Beranda

RAPBD Jatim 2026 Tabrak Visi Pembangunan, Ruang Fiskal Terancam

RAPBD Jatim 2026 Tabrak Visi Pembangunan, Ruang Fiskal Terancam
Sidang paripurna DPRD Jatim terkait RAPBD 2026. Di mana Fraksi PKB DPRD Jatim mempertanyakan secara kritis anggaran belanja tahun depan (jtn/io)

Fraksi PKB DPRD Jatim mengkritik tajam RAPBD 2026, menyoroti inkonsistensi dengan RPJMD, dominasi belanja operasi, dan porsi belanja pegawai yang melampaui batas UU, mengancam pembangunan inklusif daerah.

INDONESIAONLINE – Alarm keras dibunyikan oleh Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Timur. Pada rapat paripurna Senin (29/9/2025), juru bicara Fraksi PKB, Abdullah Muhdi, menyampaikan kritik pedas terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun 2026. Menurut Muhdi, postur anggaran yang diajukan justru “berseberangan” dengan arah kebijakan strategis Jawa Timur.

Kritik ini bukan tanpa dasar. Muhdi menyoroti inkonsistensi fundamental antara RAPBD 2026 dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2026. RPJMD 2025–2029, sebagai tahap pertama RPJPD 2025–2045, mengusung tema Penguatan Pondasi Transformasi Jawa Timur. Senada, RKPD 2026 berfokus pada Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Inklusif melalui Pembangunan Wilayah Strategis dan Peningkatan Produktivitas.

“Namun, Fraksi PKB menemukan kontradiksi yang tajam dan fundamental antara dokumen perencanaan tersebut dengan postur anggaran yang direncanakan. Temuan Badan Anggaran pun mengkonfirmasi kekhawatiran kami,” tegas Muhdi.

Belanja Operasi Dominan, Ruang Fiskal Terkunci

Sorotan utama Fraksi PKB adalah komposisi Belanja Daerah yang dinilai “tidak sehat”. Belanja Operasi mencapai 76 persen dari total Belanja Daerah, angka yang menurut Muhdi terlalu besar dan mengindikasikan ketimpangan alokasi.

Lebih mengkhawatirkan, Belanja Pegawai menyentuh angka 31 persen. Angka ini secara terang-terangan melampaui batas maksimum 30 persen yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).

“Porsi ini secara terang-terangan mengunci ruang fiskal daerah untuk biaya aparatur, bukan untuk program pembangunan yang langsung dirasakan masyarakat,” cetus anggota Komisi A DPRD Jatim itu.

“Selisih 1 persen pada belanja pegawai ini setara dengan Rp287 miliar, angka yang akan sangat bermanfaat jika dibelanjakan untuk pembangunan yang dirasakan langsung masyarakat,” tambahnya, menggambarkan potensi kerugian nyata bagi masyarakat.

Data dari Kementerian Keuangan RI menunjukkan bahwa rata-rata belanja pegawai pemerintah daerah di Indonesia pada tahun 2023 berada di kisaran 25-28% dari total belanja daerah. Angka 31% di Jawa Timur jelas berada di atas rata-rata nasional dan batas yang ditetapkan UU HKPD, menandakan inefisiensi yang perlu segera diatasi.

Belanja Modal Anjlok, Infrastruktur Terancam

Tak hanya Belanja Operasi dan Pegawai, Fraksi PKB juga meminta telaah ketat atas Belanja Barang dan Jasa yang tercatat 31,4 persen. Porsi ini dinilai mengindikasikan dominasi biaya overhead yang seharusnya bisa dirasionalisasi dan dialihkan menjadi Belanja Modal.

Dan di sinilah masalah semakin mengerucut: Belanja Modal dalam RAPBD 2026 justru anjlok 40 persen dibandingkan Perubahan APBD (P-APBD) 2025, hanya menyisakan 5,9 persen dari total Belanja Daerah. Komposisi ini, menurut Muhdi, “jauh di bawah kisaran ideal 20–30 persen bagi provinsi yang ingin mengejar kemajuan.”

Padahal, menurut data BPS Jawa Timur, sektor infrastruktur, khususnya jalan dan irigasi, memiliki peran krusial dalam menopang pertumbuhan ekonomi dan konektivitas wilayah. Dengan alokasi untuk jalan, jaringan, dan irigasi yang hanya Rp44,7 miliar, Muhdi menilai angka tersebut tidak rasional jika dikaitkan dengan misi ke-3 RPJMD: penguatan konektivitas infrastruktur.

“Dengan komposisi belanja yang timpang, yakni Belanja Operasi mendominasi hingga 76 persen sementara Belanja Modal untuk investasi publik hanya sekitar 5,9 persen, target alokasi minimal 40 persen belanja untuk infrastruktur publik mustahil tercapai pada tahun 2027,” tegasnya, mempertanyakan komitmen Pemprov terhadap RPJMD yang merupakan janji politik kepala daerah.

Muhdi mendesak pergeseran anggaran secara fundamental, dari kegiatan seremonial dan belanja rutin menuju belanja modal produktif. Ia menekankan pentingnya keselarasan antara RPJMD–RKPD–RAPBD dan program prioritas pemerintah pusat, serta peneguhan prinsip money follow program—bahwa anggaran harus mengikuti prioritas program, bukan semata struktur organisasi.

“Di pesantren, ini disebut sebagai: tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah: setiap kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus senantiasa berorientasi pada kemaslahatan,” papar Muhdi, menggarisbawahi filosofi di balik kritik Fraksi PKB.

“Penyusunan RAPBD 2026 semestinya diarahkan untuk menjawab kebutuhan prioritas masyarakat, bukan hanya mempertahankan belanja rutin birokrasi,” pungkasnya, mengakhiri kritik dengan harapan perubahan substansial.

Sorotan Fraksi PKB ini menjadi pengingat penting akan urgensi tata kelola anggaran yang prudent dan berpihak pada pembangunan berkelanjutan, demi tercapainya transformasi Jawa Timur yang lebih baik. Diskusi mengenai RAPBD 2026 diharapkan dapat menghasilkan kebijakan anggaran yang lebih strategis dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat (mca/dnv).

Exit mobile version