Lima anggota DPR nonaktif hadapi putusan MKD terkait pelanggaran etik. Siapa yang dibebaskan, dinonaktifkan, dan mengapa? Simak selengkapnya!
INDONESIAONLINE – Drama persidangan etik di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berakhir dengan putusan yang memecah nasib lima anggota dewan nonaktif.
Dalam sidang yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/11/2025), MKD mengumumkan hasil investigasi atas dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan Adies Kadir, Nafa Urbach, Surya Utama (Uya Kuya), Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), dan Ahmad Sahroni. Tiga nama besar dijatuhi sanksi penonaktifan, sementara dua lainnya berhasil bernafas lega.
Adies Kadir dan Uya Kuya: Lolos dari Sanksi, dengan Peringatan
Adies Kadir, yang diadukan atas pernyataan kontroversial mengenai tunjangan anggota DPR RI, dinyatakan tidak terbukti melanggar kode etik. Wakil Ketua MKD DPR RI, Adang Daradjatun, menegaskan bahwa Adies Kadir tidak memiliki niat buruk dan telah meralat pernyataannya.
“Dengan ini MKD memutuskan dan mengadili sebagai berikut: menyatakan teradu satu, Adies Kadir, tidak terbukti melanggar kode etik,” kata Adang.
Namun, Adies tetap diingatkan untuk lebih berhati-hati dan cermat dalam menyampaikan informasi publik, melengkapi dengan data yang akurat, terutama dalam wawancara yang bersifat teknis.
Serupa, Surya Utama alias Uya Kuya juga dinyatakan tidak bersalah. Aksi jogetnya di Sidang Tahunan MPR RI pada 15 Agustus 2025 yang memicu kontroversi, dinilai MKD tidak memiliki niat merendahkan lembaga negara.
Wakil Ketua MKD, Imron Amin, bahkan menyebut Uya Kuya sebagai “korban pemberitaan bohong” lantaran video-video lama yang disunting ulang. “Mahkamah berpendapat bahwa Surya Utama justru adalah korban pemberitaan bohong,” ujar Imron.
Uya Kuya pun diaktifkan kembali sebagai anggota DPR RI, namun diingatkan untuk lebih proaktif mengklarifikasi informasi yang salah.
Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Ahmad Sahroni: Dinonaktifkan dengan Konsekuensi Finansial
Berbeda nasib, tiga politikus selebriti dijatuhi sanksi penonaktifan. Nafa Urbach, politikus Partai Nasdem, terbukti melanggar kode etik terkait pernyataannya merespons kenaikan tunjangan DPR RI. Ia dinonaktifkan selama tiga bulan dan tidak akan mendapatkan hak keuangan selama masa sanksi.
Meskipun MKD tidak menemukan niat buruk, Nafa dinilai kurang peka terhadap kondisi sosial publik. “Nafa Urbach harus berhati-hati dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Harus lebih peka dalam melihat situasi dan konteks kondisi sosial,” kata Imron.
Eko Hendro Purnomo, atau Eko Patrio, rekan Uya Kuya yang juga berjoget di Sidang Tahunan MPR, dijatuhi sanksi penonaktifan selama empat bulan. MKD menilai meskipun tidak ada niat menghina, reaksi parodinya setelah video jogetnya viral dinilai “defensif” dan berkontribusi pada eskalasi kemarahan publik. Eko juga kehilangan hak keuangannya selama masa penonaktifan.
Hukuman terberat dijatuhkan kepada Ahmad Sahroni, politikus Partai Nasdem. Ia dinonaktifkan selama enam bulan karena menggunakan diksi “tolol” saat menanggapi wacana pembubaran DPR RI.
MKD menilai Sahroni seharusnya memilih kalimat yang lebih pantas dan bijaksana. “Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia,” ujar Sahroni kala itu, yang memicu kemarahan publik.
Seperti Nafa dan Eko, Sahroni juga tidak akan menerima hak keuangan anggota DPR selama masa nonaktif.
Sebelumnya, respons Adies Kadir, Nafa Urbach, dan Ahmad Sahroni terkait pemberitaan kenaikan gaji dan tunjangan DPR RI dinilai memancing kemarahan publik. Di sisi lain, aksi Uya Kuya dan Eko Patrio yang berjoget saat Sidang Tahunan MPR RI pada 15 Agustus 2025, juga dinilai tidak peka terhadap kondisi perekonomian masyarakat yang sedang sulit.
Gelombang protes masyarakat terhadap kenaikan tunjangan anggota DPR RI mencapai puncaknya pada 25 Agustus lalu. Aksi unjuk rasa kemudian berlanjut pada 28 Agustus, yang tragisnya menelan korban jiwa seorang pengemudi ojek online (Ojol), Affan Kurniawan, setelah dilindas mobil Brimob. Peristiwa ini menjadi catatan kelam yang semakin mempertegas sensitivitas isu kesejahteraan pejabat di mata publik.
Putusan MKD ini diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi seluruh anggota dewan untuk senantiasa menjaga perilaku dan komunikasi publik. Kehati-hatian dalam setiap tindakan dan ucapan menjadi krusial untuk mengembalikan marwah dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.
