Beranda

Sejarah Pemberontak Sakti Ki Lesap, Awal Nama Bangkalan hingga Kini

Sejarah Pemberontak Sakti Ki Lesap, Awal Nama Bangkalan hingga Kini

INDONESIAONLINE – Banyak hal unik bila berbicara sejarah kota atau daerah. Tak terkecuali dengan sejarah Kabupaten Bangkalan, Jatim.

Mungkin, banyak juga yang tidak diketahui Bangkalan dengan wilayah dengan 7 Kelurahan dan 6 desa dengan luas wilayah 36,70 km2, berasal dari kata ‘bangkah’ dan ‘La’an’ yang artinya mati sudah.

Nama itu diambil dari kisah pemberontak sakti Ki Lesap yang tewas di Madura Barat.

Ki Lesap merupakan putra Madura keturunan Panembahan Cakraningrat. Ki Lesap muda memiliki kegemaran bertapa di gunung dan juga di makam-makam keramat.

Kegemarannya bertemu berkah saat Ki Lesap bertapa di Gunung Geger dalam waktu yang cukup lama. Lesap memiliki keahlian baru yaitu menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Karena keahlian barunya itu, Ki Lesap kemudian dipanggil oleh raja dan diperkenankan tinggal di sebuah rumah di Desa Pejagan, untuk membuka pengobatan bagi mereka yang sakit.

Ki Lesap mendapatkan penghargaan dan penghormatan oleh para warga. Namun, meski telah mendapatkan penghargaan dan penghormatan Lesap merasa kurang dan tak merasa puas sebab gerak geriknya selalu diawasi oleh raja.

Kondisi ini membuatnya memiliki niat buruk. Dia berambisi untuk memegang pemerintahan di Pulau Madura.

Karena ambisi itulah, ia kemudian pergi meninggalkan kota tersebut dan menuju ke arah timur. Setibanya di Gunung Pajudan di daerah Guluk-guluk, dia mulai bertapa selama beberapa tahun.

Karena kesaktiannya, Ki Lesap memiliki sebuah tombak yang bisa diperintahkan untuk mengamuk sendiri tanpa harus ia ikut untuk memegangnya.

Karena hal itulah Lesap menjadi sosok yang terkenal di Pulau Madura hingga ke daerah pelosok.

Ambisi untuk memegang pemerintahan Madura masih terlekat di hati Lesap, karena hal itulah setelah merasa yakin ia mulai mengobarkan api pemberontakan.

Dengan mendapat simpati para rakyat, Lesap yang saat itu baru turun dari pertapaannya di gunung Payudan berhasil menaklukkan desa-desa yang didatanginya.

Selanjutnya, aksi Lesap kian menjadi-jadi. Setelah desa-desa, Lesap kemudian mulai melanjutkan pemberontakannya ke timur, dan menyerang Kerajaan Sumenep dan berhasil mendudukinya.

Pangeran Tjokronegoro IV (Raden Alza) sebagai Bupati Sumenep merasa sangat ketakutan dan melarikan diri bersama-sama keluarganya ke Surabaya, melaporkan adanya pemberontakan tersebut kepada kolonial Belanda.

Ki Lesap kemudian bergerak dari Sumenep ke Pamekasan melalui jalan sebelah selatan dan singgah di Bluto, Prenduan, Kadura, dan seterusnya.

Di setiap tempat yang ia lewati, Ki Lesap selalu disambut oleh para rakyat dengan penuh simpati. Para rakyat pun kemudian mulai menggabungkan diri dengan pasukan pemberontak Ki Lesap.

Ki Lesap pun berhasil menduduki Pamekasan dan mengalahkan Bupati yang kala itu Tumenggung Ario Aikoro IV (R. Ismail) tidak berada di tempat, sedang bepergian ke Semarang.

Adikoro IV yang mengetahui hal tersebut, meminta izin kepada mertuanya, Cakraningrat V, untuk perang melawan Lasep, yang kemudian menuju Blega dan bertemu lalu bergabung dengan kelompok dari Pamekasan yang dipimpin oleh Wongsodirejo, Penghulu Bagandan.

Saat mereka beristirahat di Sampang, datanglah utusan dari Lesap yang membawa sebuah surat yang isinya sebuah ajakan untuk berperang. Hal itu kemudian membuat Adikoro naik pitam dan mengajak pasukannya untuk berperang.

Akan tetapi Penghulu Bagandan tidak setuju karena hari itu adalah hari yang nahas, dan dia menasihati Adikoro untuk berangkat keesokan harinya.

Adikoro yang saat itu tengah emosi tidak sabar menunggu menunggu walau hanya semalam, dan akhirnya Penghulu Bagandan pun menemani Adikoro ke Pamekasan. Adikoro IV dan pasukannya mengamuk dan musuh dipukul mundur hingga ke Peganten, wilayah Pamekasan.

Karena kelelahan, Adikoro akhirnya terkena senjata dan ususnya terburai, namun ia pantang menyerah dan kembali mengamuk dengan tombaknya. Ia kemudian melilitkan ususnya pada sebuah keris.

Karena kehabisan tenaga, Adikoro pun terjatuh dan pada akhirnya meninggal dunia. Hal yang serupa pun terjadi pada Penghulu Bagandan yang gugur di medan perang.

Ki Lesap yang menang terus ke timur dan bertempur dengan Cakraningrat V, hingga dapat dipukul mundur sampai bantuan dari kompeni didatangkan dari Surabaya.

Akan tetapi sangat disayangkan, pasukan Belanda itu tidak bertahan dan terpaksa mundur. Sedangkan Cakraningrat V yang kalah lalu mengungsi ke Melaja.

Selanjutnya Ki Lesap membuat pesanggrahan di Desa Tonjung. Cakraningrat V pada suatu malam bermimpi agar Lesap dikirimi seorang wanita yang memegang bendera putih yang berarti Bangkalan akan menyerah, dan itu dijalankan oleh Cakraningrat.

Dia mengirim seorang ronggeng yang mengenakan pakaian keraton dan membawa bendera putih untuk menemui Ki Lesap. Ki Lesap yang pada saat itu menerima pemberian itu lalu membawa wanita itu ke pesanggrahannya dengan keyakinan bahwa Bangkalan sudah menyerah.

Cakraningrat yang menunggu kabar, tiba-tiba tombak pusaka Bangkalan yang bernama Ki Neggolo gemetar dan mengeluarkan sinar, yang membuat Cakraningrat bangkit dan mengambil tombak lalu mengajak pasukannya menumpas Ki Lesap.

Ki Lesap yang berada di Desa Tonjung terkejut mengetahui Cakraningrat V tiba-tiba menyerangnya, tak menunggu lama Cakraningrat V pun mendekati Ki Lesap dan menancapkan tombak pusaka ke dadanya. Tak menunggu lama Ki Lesap langsung roboh dan meninggal.

Saat itulah, rakyat dan rajanya sama-sama berteriak ‘Bangka-la’an’ yang artinya sudah mati (ina/dnv).

Exit mobile version