Beranda
Agama  

Salat Tarawih, Lebih Baik 23 Rakaat atau 11 Rakaat?

Salat Tarawih, Lebih Baik 23 Rakaat atau 11 Rakaat?

INDONESIAONLINE – Salat tarawih adalah salah satu amalan yang hanya bisa dikerjakan saat bulan Ramadan. Hukum salat tarawih apabila dikerjakan adalah sunah muakkad.

Namun di Indonesia, ada perbedaan jumlah rakaat dalam melaksanakan salat tarawih. Yakni ada yang 11 rakaat (8+3 witir) dan 23 rakaat (20+3 witir).

Meski hukumnya sunah muakkad,  salat tarawih memiliki keutamaan yang amat besar. Melansir NU Online, Nabi Muhammad SAW mulai mengerjakan salat tarawih pada tanggal 23 Ramadan tahun kedua hijriah. Rasulullah pada masa itu mengerjakannya tidak selalu di masjid, namun terkadang juga di rumah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ (رواه البخاري ومسلم)

Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin radliyallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam salat di masjid, lalu banyak orang salat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, ‘Sungguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila salat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, “Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pada masa Nabi SAW, juga tidak ada istilah nama tarawih. Adanya qiyamul lail (salat malam), yang dilakukan dan dicontohkan selama Ramadan.

Istilah tarawih baru muncul pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang mulai menyelenggarakan salat tarawih secara serentak berjamaah di masjid.

Umar bin Khattab berinisatif menggelarnya secara berjamaah setelah menyaksikan umat Islam menjalankan salat tarawih dengan tidak kompak. Sebagian salat secara sendiri-sendiri dan sebagian lain berjamaah. Sebuah hadis shahih memaparkan:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, beliau berkata: ‘Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang salat tarawih berbeda-beda. Ada yang salat sendiri-sendiri dan ada juga yang salat berjamaah. Lalu Sayyidina Umar berkata: ‘Saya punya pendapat andai mereka dikumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.” Lalu beliau mengumpulkan  mereka dengan seorang imam, yakni Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan salat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam. Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjamaah).” (HR Bukhari).

Dari hadis di atas, maka disimpulkan yang pertama  mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan salat tarawih secara berjamaah adalah Sayyidina Umar bin Khattab, salah satu sahabat terdekat Nabi. Jamaah salat tarawih pada waktu itu dilakukan dengan jumlah 20 rakaat.

Sementara itu, keutamaan melaksanakan salat di malam hari pada bulan Ramadan juga dijabarkan dalam hadis yang berbunyi:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: Barangsiapa bangun (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan iman dan ihtisab, maka diampuni baginya dosa-dosa yang telah lalu. (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis tersebut, mayoritas ulama menyepakati bahwa bangun di malam hari bulan Ramadan yang dimaksud adalah merujuk pada pelaksanaan salat tarawih. Namun di hadis tersebut tidak dijelaskan secara jumlah rakaat yang diutamakan saat salat tarawih.

Berpuluh-puluh tahun kemudian, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Dawud azh Zhahiri memilih untuk tarawih dengan 20 rakaat. Pemilihan itu disandarkan pada perilaku sahabat,  orang-orang pada masa Umar bin Khattab mengerjakan salat tarawih dengan 20 rakaat.

Sementara itu, orang-orang yang memilih mengerjakan salat tarawih 8 rakaat dan 3 rakaat salat witir bersandar pada sebuah hadis yang berbunyi:

Aisyah menjawab,“Beliau tak menambah pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat: salat empat rakaat, yang betapa bagus dan lama, lantas salat empat rakaat, kemudian tiga rakaat. Aku pun pernah bertanya: Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum menunaikan shalat witir? Beliau menjawab: “mataku tidur, tapi hatiku tidak.”

Dari beberapa pendapat di atas, maka disimpulkan bahwa umat Islam boleh memilih untuk mengerjakan salat tarawih 20 rakaat ditambah 3 rakaat salat witir atau 8 rakaat salat tarawih dengan 3 rakaat salat witir. Kedua jumlah rakaat tarawih tersebut tidak lebih utama dari yang lainnya. Sebab, tidak ada hadis yang menunjukkan salah satu jumlah rakaat tarawih tersebut lebih diutamakan. (bin/hel)

Exit mobile version