilakukan.

Kedua, pendekatan penyelesain masalah hendaknya komprehensif, karena dalam banyak kasus kemiskiman merupakan akumulasi dari beragam kondisi sehingga tidak dapat dipecahkan dengan parsial misalnya hanya dengan memberikan Bantuan Tunai Langsung (BLT) tanpa dibarengi juga  menyelesaikan masalah-masalah lainya. Jadi tidak menutup kemungkinan penangan satu kasus saja melibatkan banyak pihak, misalnya PUPR untuk perumahan, dinas pendidikan untuk pendidikan, dinas UMKM untuk keterampilan kerja, Bank Daerah untuk permodalan bahkan pemerinta dapat juga merekomendasi penanganan pada pihak lain seperti Lagzis, CSR perusahaan, lembaga donor, ormas dan lain sebagainya.

Ketiga, menjadikan desa atau kelurahan sebagai ujung tombak penanganan kemiskinan. Desa atau kelurahan merupakan hirarki pemerintah yang terdekat dengan warga, menggunakan instrumen ini disamping akan lebih menjamin akurasi dan presisi data, pemberdayaan desa atau kelurahan juga akan memberikan kondisi yang lebih mudah di adaptasi oleh warga karena berasal dari ruang dan lingkungan yang sama. Dengan demikian pemda perlu mendorong munculnya sentra-sentra ekonomi di desa atau kelurahan dengan mengkreasi beragam program ke arah itu.

Keempat, pemda perlu menyiapkan diri untuk memimpin berbagai steakholder di masyarakat dengan memberikan peta jalan yang jelas tentang peran apa saja yang dapat diambil public dalam menangani masalah ini, di Malang Raya ada begitu banyak kampus, perusahaan-perusahaan swasta, ormas, tinggal dirembuk tentang peran apa saja yang dapat dimainkan masing-masing.

Sejumlah rekomendasi diatas tentu saja memerlukan pengayaan dan memperhatikan detail-detail dari berbagai elemen, khususnya dari pemerintah daerah di Malang Raya itu sendiri. Termasuk juga menaksir hambatan-hambatan (barrier) dalam implementasinya. Bagaimana penangananya? Diskusi selanjutnya barangkali dapat menjawab masalah ini secara lebih aplikatif.

 

Catatan diskusi Kahmi Forum 1 Agustus 2022)

 

Penulis:

Harianto

(Koordinator Kahmi Forum)